Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=verdana size=1>Prof. Dr. Daniel Murdiyarso:</font><br />Hutan Indonesia Tidak Dijual

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senin, 3 Desember ini, sekitar 10 ribu orang akan hilir-mudik di kawasan hotel mewah Nusa Dua. Inilah hari pembukaan sidang Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Delegasi Indonesia bersiap mengusung ”dagangan” utamanya, yakni soal pemberian insentif dari deforestasi dan degradasi. Disingkat REDD (Reduce Emissions from Deforestation and Degradation), konsep ini pertama kali diajukan oleh Papua Nugini dan Kosta Rika di Montreal, Kanada, pada 2005.

Inilah upaya negeri-negeri pemilik hutan untuk menuai pemasukan bila berhasil menekan laju emisi dengan mengurangi eksploitasi hutan. Dua tahun dibahas, hasil rekomendasi tersebut bakal disajikan di Bali dalam dua pekan ini. Profesor Daniel Murdiyarso, 52 tahun, berpendapat, ini solusi alternatif untuk masa depan hutan Indonesia—walaupun memang bukan konsep yang mudah.

Daniel adalah anggota Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bentukan PBB sejak 1998. Sekitar 3.000 ilmuwan dunia menjadi anggota lembaga ini. Mereka menelisik pengaruh pemanasan global terhadap planet Bumi. Oktober lalu, IPCC, bersama bekas Wakil Presiden Al Gore, meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2007. Selain meneliti, Daniel adalah Guru Besar Ilmu Atmosfer di Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

Dua pekan lalu, dia menerima wartawan Tempo Kurie Suditomo, Yosep Suprayogi, dan fotografer Mazmur Sembiring untuk sebuah wawancara. Perbincangan berlangsung di kantornya, lembaga penelitian hutan CIFOR, di Situgede, Bogor.

Berikut ini petikannya:

Apa yang mesti disiapkan untuk menjalankan REDD?

Yang utama, harus kita tentukan baseline, angka laju deforestasi di Indonesia. Misalnya, dua juta hektare per tahun. Bila kita berhasil menekan angka itu, selisihnya yang akan dikompensasi. Nah, angka referensi ini mesti diberlakukan secara nasional. Daerah-daerah yang punya hutan—Riau, Jambi atau Aceh dan lainnya—akan menggunakan angka tersebut sebagai acuan.

Dari jutaan hektare hutan kita, mana yang menjadi target REDD?

Saya tidak tahu karena pemerintah yang menentukan. Program ini bisa diterapkan di hutan konversi, hutan produksi, bahkan hutan konservasi sekalipun. Ini semua masih terbuka karena belum ada aturannya. Di Bali akan didiskusikan kembali.

Hutan konservasi? Bukannya targetnya adalah hutan produksi dan konversi alias hutan yang memang akan dieksploitasi?

Masalah ini masih menjadi perdebatan. India, misalnya, dia ingin REDD adalah konservasi total karena mereka sudah tidak punya hutan lagi dan ingin melindungi hutan konservasi yang masih tersisa. Secara ilmiah lokasi REDD mestinya yang risikonya rendah, mudah dikelola, dan menarik pasar.

Ada yang bilang REDD jangan sampai menyentuh hutan produksi….

Itu tidak benar. Tetapi karena pengelolaan hutan produksi ada di tangan pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tentu saja terserah mereka. Dalam konteks REDD, HPH sebenarnya memiliki kesempatan untuk mendapat insentif dari operasi logging yang berbeda. Kalau saya pengusaha, saya akan bertanya: apakah biaya operasi logging cara baru seimbang dengan keuntungannya? Saya akan berhitung dan saya kira itu logis.

Prakteknya bagaimana?

Pengusaha yang baik dan ingin beroperasi secara lestari hanya akan menebang hutan yang ”masak tebang” sambil menunggu yang sedang tumbuh. Kalau tidak, HPH-nya akan berakhir lebih cepat, misalnya tahun ke-10. Jika insentif REDD memungkinkan mereka menerapkan Reduced Impact Logging dan Sustainable Forest Management, maka konsep ini bisa dipraktekkan di hutan produksi.

Bisa beri contoh lokasi yang pas untuk pilot project?

Di hutan gambut. Hutan ini memiliki kemampuan menyimpan karbon yang tinggi, tapi juga paling riskan terhadap emisi. Jika terbakar atau dibakar, karbon yang dilepas ke atmosfer akan besar sekali. Tapi jika dikelola dengan baik, hutan gambut memiliki potensi juara. Ada 12 kabupaten yang mempunyai kawasan gambut yang baik: Aceh Singkil, Aceh Selatan, Pelalawan, Indragiri Hulu, Tanjung Jabung Timur, Pasir, Biak Numfor, Jayapura, dan Jayawijaya. Hutan tersebut berada di kawasan konservasi sehingga bagus sekali kalau diprioritaskan.

Apa yang lemah dari konsep REDD?

REDD akan menjadi masalah jika tidak kita ”bumikan” dalam konteks Indonesia yang belum mampu mengelola hutan secara memadai. Apa kata orang ketika kita mempromosikan REDD sementara kita tak bisa menangani pembalakan liar? Tanpa aturan main yang jelas REDD akan menjadi kancah perebutan rezeki belaka.

Apa komentar Anda terhadap pendapat yang mengatakan REDD adalah upaya menjual hutan kita?

Kita tidak menjual hutan, tapi jasa konservasi atau penurunan emisi karbon. Kedaulatannya masih di tangan negara pemilik hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus