Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kini Ibu Sedang Lara...

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK kecil kita mengingat syair itu, ”Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan....” Cerita tentang tanah yang lapang dan subur, hutan yang rimbun dan lebat berdaun.

Negeri di garis khatulistiwa itu: zamrud yang tak putus, berantai dari ujung ke ujung.

Tapi entah dari mana pengarang lagu itu—sebuah tembang rohani yang disadur menjadi pujaan bagi Tanah Air—mendapat ide tentang syair dengan akhir yang murung. ”Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa.”

Hutan kita. Itulah lara itu. Ekonomi yang dibangun di atas eksploitasi atas sumber daya alam. Segelintir orang menjadi kaya, yang lain bodoh, lapar dan terbelakang. Bahan bakar menipis, hutan meranggas, bumi makin panas.

Kini keserakahan harus dibayar bersama. Perubahan iklim terjadi: musim kemarau berkepanjangan, musim hujan memendek, banjir besarnya mematikan kota-kota. Warga mengapung di air bah. Dasar laut terangkat. Salju abadi meleleh.

Kini Ibu sedang lara, merintih dan berdoa....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus