Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imran Poltak Herianto Ambarita, 27 tahun, masih ingat hari-hari ia datang ke kampus dengan dandanan rapi jali. Padahal mahasiswa lainnya di kampus Universitas Trisakti rata-rata memakai busana kasual. ”Kami selalu harus memakai busana yang rapi,” kata Imran kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Lewat serangkaian tes dan wawancara, Imran yang mengambil jurusan akuntansi terpilih jadi peserta kelas internasional. Trisakti mengambil mitra dari Australia, yakni Edith Cowan University.
Menurut Imran, sistem perkuliahan program double degree di Universitas Trisakti memang agak berbeda karena mengikuti kurikulum dan metode belajar di kampus mitranya, Edith Cowan University. Imran selalu harus mempresentasikan hasil belajarnya di setiap mata kuliah. Presentasi itu juga harus disertai slide show yang ditata apik.
Awalnya ia cukup kerepotan dengan sistem itu, tapi dosennya meyakinkan bahwa semuanya berguna untuk membangun rasa percaya diri berbicara di depan umum. ”Tidak semua orang mampu mengkomunikasikan pemikirannya kepada orang lain,” kata Imran menirukan ucapan dosennya.
Setelah menyabet gelar ganda sarjana ekonomi dan bachelor of business administration, Imran langsung meneruskan ke jenjang S-2. Ia kembali memilih Edith Cowan University.
Berbeda dengan calon mahasiswa pascasarjana pada umumnya, Imran tak menemui banyak kesulitan mendaftar ke universitas itu karena ia terhitung alumni. Ia bahkan lebih gayeng dalam berdiskusi dan presentasi saat kuliah.
Ijazah Australia juga memudahkannya melamar pekerjaan di satu perusahaan properti di sana. Ia memakai gajinya untuk menambah dana keperluan kuliah. ”Kuliah di kelas internasional memberikan mentalitas yang membuat saya siap bersaing di sini,” kata Imran.
Mahasiswa kelas internasional memang jadi incaran, terutama oleh perusahaan multinasional. Direktur Program Kelas Khusus Internasional Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Isfandiary Djafaar menemukan banyak mahasiswanya digaet perusahaan jasa keuangan dan perbankan multinasional sebelum mereka diwisuda. ”Mereka sudah ditawari pekerjaan, padahal transkrip nilainya belum selesai kami proses,” kata Isfandiary.
Namun Isfandiary menyarankan peminat program double degree tak berpikir terlalu jauh lebih dulu. ”Yang penting itu memilih spesialisasi yang pas dengan minat,” ujarnya.
Isfandiary melihat masih banyak mahasiswa yang cenderung mengikuti bidang ilmu orang tuanya. Padahal, katanya, sifat dan minat mereka bisa jadi berbeda.
Ilmu ekonomi dan bisnis, menurut dia, membutuhkan penguasaan matematika yang kuat. ”Mereka yang matematikanya lemah sebaiknya jangan memilih bidang seperti akuntansi,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya memilih negara tujuan yang tepat. Setiap negara, menurut dia, punya kelebihan dalam disiplin ilmu tertentu.
Ia mencontohkan Belanda, dengan kota pelabuhan dan ekspedisi kapal dagangnya yang berumur ratusan tahun, yang membuat kampus-kampus sangat berpengalaman dalam urusan bisnis. ”Karena itu Belanda jadi pilihan yang pas buat belajar bisnis internasional,” ujarnya.
Namun negara itu tak pas buat belajar akuntansi. Ia menilai ukuran dan ekonominya terlalu kecil sehingga kompleksitas permasalahan akuntansi dan keuangannya tak serumit Australia, sehingga peluang studi kasus buat mengasah ilmu pun tak banyak.
Peluang sukses berkarier dan mempelajari ilmu ekonomi yang lebih luas itulah yang antara lain jadi alasan Dianne Sunu memilih program gelar ganda di Universitas Bina Nusantara. Namun kuliah double degree memang butuh mental baja sejak tahun pertama di Indonesia.
Modal bahasa Inggris lewat kursus di Lembaga Bahasa LIA rupanya belum cukup buat Dianne Sunu bisa langsung lancar mengikuti perkuliahan. ”Aku memang pernah les tapi tidak pernah seratus persen belajar dengan bahasa Inggris,” ujarnya.
Bulan-bulan pertama Dianne cuma bisa membatin karena tak mengerti penjelasan dosennya di program double degree di Universitas Bina Nusantara. Dalam mengerjakan tugas pun kadang ia kesulitan menerjemahkan beberapa istilah ke bahasa Inggris.
Namun, melihat teman sekelasnya mampu mengatasi hambatan bahasa, Dianne justru semakin terpacu untuk mengatasi ketertinggalannya. ”Sekarang malah bingung kalau harus menulis dalam bahasa Indonesia,” ujarnya. ”Asalkan terus berpikir positif pasti bisa mengatasi masalah bahasa.”
Rintangan tak berhenti di situ. Saat Dianne menapaki kampus Cologne Business School di Koln, Jerman, muncul masalah baru. Ia memang tak kesulitan mengikuti kuliah dalam bahasa Inggris. Cuma, begitu keluar kelas, banyak mahasiswa berbicara dalam bahasa Jerman. Ia sempat kaget juga dengan budaya yang menurutnya cenderung individualistis.
Dianne juga menemukan mahasiswa dari Indonesia cenderung pendiam. Padahal dosen-dosen di sana sangat mengharapkan mahasiswanya aktif dalam perkuliahan.
Dianne merasakan godaan malas pada bulan-bulan awal sangat besar. ”Pas semester awal masih terpesona dengan Koln, jadi bawaannya ingin jalan-jalan terus,” ujarnya.
Ia juga berpendapat, kuliah di negeri orang lebih berat. Selain mengurus kuliah, urusan rumah mesti dikerjakan sendiri. Namun, menurut dia, Binus sudah mengkondisikan mahasiswa agar tak terlalu kaget dengan gaya kuliah di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo