Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUAH cokelat itu siap dipanen. Sudah matang, memang. Bentuknya lonjong berwarna kemerahan. Para santri dengan cekatan menguliti dan mengumpulkan biji-bijinya untuk kemudian dijemur. Mereka puas tiada terhingga. Kerja keras mereka berbuah hasil yang tak buruk. Tiap bulan satu ton cokelat mereka hasilkan.
Budi daya cokelat yang dilakukan para santri sejak lima tahun lalu itu hanyalah salah satu kegiatan di pesantren ini. Lainnya masih banyak. Ada budi daya ikan air tawar dan produksi air kemasan. ”Itu semua dibilang usaha yang dikerjakan pesantren,” kata Naga Lubis, 69 tahun, pendiri pesantren ini.
Pesantren di Deli Serdang, sekitar 25 kilometer dari Medan, Sumatera Utara, ini memang tidak hanya membekali para santrinya dengan pendidikan agama, tapi juga ilmu pengetahuan aplikatif. Skenarionya, setelah lulus, para santri telah memiliki keahlian bermanfaat. Yang penting, mereka mendapat kemampuan bernilai ekonomi, menghasilkan uang untuk keluarga, syukur-syukur bagi masyarakat sekitar.
Memang, Naga Lubis mengakui pendidikan ”wiraswasta” dilakukan lebih untuk menghidupi pondok. Maklum, untuk menjalankan pesantren yang kini mendidik 1.900 orang santri dengan tenaga pengajar 112 guru, lembaga itu tidak dapat mengandalkan uang iuran santri yang Rp 480 ribu per bulan.
Menurut dia, setelah dibagi, antara lain untuk honor pengelola, hasil dari usaha itu—cokelat dan ikan—menjadi kas pemasukan pesantren. Meski tidak menyebut berapa besaran rupiah yang didapatkan dari usaha itu, Lubis memastikan dana operasional pesantren dapat diatasi.
Kemandirian yang menjadi roh pesantren ini sebenarnya bisa dilihat dari sejarah berdirinya pondok. Pada 1984, untuk menghasilkan ulama, Lubis membawa 200 pelajar asal Deli Serdang belajar di Pesantren Darussalam, Gontor, Jawa Timur. Sebelumnya, anak Lubis lebih dulu mencari ilmu di pondok legendaris itu.
Nyatanya yang diterima di Gontor hanya 20 orang. Tak ingin mengecewakan yang gagal, Lubis membawa mereka ke Pesantren Al-Amien di Madura. Namun Lubis tak habis pikir. Niat mereka menimba ilmu agama ditolak. ”Bagi saya, semestinya tidak ada seleksi, karena masuk pesantren adalah untuk belajar agama,” kata Lubis saat ditemui di rumahnya di lingkungan Pesantren Darul Arafah, Desa Lau Bekri, Kabupaten Deli Serdang.
Penolakan itu sangat membekas di hatinya. Dia pun bertekad membangun pesantren sendiri. Pada 1985, Darul Arafah berdiri. Antusiasme warga pun lumayan besar. ”Tahun ajaran pertama, murid yang mendaftar sudah 113 orang,” ujar Lubis. Pelan tapi pasti, pesantrennya terus berkembang.
Selanjutnya, untuk menjaga kualitas pendidikan, Lubis menjalin kerja sama dengan Pesantren Gontor. Namun terjadi perbedaan pandangan soal ijazah Departemen Pendidikan. Bagi Lubis, ijazah formal penting untuk santri. ”Sejak awal, Darul Arafah mengeluarkan ijazah formal selain ijazah pesantren,” dia menegaskan. Keinginan itu pun tercapai, para santri bisa menjadi dokter atau pegawai negeri.
Namun belakangan dia mulai risau. Sebab, lulusan pesantrennya banyak memilih profesi lain, ”Lalu siapa nantinya yang menjadi ulama.” Untuk mengembalikan tujuan pesantren melahirkan ulama, sejak 2007, Lubis kembali menerapkan pentingnya pesantrennya untuk mencetak ulama. Peminatnya tidaklah sepi. Seorang di antaranya Fajar Irawan, santri kelas enam di pesantren ini. ”Insya Allah saya mau jadi ulama,” kata santri asal Desa Rambung, Kabupaten Aceh Tenggara, ini.
Untuk cita-citanya itu, Fajar merelakan waktu setahun di pesantren untuk belajar bahasa. ”Saya masuk ke sini setelah tamat SMP, jadi satu tahun pertama harus belajar bahasa Arab dan Inggris dulu. Setelah itu, baru masuk ke kelas,” ucapnya. Fajar dan teman-teman yang lain inilah yang menjaga api semangat Haji Naga.
Irfan Budiman, Soetana Monang (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo