Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pendekar Tulungagung dalam Pasungan

Seorang pelaku pembantaian orang-orang PKI pada 1965 mengalami gangguan jiwa. Karena ia kerap mengamuk, akhirnya keluarganya terpaksa memasungnya.

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria 71 tahun itu menyambar celurit di depannya. Senjata tersebut digosok-gosokkan di atas lempengan batu asah sambil sesekali disiram air. Kedua tangannya terus bergerak mengasah hingga salah satu sisi celurit mengkilap. Setelah berkilau tajam, celurit itu dia letakkan begitu saja di depannya. Tak lama berselang, tangan kanannya merogoh saku baju kumalnya dan mengeluarkan rokok. Perlahan dia menyulut rokok kretek itu dan mengisapnya seraya menengadah. Lalu ia mengembuskan asap itu hingga membentuk kepulan-kepulan.

Terkadang terdengar gemerincing rantai besi yang mengikat kaki kirinya saat bergesekan dengan lantai. Rantai itu tampak kokoh dan berat dengan ujung lainnya tertancap pada beton semen. "Dia memang pintar mengasah celurit," kata Marjuni, 67 tahun, tentang kakak kandungnya, Supardi, yang dipasung karena mengalami gangguan jiwa.

Supardi menjalani pemasungan sejak keluar dari Rumah Sakit Jiwa Lawang, Malang, sekitar 30 tahun silam. Sebelum dipasung, Supardi sering membuat warga Podorejo, Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur, waswas karena kebiasaan pria itu membawa cangkul dan senjata tajam ketika mengamuk. "Tak ada warga yang berani mendekat selain saya," Marjuni, yang selama ini merawat sang kakak, menuturkan.

Ahad siang, 23 September 2012, saat Tempo menemui Supardi dan mencoba menyapanya, ia nyaris tak bereaksi. Dia hanya sempat menatap sesaat. Beberapa kali Marjuni memperkenalkan Tempo kepadanya, tapi Supardi bergeming. Perokok berat itu malah kembali asyik mengisap rokok kreteknya dalam-dalam.

Namun, ketika Tempo dan Marjuni mulai berbincang tentang Partai Komunis Indonesia dan Ansor, Supardi, yang duduk hanya berjarak sekitar satu meter, tampak bereaksi. Dia berdiri dan tiba-tiba raut mukanya memerah. Sorot matanya menatap tajam ke arah kami. Marjuni pun langsung menghentikan perbincangan dan buru-buru mencoba mencairkan suasana dengan menyodorkan sebungkus rokok kepada sang kakak. "Kalau kakak saya tidak segera dibujuk dengan rokok, emosinya akan naik," ujarnya berbisik. "Kalau sudah mengamuk, susah dikendalikan."

Kami berdua kemudian memilih menjauh. Marjuni menuturkan, sejak dulu, sosok Supardi memang ditakuti. Selain perawakannya tinggi besar—kira-kira tingginya 176 sentimeter dan bobotnya 75 kilogram—ia dikenal sebagai pendekar silat yang tangguh. Sejak remaja, dia aktif berguru ke sejumlah pendekar silat di Tulungagung dan Blitar. Kehebatan dia dalam ilmu bela diri itulah yang membuat pengurus Gerakan Pemuda Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama, Tulungagung, merekrutnya menjadi algojo dalam pembantaian anggota PKI pada 1965.

Kala itu, tak ada anggota PKI yang lolos dari sergapan Supardi dan kawan-kawannya. Mereka yang tertangkap diikat menjadi satu sebelum digorok. "Mas Supardi bisa mengikat empat sampai lima orang sekaligus sendirian," kata Marjuni. Mayat mereka kemudian dikubur di dalam sebuah lubang besar di pemakaman desa. Marjuni tak bisa mengingat lagi berapa orang PKI yang disikat kakaknya.

Tak semua pemuda dan anggota Ansor di desanya, tutur Marjuni, ikut melakukan penumpasan. Marjuni sendiri memilih menghindari bentrok fisik karena tak cukup punya nyali. Dari keluarganya, hanya Supardi yang berani ikut dalam pembantaian orang PKI. Menurut Marjuni, dia mengikuti penggemblengan ilmu kanuragan dan belajar pencak silat bersama Supardi di sebuah pondok pesantren di Blitar hanya agar tak dicurigai sebagai simpatisan PKI.

Syarifatul Jannah, 75 tahun, kakak Supardi, yang tempat tinggalnya bersebelahan dengan rumah Marjuni, membenarkan cerita itu. Menurut Jannah, semasa muda, adiknya memang gemar belajar ilmu silat dan kebatinan di sela-sela mencari rumput buat pakan ternak ayahnya. Badannya yang besar juga membuat Supardi disegani remaja sebayanya. "Pokoknya, dia jagoan," ujarnya.

Jannah juga membenarkan kabar bahwa adiknya ikut dalam penumpasan orang PKI di wilayahnya. Dipimpin dua tokoh Ansor, TY dan SR, Supardi berperan meringkus dan mengikat anggota PKI yang tertangkap. Mereka kemudian digiring ke lokasi pemakaman untuk dihabisi.

l l l

Setelah peristiwa pembantaian itu, Supardi diajak seorang temannya bekerja di perkebunan kopi di Sumatera Selatan. Tapi, baru sekitar tiga tahun dia bekerja di sana, Marjuni menerima kabar bahwa sang kakak mengalami gangguan jiwa dan sering mengamuk. Karena itu, ayah Supardi memutuskan menjemputnya pulang. "Kami sampai meminjam borgol milik anggota polisi setempat saat membawanya naik kapal laut," kata Marjuni.

Upaya penyembuhan medis, termasuk mengirim Supardi ke rumah sakit jiwa, dan spiritual yang ditempuh keluarga tak membuahkan hasil. Dia masih kerap mengamuk. Dengan kaki dirantai, Supardi kemudian melewati hari-harinya di sebuah kamar kecil berukuran 2,5 x 1,5 meter di belakang rumah Marjuni. Kamar itu dibangun semipermanen dengan setengah bidang dindingnya berupa kain bekas dan karung.

Boleh dibilang, kondisi pondok pengasingan Supardi itu lebih buruk daripada kandang ternak. Tak ada penerangan dan perkakas rumah tangga di dalamnya, selain tumpukan benda bekas seperti ban sepeda, ember plastik, sapu, tas kumal, serta tumpukan kain yang merupakan pakaian Supardi sehari-hari. Satu-satunya benda terawat yang berada di tempat itu adalah sebuah kopiah yang tergantung di salah satu dinding. Menurut Marjuni, kakaknya masih memiliki pakaian Ansor, yang disimpan di dalam tas.

Di belakang pondok itu terdapat jamban keluarga Marjuni. Supardi sendiri tak pernah menggunakan jamban itu. Karena kondisi kakinya yang terikat rantai sepanjang dua meter, dia hanya bisa memindahkan tubuh dari luar ke dalam pondok untuk berteduh. Aktivitas buang air dia lakukan di sekitar pondok, yang dikelilingi tanaman pisang. Namun Marjuni tetap menyediakan bak air besar di depan pondok. Air itulah yang digunakan Supardi untuk mandi.

Meski hidup dalam kondisi seperti ini selama puluhan tahun, tak pernah sekali pun Supardi mengalami sakit fisik. Tubuhnya terlihat bugar dengan beberapa helai rambut putih yang mulai rontok. "Rambut itu dulu sangat hitam dan panjang," ujar Marjuni. "Semasa muda, Supardi sengaja memanjangkan rambutnya, yang merupakan ciri khas seorang pendekar."

Kini sehari-hari Supardi mengisi waktu dengan membuat benda yang disukainya. Salah satunya layang-layang. Belenggu yang melingkar di kakinya tak membuat aktivitasnya terganggu. Saat membuat layang-layang siang itu, tangannya cukup cekatan menajamkan bilah bambu dengan pisau kecil. "Dia tak bisa diam dan selalu membuat sesuatu," Marjuni menjelaskan.

Kepandaian Supardi dalam mengasah celurit dan perkakas tajam lainnya mendatangkan keuntungan. Dia kerap menerima order menajamkan celurit dan ujung cangkul dari warga sekitar rumahnya. Sebagai ongkosnya, warga memberikan beberapa batang rokok, rajangan tembakau, dan makanan.

Bagi Marjuni sendiri, hal itu ikut meringankan beban biaya perawatan sehari-hari kakaknya. Apalagi penghasilan Marjuni sebagai buruh tani dan pembuat batu bata tak banyak menghasilkan pemasukan. Dua kolam ikan yang dia kelola kini terbengkalai. "Sudah lama berhenti karena kehabisan modal," katanya.

Sebenarnya Marjuni tak tega memasung kakaknya seperti itu. Dia kasihan ketika beberapa orang mendatangi rumahnya hanya untuk menonton orang yang dirantai. Namun dia juga tidak memiliki cara untuk mengamankan Supardi jika dilepas seperti dulu. Kebiasaan Supardi yang mengamuk dengan membawa cangkul dan celurit membuat warga ketakutan.

Begitulah. Menjelang sore, saat Tempo pamitan, Supardi hanya menoleh sesaat dan kemudian mengangguk. Setelah itu, pendekar tersebut kembali tercenung seraya mengisap rokoknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus