Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=1 color=#FF9900>PESANTREN MLANGI</font><br />Mlangi Tak Hanya Akhirat

Pondok pesantren di Mlangi tak hanya mengajarkan ilmu agama. Santri mendapat kesempatan bekerja.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIFTAHUL Rohmah bukan penjahit biasa. Gadis 22 tahun itu santriwati Pondok Pesantren As-Salafiyyah, Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Dua tahun lalu, ia bekerja di perusahaan konfeksi milik seorang penduduk desa itu. Kini, ia berkhidmat untuk perusahaan konfeksi milik pemimpin pondok. Pekerjaannya sama: menjahit kain menjadi mukena.

”Awalnya cari pengalaman, sekarang lumayan untuk tambahan sehari-hari,” kata gadis asal Temanggung, Jawa Tengah, itu. Untuk satu mukena, ia dibayar Rp 1.100. Kerja dua jam sehari, ia menjahit 10 potong mukena. Di luar itu, tentu saja, sebagian besar waktunya habis untuk mengkaji ilmu agama.

Santri Pondok As-Salafiyyah diwajibkan mencukupi kebutuhan masing-masing. Dengan berbagai kegiatan, mereka bisa membayar biaya ”mondok” yang cukup murah: biaya masuk Rp 20 ribu, uang investasi modal Rp 10 ribu, infak Rp 150 ribu, dan uang bulanan Rp 15 ribu. Total setahun Rp 170 ribu—sudah termasuk biaya mondok, listrik, dan air.

Miftahul dan teman-temannya di pesantren itu belajar selepas salat asar hingga pukul 22.00. Setelah itu, mereka diwajibkan belajar sendiri selama satu jam. Tidur beberapa jam, bakda subuh mereka mengaji bersama. Miftahul biasa bekerja menjahit pada waktu istirahat sejak pukul 08.00 hingga menjelang asar.

Santri lain juga memanfaatkan waktu pagi hari buat bekerja. Nurhuda, 22 tahun, dan Sohirun, 26 tahun, bekerja di produsen net bola voli dan badminton bermerek Piala Dunia di dekat pesantren. Mereka menjahit dan mengemas net dengan upah Rp 15 ribu per hari. ”Yang saya unggulkan dari santri, mereka memegang kepercayaan,” kata Asep Sirandi, 40 tahun, pemilik Piala Dunia. Para santri dilatih bertahap sambil bekerja.

As-Salafiyyah memberikan cukup ruang untuk santri-santrinya berkreasi. Didirikan Kiai Masduqi pada 1933, pesantren ini mengizinkan para santrinya menuntut ilmu di sekolah formal, baik tingkat menengah maupun perguruan tinggi. Dengan keleluasaan ini, para santri bisa banyak berkreasi.

Dari tulisan-tulisan yang diunggah di blog buatan santri, as-salafiyyah.blogspot.com, mereka memiliki pemahaman yang tidak semata pada agama formal. Para santri bahkan mengenalkan terobosan-terobosan baru. Misalnya kemungkinan metode diagram untuk memahami kitab kuning. Bahkan ada santri yang telah merancang peranti lunak kamus online bahasa Arab-Indonesia.

l l l

KIAI Masduqi mendirikan As-Salafiyyah setelah tamat dari Pondok Pesantren Bojonegoro, Jawa Timur, tempat ia bernaung selama 25 tahun. Awalnya, As-Salafiyyah hanya menjadi tempat mengaji para santri ”kalong”—santri yang tidak menetap karena dari daerah sekitar pondok.

Masduqi antara lain menguasai ilmu falak. Ia memanfaatkannya buat menentukan waktu salat, awal bulan, juga jadwal bercocok tanam. Ia juga menguasai ”ilmu lain”. Pernah suatu saat, ia memperkirakan jatuhnya daun kelapa. ”Ketika jatuh, jumlah lidinya persis prediksi,” kata Kiai Haji Nur Hamid, cucunya, yang kini memimpin pesantren.

Peninggalan Kiai Masduqi bisa dilihat pada buku-buku usang kecokelatan yang disimpan di rak kaca. Ia menulis sekitar seratus buku, yang tidak hanya soal ilmu agama, tapi juga pengetahuan umum. Semasa hidupnya, Kiai Masduqi dikenal gandrung ilmu pengetahuan dan terus belajar.

Guna meneruskan semangat belajar sang pendiri pengasuh pondok mengizinkan santrinya belajar di lembaga pendidikan formal. ”Sebelumnya, sekolah umum sempat dianggap tabu karena dipandang peninggalan Belanda,” kata Nur Hamid.

Kini As-Salafiyyah memiliki 250 santri—150 di antaranya laki-laki. Menurut Ilzamul Wafiq, koordinator divisi penelitian dan pengembangan pesantren, sekitar 85 persen santri juga belajar di sekolah formal, termasuk di beberapa kampus di Yogyakarta.

As-Salafiyyah bukan satu-satunya pondok pesantren di Mlangi. Sedikitnya ada sepuluh pondok pesantren di sini. Di antaranya pesantren Falakiyyah, Al-Miftah, Al-Huda, Assalamiyyah, An-Nasyath, Mlangi Timur, Hujatul Islam, dan Al-Ikhsan.

Mlangi yang agamis, dusun di barat laut Yogyakarta itu, dibuka Kiai Nur Iman pada 1760. Dikenal sebagai Kiai Mlangi, ia bangsawan dengan nama kecil Bendara Pangeran Hangabehi Sandiyo. Ia saudara seayah dengan Paku Buwono II, Raja Keraton Kartasura, dan Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Sandiyo tertarik menekuni ajaran Islam, dan berguru hingga ke Jawa Timur. Begitu balik ke Yogyakarta, ia ditawari Sultan mendirikan masjid dan pusat pengembangan agama. Ia memilih Mlangi, yang oleh keraton kemudian ditetapkan sebagai bumi perdikan—daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Sandiyo, yang sudah dikenal sebagai Kiai Nur Iman, kemudian mendirikan masjid yang masih bertahan hingga kini, disebut Masjid Jami Mlangi atau Masjid Pathok Negara.

Sejarah panjang itu masih terekam kuat di Mlangi. Pondok-pondok pesantren memiliki satu kemiripan: lebih terbuka. ”Bukan hanya dengan ilmu agama, santri juga dibekali dengan pendidikan formal dan keterampilan bekerja,” kata Akhsan Salim, Ketua Desa Wisata Religi Mlangi.

Para santri di sana mendapat kesempatan mengasah keterampilan karena dukungan kewirausahaan. Di dusun seluas 24 hektare itu, sedikitnya ada seratus pengusaha yang umumnya memproduksi kopiah, kerudung, busana muslim, serta net bola voli, bulu tangkis, atau tenis. Mereka memasok pasar-pasar kerajinan di kawasan Malioboro atau Candi Borobudur. Selain dikenal sebagai kampung santri, Mlangi mendapat julukan Desa Tenun.

Harun Mahbub Billah, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus