Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada rupa-rupa alasan memilih kuliah di kelas internasional. Bagi Paranita Ferronika, alasan itu tak muluk-muluk amat. Lingkungan internasional-karena ada beberapa mahasiswa dari negara tetangga-dan berbahasa Inggris, di antaranya.
"Tapi saya juga memilih tidak kuliah ke luar negeri karena ingin dekat dengan keluarga," kata Paranita. Dokter asal Jakarta ini lulus dari Universitas Gadjah Mada lima tahun lalu. Paranita adalah mahasiswa angkatan pertama kelas internasional Fakultas Kedokteran UGM pada 2001. Kala itu dia harus membayar uang masuk US$ 10.000 atau sekitar Rp 90 juta dan ongkos pendidikan US$ 1.000 per semester.
Kelas internasional di UGM ada sejak 2001. Menurut Djoko Prakoso, Manajer Akademik Fakultas Kedokteran Internasional Universitas Gadjah Mada, sebelum ada kelas khusus ini, sudah banyak mahasiswa asing yang kuliah di kampus Bulaksumur itu. Masuknya mahasiswa asing otomatis mengurangi jumlah kursi bagi mahasiswa Indonesia. "Kenapa kami tidak sekalian membuka kelas internasional?" tutur Djoko pekan lalu.
Mahasiswa asing di sekolah kedokteran di negeri ini memang bukan hal baru. Sejak 1970-an mahasiswa dari negeri jiran, terutama Malaysia, menyerbu sekolah-sekolah kedokteran di Indonesia. Bukan hanya sekolah calon dokter top di Pulau Jawa seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Padjadjaran yang jadi tujuan, sekolah dokter di luar Jawa pun diminati.
Di sekolah kedokteran kampus Bulaksumur, separuh isi kelas internasional adalah mahasiswa dari Malaysia. Di sekolah kedokteran Universitas Udayana, Bali, Universitas Brawijaya (Malang), Universitas Hasanuddin (Makassar), setiap tahun ada puluhan mahasiswa Malaysia mendaftar.
Seperti kata Rathi Vathani Kathiravellu, mahasiswi kedokteran UGM asal Malaysia, ongkos sekolah di Indonesia masih murah. Walaupun biaya sekolah dokter di Bulaksumur juga ratusan juta rupiah hingga tamat, menurut dia, angka itu masih tetap lebih rendah ketimbang di Singapura.
Di UGM, dia hanya perlu membayar uang muka Rp 120 juta dan biaya pendidikan per semester Rp 64,5 juta. Jika memilih kuliah di sekolah kedokteran Duke-National University of Singapore, setiap tahun dia harus keluar ongkos US$ 39.990 atau sekitar Rp 275 juta. Belum lagi biaya hidup di Negeri Singa yang jauh lebih mahal ketimbang di kota-kota besar di Indonesia. Selain soal ongkos, sebagai sesama negara tropis, karakter ilmu yang dipelajari kedua negara juga tak banyak beda.
Di kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, juga ada berpuluh calon dokter jiran. Mereka mengikuti kelas gelar ganda ataupun biasa (dengan biaya khusus). Menurut Tri Hanggono Achmad, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, mereka bekerja sama dengan Universiti Kebangsaan Malaysia untuk kelas gelar ganda ini.
Namun kelas ini hanya berlaku bagi para calon dokter dari Malaysia. Para calon dokter gelar ganda menjalani tiga tahun pendidikan praklinik di kampus Jatinangor selama tiga tahun, kemudian meneruskan di Universiti Kebangsaan untuk pendidikan klinik selama tiga tahun hingga selesai.
Soal mutu, para mahasiswa negeri tetangga ini juga sangat yakin sekolah kedokteran di Indonesia tak kalah bagus dengan universitas di Malaysia. "Saya sekolah di UGM karena salah satu yang terbaik di Indonesia," kata Mak Chin Juan, 21 tahun, mahasiswi asal Malaysia. Apalagi gelar sekolah kedokteran Indonesia juga laku di negeri itu, karena kelas-kelas internasional tersebut telah mendapat akreditasi dari Malaysia Medical Center.
Walaupun persaingan seleksi kelas internasional tak seketat kelas biasa, Djoko percaya kualitas lulusan kelas internasional juga tak kalah dengan dokter produk kelas reguler. "Mereka yang masuk kelas internasional kan juga lulusan pilihan dari negaranya," ujar Djoko. Sedangkan mahasiswa kelas internasional dari Indonesia pun telah disaring dengan rupa-rupa tes.
Saking banyaknya calon dokter jiran di kampus negeri ini, sekali waktu Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, kala itu, pernah mengutarakan kegalauannya. Dia khawatir kursi yang dipakai mahasiswa Malaysia akan mengurangi jatah lulusan sekolah menengah atas di Indonesia. Namun, menurut Tri Hanggono, minat mahasiswa asing ini malah jadi berkah bagi sekolah kedokteran Indonesia.
Duit dari calon dokter Malaysia bisa dipakai untuk memperbarui fasilitas sekolah dan memberi subsidi silang bagi mahasiswa Indonesia. "Lebih dari separuh mahasiswa Indonesia di kampus ini jadi bisa kuliah lebih murah," katanya. Ongkos sekolah mahasiswa biasa ini, walaupun sebenarnya tak murah-murah amat, memang bedanya bak langit dengan bumi jika dibanding kelas internasional. Mahasiswa biasa "hanya" perlu membayar uang masuk Rp 2 juta, sumbangan Rp 2 juta, dan ongkos pendidikan per semester Rp 2 juta.
  | UGM internasional | Unpad internasional | UI internasional | Unpad reguler |
Uang masuk | Rp 120 juta | Rp 175 juta | Rp 100 juta | Rp 2 juta |
Biaya per semester | Rp 64,5 juta | Rp 62 juta | Rp 40 juta | Rp 2 juta |
Ongkos pelayanan/sumbanganRp 17,2 juta | Rp 2 juta | |||
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo