Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hutan, Pemanasan Global, dan Masyarakat

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suraya Afiff, PhD

  • Ketua Pusat Kajian Antro­pologi FISIP–UI/ Institut Karsa (Lingkar pembaruan agraria dan pedesaan)

    Masalah kerusakan hutan kembali menjadi sorotan dunia. Kali ini yang dipersoalkan para ahli adalah kaitan antara kerusakan hutan dan perubahan iklim. Banyak ahli berpendapat bahwa kerusakan hutan telah menyumbang 18-20 persen dari total emisi gas, terutama CO2 (karbon dioksida), yang kemudian menyumbang pada terjadinya pemanasan global. Inilah yang mendasari diusulkannya skema RED (Reduce Emission from Deforestation) dalam negosiasi mitigasi perubahan iklim.

    Ide dasar RED adalah memberikan kompensasi kepada negara-negara yang masih punya tutupan hutan yang cukup luas agar mempertahankan hutannya dan menghentikan kegiatan konversi hutan. Namun, karena desakan sebagian negara yang hutannya telah mengalami kerusakan yang cukup serius, skema itu kemudian berkembang menjadi REDD (Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Berbeda dengan RED yang bertujuan menjaga keutuhan wilayah yang masih berhutan, REDD memasukkan kegiatan rehabilitasi lewat reforestasi atau ”penghutanan kembali”.

    Bagi para pendukungnya, diusulkannya RED, terutama REDD, sebagai skema untuk mengatasi masalah pemanasan global dalam negosiasi mitigasi perubahan iklim disambut cukup antusias. Ada harapan besar bahwa skema ini dapat memberikan dana tambahan bagi upaya pelestarian dan upaya mencegah laju kerusakan hutan, terutama di wilayah tropis.

    Diskusi berikutnya membicarakan bagaimana menyalurkan dana kompensasi ini. Ada dua skema yang diusulkan. Pola pertama melalui mekanisme pendanaan publik. Dalam skema ini, ada sebuah lembaga pendanaan internasional yang memberikan kompensasi kepada negara-negara di Asia, Afrika, atau Amerika Latin yang secara sukarela bersedia menghentikan atau mencegah laju konversi dan kerusakan hutannya. Dana untuk lembaga ini diusulkan dikumpulkan dari hasil pajak industri ekstraktif, sebagian di antaranya akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan untuk menurunkan laju kerusakan hutan.

    Mekanisme lain adalah menggunakan cara berbasis mekanisme pasar. Lewat cara ini, diciptakan mekanisme pasar karbon yang dapat diperdagangkan secara bebas. Negara industri yang perlu menurunkan tingkat emisi dapat membeli karbon yang diperdagangkan oleh negara yang bermaksud mempertahankan atau merehabilitasi hutannya.

    Yang kontra dengan usulan ini menganggap bahwa penciptaan pasar karbon berarti memberikan hak kepada negara industri untuk terus mengumbar polusi. Yang pro beranggapan bahwa lewat mekanisme ini diharapkan dapat digalang cukup dana untuk memberikan kompensasi kepada negara berkembang agar mereka tidak lagi mengkonversi hutan mereka, termasuk upaya rehabilitasi hutan yang memerlukan dana yang tidak sedikit.

    Menurut perhitungan Bank Dunia, kompensasi yang diberikan US$ 200 hingga 10.000 untuk setiap hektare hutan yang tidak diganggu. Para ahli Bank Dunia memperkirakan, untuk mencegah laju kerusakan hutan (deforestasi) di negara berkembang setiap tahun sebesar 20 persen saja, diperlukan US$ 2 juta hingga 20 juta.

    Saya tidak bermaksud mengulas lebih dalam pro-kontra berbagai usul ini. Saya ingin menyoroti lebih dalam apa implikasi skema REDD bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan. Apakah skema REDD merupakan peluang atau justru ancaman?

    Perbincangan selama ini kurang membahas siapa sebenarnya yang bisa menerima dana kompensasi yang diusulkan dalam skema REDD. Ada anggapan umum yang berkembang bahwa dana kompensasi ini akan berbasis nasional. Namun, tidak jelas apakah dana ini harus disalurkan lewat pemerintah atau lewat sektor terkait, baru didistribusikan ke berbagai kegiatan. Misalnya, untuk pengelolaan taman nasional, pencegahan pembalakan liar, mendukung program reforestasi dan program lain yang mendorong pengelolaan hutan lestari, termasuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tidak jelas juga apakah dana ini dapat dikelola langsung oleh kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk pemberian dana skala kecil.

    Meskipun masih serba belum jelas, tak bisa dimungkiri bahwa dalam pembahasan REDD selama ini sangat ditekankan pada partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan hutan dan reforestasi. Hal ini membuat sebagian pihak yang mendukung skema kompensasi ini umumnya memandang bahwa terdapat peluang yang cukup terbuka untuk mendukung program pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

    Sayangnya, dalam soal ini pun masih banyak yang belum jelas. Misalnya, apakah hak-hak masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat, terjamin atau malah tersingkir. Juga, apakah program-program itu akan menyentuh dan membawa manfaat bagi mereka. Masalahnya, dari hasil evaluasi di berbagai tempat di dunia, pada tingkatan praktek, kebanyakan program pelestarian dan reforestasi masih bersifat top-down dan tidak berkelanjutan.

    Banyak kegiatan konservasi alam masih bersandar pada paradigma anti-manusia—yang lebih condong pada upaya memindahkan masyarakat dari kawasan konservasi. Program PES (payment for environmental services) di Amerika Latin, yang bertujuan memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin yang telah memberikan kontribusi pada upaya perlindungan daerah aliran sungai, bisa menjadi pengalaman. Program itu menunjukkan kompensasi tidak selalu bermanfaat untuk masyarakat setempat. Dalam beberapa kasus, kondisi masyarakat justru menjadi lebih buruk.

    Bagaimana dengan Indonesia? Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa adanya ruang politik yang terbuka di kancah internasional dapat menjadi peluang tapi juga sekaligus menjadi limitasi. Dan tidak tertutup pula adanya impak negatif terutama bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan. Namun situasi yang sama bisa juga berarti terbukanya peluang untuk mendesak pemerintah melahirkan regulasi. Juga memastikan adanya jaminan bagi hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber alam.

    Satu hal yang mungkin terjadi adalah negara yang ingin memperoleh dana kompensasi ini akan dikenai syarat tertentu berupa jaminan hukum agar masyarakat setempat tidak tersingkir. Hal ini berarti akan semakin terbuka kesempatan untuk mendorong pemerintah makin memperhatikan kepedulian berbagai pihak tentang perlunya penataan kembali institusi kehutanan. Institusi yang dimaksud di sini bukan berarti organisasi kehutanan, melainkan berbagai aturan yang terkait dengan siapa yang dapat memiliki serta memperoleh akses apa, di mana, berapa lama, dan untuk pemanfaatan apa.

    Yang jelas, suka atau tidak suka, program pengelolaan hutan berbasis masyarakat di masa depan kemungkinan besar akan dikemas dalam skema REDD ini. Hanya organisasi atau lembaga yang mengemas program dan inovasinya dengan skema inilah yang kemungkinan berpeluang didanai. Namun, sisi yang dianggap peluang oleh suatu pihak dapat pula dilihat sebagai hal yang menghambat, membatasi, atau bahkan ancaman bagi sebagian yang lain.

    Sekali suatu kawasan diusulkan mendapatkan kompensasi lewat skema ini, berarti tertutup kemungkinan hutan di kawasan tersebut diubah penggunaannya. Karena syarat dari kompensasi itu adalah terjaganya terus-menerus tutupan hutan yang dimaksud untuk mengurangi emisi gas yang berkontribusi pada pemanasan global.

    Untuk Indonesia, persoalannya, skema REDD diusulkan di tengah masih banyaknya masalah seputar penguasaan hutan oleh negara. Beberapa pihak, misalnya, masih mempersoalkan penetapan tata batas yang dilakukan sepihak dan tidak adanya mekanisme yang dibangun untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih klaim antara negara dan masyarakat setempat. Selain itu, hingga kini belum ada regulasi yang lebih menjamin adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat setempat. Tambahan lagi, masih ada praktek pengelolaan dan rehabilitasi hutan yang cenderung top-down dan korup.

    Semua masalah itu dapat menyebabkan skema REDD justru berpotensi menyingkirkan masyarakat setempat dari akses mereka terhadap sumber daya hutan. Ironisnya, dukungan internasional ini di tingkat lapangan juga dapat diterjemahkan sebagai legitimasi digunakannya kekerasan oleh aparat negara untuk mengusir masyarakat yang selama ini hidupnya bergantung pada hasil hutan. Selain itu membuat tidak tertutup kemungkinan skema REDD dapat berpotensi meningkatkan insiden kriminalisasi serta pemenjaraan warga masyarakat miskin yang diberi cap sebagai ”penjarah” hutan. Dengan demikian, kemungkinannya implikasi RED atau REDD terhadap masyarakat di sekitar hutan bisa mix—menguntungkan sebagian, tapi merugikan sebagian yang lain.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus