Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP liburan, Ilham selalu mudik membawa oleh-oleh yang tak biasa: bibit mahoni dan kakao. ”Supaya kampung saya yang kering jadi subur,” kata santri 16 tahun asal Tumpak Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, itu. Dua tahun belajar di Madrasah Al-Maarif di Pembuwun Keling, Sesaot, Lombok Barat, ia tak hanya mendapat ilmu agama, tapi juga lingkungan.
Semua berawal dari Ustad Haji Jumadil Awal alias Nasruddin Muhdi, 67 tahun, yang menganggap: serimasih, sedi doang taok masih. Ini bahasa Sasak yang bermakna: hanya kawasan pinggiran yang hutannya masih hijau, sedangkan bagian tengah sudah gundul karena penebangan liar.
Nasruddin lalu menggerakkan 200 keluarga warga Dusun Pembuwun Keling dan santri Madrasah Al-Maarif Qamarul Huda menghijaukan kawasan mulai sembilan tahun silam. Mereka menanam pohon: jati, gamelina, sengon, dan mahoni, di pinggir jalan ataupun di pekarangan rumah. ”Saya carikan bibit lalu saya ajak mereka menanam supaya tidak menggerogoti hutan,” ujar mantan Kepala Desa Sesaot, Lombok Barat, pada 1989-1999 ini.
Warga yang semula sinis terhadap kegiatan ini perlahan berubah setelah melihat hasilnya. Lahan 4.000 meter persegi—bagian dari tanah kuburan di Dusun Pembuwun Keling—yang dulunya kosong kini penuh pohon jati. Sudut-sudut dusun pun kini ditumbuhi jati. Menurut Nasruddin, sekitar 20 ribu batang pohon telah disebarkan kepada warga.
Para santri juga dilibatkan dalam gerakan ini. ”Kalau mereka pulang kampung, saya suruh bawa bibit tanaman kayu,” ujarnya. Ia berharap tanaman tersebut nantinya tumbuh besar dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Berdiri sejak 2000 di atas tanah wakaf Nasruddin seluas 4.000 meter persegi, Al-Maarif adalah cabang dari Yayasan Pondok Pesantren Qamarul Huda di Desa Bagu, Kecamatan Pringgarata. Dengan jenjang pendidikan tsanawiyah dan aliyah, Al-Maarif memiliki santri 150 orang—50 di antaranya mondok. Ada lima belas santri yang datang dari luar dusun.
Kini Nasruddin mempersiapkan berdirinya Sekolah Menengah Kehutanan di Pembuwun Keling pada 2010. ”Laboratoriumnya adalah hutan di sini yang sudah banyak gundul,” katanya.
Gerakan go green dilakukan Al-Maarif selaras dengan aktivitas induknya: Yayasan Pondok Pesantren Qamarul Huda, yang diasuh guru Haji Turmudzi Badruddin. Menempati lahan lima hektare, Qamarul Huda membuka sekolah dari tingkat raudatul atfal (taman kanak-kanak), ula (ibtidaiyah), wustha (tsanawiyah), ulya (aliyah), serta Sekolah Menengah Kejuruan Jurusan Farmasi dan Teknik Komputer.
Untuk level yang lebih tinggi, ada perguruan tinggi Mahad Aly, Institut Agama Islam, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, dan Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan. Jumlah santrinya hampir 4.500 orang—500 di antaranya mondok dengan biaya Rp 500 ribu per tahun.
Keterlibatan yayasan dalam pelestarian hutan berawal dari kunjungan Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail ke Kecamatan Batu Kliang, Lombok Tengah, dan Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, pada 1998. Kala itu Qamarul Huda dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengajukan diri menjadi mitra pemerintah untuk menangani kerusakan hutan. Keinginan itu ditanggapi positif oleh pemerintah. Hutan di Batu Kliang dan Pemenang pun dijadikan hutan kemasyarakatan.
Program pertama mulai dilaksanakan pada 1999, yaitu menanam hutan dengan tanaman seperti kacang-kacangan di lahan seluas 200 hektare. Hasilnya kelak diharapkan bisa menjadi modal bagi warga sekitar untuk menyekolahkan anak mereka yang kebanyakan belum tamat sekolah dasar.
Andari Karina Anom, Supriyantho Khafid (Lombok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo