Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluhan pelanggan Perusahaan Gas Negara wilayah Sumatera Utara seperti tak ada habisnya. Hampir setiap hari, surat protes berdatangan ke kantor PGN di Jalan Imam Bonjol, Medan. General Manager PGN Sumatera Utara Mugiono menceritakan kantornya acap kali juga didatangi beragam perusahaan yang bisnisnya bergantung pada suplai gas.
Sejumlah pelanggan sektor industri kecewa karena pasokan gas yang diterima berkurang. Aliran gas menyusut sejak Perusahaan Gas Negara menerapkan sistem kuota pada Senin dua pekan lalu.
Mugiono tidak punya pilihan. Keputusan itu diambil karena sumber pasokan gas di Sumatera Utara turun drastis. Biasa mengelola 17 juta kaki kubik gas per hari, jatah yang disalurkan perseroan buat industri tinggal 11 juta kaki kubik. "Bila tidak dibagi rata, pelanggan bisa berebutan," katanya Kamis pekan lalu.
Sumber defisit itu berasal dari blok minyak dan gas Glagah-Kambuna di lepas pantai Sumatera Utara, tepat 57 kilometer sebelah barat Pangkalan Brandan. Lapangan ini dikelola Pertamina EP dan Salamander Energy. Berproduksi akhir 2009, lapangan Kambuna memasok 10 juta kaki kubik per hari buat Perusahaan Gas Negara.
PGN menerima suplai setelah membeli gas dari PT Pertiwi Nusantara Resources. Pertiwi adalah salah satu pembeli gas di Kambuna. Tiga tahun lalu, perusahaan ini menang tender pembelian gas Blok Glagah-Kambuna.
Tapi, sejak Agustus lalu, pasokan gas dari Pertiwi buat Perusahaan Gas Negara cuma 5 juta kaki kubik per hari. Dibombardir keluh-kesah asosiasi pengusaha di Sumatera Utara, PGN melayangkan protes kepada Pertiwi. Rupanya, manajemen Pertiwi di Jakarta juga resah. Mereka kelimpungan karena produksi gas Glagah-Kambuna anjlok.
Biasanya, Kambuna memproduksi gas 40 juta kaki kubik per hari. Dari situ, Pertiwi menerima 12 juta kaki kubik per hari. Pertiwi menjual kembali gas itu ke Perusahaan Gas Negara 10-11 juta kaki kubik. Kini, produksi gas Kambuna cuma 28 juta kaki kubik per hari. Dari situ, Pertiwi cuma kebagian 6 juta kaki kubik per hari.
Salamander Energy belum bersedia berkomentar. "Hanya perwakilan kami di London yang memiliki otoritas memberikan keterangan," kata Manajer Komersial Salamander Energy Ratih Hupudio.
Tapi Samuel Panjaitan, Direktur Utama PT Pertiwi Nusantara Resources, membenarkan cekaknya pasokan gas itu. Syamsu Alam, Presiden Direktur PT Pertamina EP, menambahkan, cadangan gas di Kambuna ternyata tidak sebesar yang diperkirakan.
TERMASUK lapangan tua, Kambuna dibor pertama kali oleh Bow Valley pada 1986. Perusahaan minyak dan gas Kanada itu berikhtiar mengulang sukses Caltex, yang satu tahun sebelumnya menemukan lapangan Glagah. Berbeda dengan Kambuna, Glagah menghasilkan kondensat. Keduanya kini menjadi Blok Glagah-Kambuna.
Lama dibiarkan, ladang gas ini baru digarap serius empat tahun lalu. Tepatnya saat Salamander Energy, perusahaan minyak dan gas asal London, mengambil alih peran Serica Energy sebagai operator lapangan. Salamander menguasai 50 persen saham. Sisanya dibagi rata antara Serica dan KrisEnergy.
RPS Energy, konsultan energi Inggris, saat itu memperkirakan perut Glagah-Kambuna memendam gas hingga 133 miliar kaki kubik dan kondensat 11,6 juta barel. Bahkan, dalam rencana pengembangan pada 2006, cadangan gas Kambuna dinyatakan 160 miliar kaki kubik.
Dari asumsi cadangan itu, Pertamina EP-Salamander Energy meneken kontrak jual-beli gas 40 juta kaki kubik per hari. Sebanyak 28 juta kaki kubik disalurkan buat kebutuhan PT Perusahaan Listrik Negara. Sisanya dijual kepada Pertiwi Nusantara. Kontrak yang ditandatangani pertengahan 2009 itu berlangsung delapan tahun.
Produksi Kambuna awalnya berjalan lancar. Itu sebabnya Pertamina EP meminta Salamander, sebagai operator, membangun fasilitas produksi permanen pada tahun lalu. Agar terealisasi, Kambuna harus dievaluasi lagi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Minyak dan Gas Bumi (Lemigas).
Dari sinilah persoalan muncul. Hasil kajian Lemigas enam bulan lalu menunjukkan cadangan gas di Kambuna pada 2009 cuma 82 miliar kaki kubik. Cadangan tahun ini diperkirakan 39 miliar kaki kubik—anjlok 70 persen dari perkiraan yang tertera pada rencana pengembangan.
Dengan asumsi baru itu, produksi Kambuna pada akhir 2011 diprediksi cuma 20 juta kaki kubik per hari. Manfaat keekonomian lapangan gas itu akan habis dua tahun lagi, atau empat tahun lebih awal dari perkiraan semula.
Terbukti, produksi gas di empat sumur lapangan Kambuna ngos-ngosan sejak Juni lalu. Puncaknya terasa pada Agustus, ketika produksi anjlok menjadi 25-28 juta kaki kubik per hari.
Agar produksi tidak terus melorot, Pertamina EP tengah menyiapkan kompresor untuk menahan tekanan di sumur Kambuna.
SERETNYA pasokan gas Kambuna menyebabkan rencana bisnis yang dibangun Pertiwi Nusantara berantakan. Sebagai pembeli, Pertiwi berancang-ancang membangun pembangkit swasta 30 megawatt. Perusahaan ini menjalin kongsi dengan Navigate Energy.
Mitra bisnis Pertiwi itu telah menyuntikkan dana US$ 2,1 juta. Fulus itu dipakai buat membebaskan lahan dan membeli mesin turbin. Tapi seretnya suplai gas bisa membuat Navigate hengkang.
Kekhawatiran juga dirasakan Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas di Sumatera Utara. "Sudah banyak pengusaha siap-siap ke luar Sumatera Utara," kata Johan Brien, Ketua Asosiasi. Sebagian besar di antara mereka bergerak di industri sarung tangan, keramik, dan produk turunan oleochemical.
Cekaknya pasokan gas juga membuat PLN pening. Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Belawan kini cuma dipasok 20 juta kaki kubik per hari, turun hampir 10 juta kaki kubik dari kondisi normal.
Akibatnya, kata Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji, pembangkit 850 megawatt itu sebagian dibangkitkan memakai solar. Untuk membeli solar, PLN harus mengeluarkan ongkos ekstra US$ 200 ribu atau sekitar Rp 1,77 miliar per hari.
Sebagai pembeli, Samuel Panjaitan juga merasa dipermainkan. Pertiwi mulanya kesengsem masuk ke bisnis gas setelah Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan operator Kambuna mengkalkulasi cadangan gas di blok itu sebesar 160 miliar kaki kubik. Perhitungan ini tertera pada rencana pengembangan 2006, yang disetujui BP Migas.
Tapi fakta di lapangan berbicara lain. Itu sebabnya Samuel mempertanyakan kompetensi operator dan BP Migas menghitung cadangan gas di Kambuna. "Ini seperti beli kucing dalam karung tapi isinya tikus," katanya.
Juru bicara BP Migas, Gde Pradnyana, mengakui operator Kambuna saat itu hanya melakukan pengeboran di dua titik hingga keluar angka cadangan tadi. Dilengkapi sertifikasi dari Gaffney Cline & Associate, BP Migas menyetujui rencana pengembangan yang disodori operator. Sertifikasi internasional ini semacam jaminan bahwa lapangan Kambuna memiliki cadangan gas yang siap dikembangkan.
Minimnya deposit di bawah perut Kambuna baru ketahuan setelah dilakukan pengeboran berikutnya. "Menciutnya perkiraan cadangan gas lumrah terjadi di industri minyak dan gas," Gde berdalih. Hanya, kalau penyusutannya terlalu cepat, banyak pihak yang kelabakan.
Agoeng Wijaya, Soetana Monang Hasibuan (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo