Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Sartono,</font><font size=1> Kuasa Hukum Priamanaya:</font><br />Masalah Internal Jangan Rugikan Investor

31 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perusahaan Daerah Pasar Jaya menghentikan kerja sama pengelolaan Blok A Pasar Tanah Abang dengan PT Priamanaya, yang diteken pada Oktober 2003. Tapi perusahaan pengembang properti itu menolak klaim sepihak Pasar Jaya. Berikut ini pernyataan Sartono, kuasa hukum Priamanaya dari kantor pengacara Hanafiah Ponggawa & Partner, kepada Padjar Iswara dari Tempo.

Bagaimana tanggapan Anda atas keputusan PD Pasar Jaya menghentikan kerja sama dengan Priamanaya?

Priamanaya memang telah menerima surat dari PD Pasar Jaya. Mereka tidak bisa memperpanjang perjanjian kerja sama. Tapi, bagi Priamanaya, perjanjian tidak berakhir karena kios belum terjual 95 persen. Kios baru terjual 80-an persen. Sesuai dengan perjanjian pasal 11, bila kios belum terjual 95 persen, Pasar Jaya sepakat memperpanjang lagi setahun, dengan ketentuan Priamanaya mengajukan permohonan.
Perpanjangan pun sebenarnya pernah dilakukan pada 2008 (menjadi 2009) dan 2009 (menjadi 2010). Jadi secara hukum Pasar Jaya sudah mengakui itu. Perjanjian bisnis itu undang-undang bagi Priamanaya dan Pasar Jaya. Itu harus ditaati dan dihormati.

Direksi Pasar Jaya menilai banyak kios tidak terjual karena harga jual terlalu tinggi dan malah disewakan. Komentar Anda?

Priamanaya sudah mencoba menjualnya. Untuk apa menahan-nahan. Bila bisa dijual lebih cepat, kenapa tidak? Justru balik modalnya cepat. Pengembang justru ingin uang kembali cepat dan diinvestasikan ke tempat lain. Priamanaya tidak mungkin mengelola selamanya karena sadar hak pakai kios hanya maksimal 20 tahun. Masalahnya sekarang perjanjian kan harus dihormati.

Pasar Jaya menilai perjanjian kerja sama merugikan DKI Jakarta….

Ini lucu. Kalau memang Pasar Jaya merasa perjanjian tidak fair, kenapa dulu perjanjian ditandatangani?

Mengapa skema bagi hasil diubah dari basis pendapatan kotor menjadi basis pendapatan bersih?

Dari dulu bagi hasil basisnya juga sudah neto. Artinya, pendapatan yang sudah dikurangi beban dan biaya. Hanya, ada pasal-pasal yang tidak jelas, makanya direvisi (adendum) supaya jelas. Di dunia mana pun, tidak ada bagi hasil dari pendapatan gross. Pasti investor nombok.

Tapi, gara-gara basis neto, Pasar Jaya hanya menerima pengelolaan Blok A Rp 100 juta sebulan....

Jangan hanya melihat aspek bagi hasilnya. Dari awal Priamanaya sudah memberikan uang kompensasi Rp 150 miliar. Priamanaya juga telah menyerahkan aset bangunan Blok A senilai Rp 800-an miliar dan bagi hasil Rp 100 juta sebulan atau Rp 1,2 miliar setahun. Ini jangan diabaikan, seolah-olah tak ada.

Kerja sama hanya berlangsung lima tahun. Bukankah harus ada persetujuan Gubernur DKI Jakarta kalau ingin memperpanjang lebih dari lima tahun?

Ini masalah internal pemerintah daerah DKI Jakarta. Ini bukan kewajiban Priamanaya. Yang di bawah gubernur kan Pasar Jaya. Urusan rumah tangga sendiri jangan dibebankan ke orang lain, dong. Tidak boleh ada urusan internal Pasar Jaya merugikan investor, apalagi kontrak sudah ditandatangani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus