Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOEYATI Soekirman tak pernah luput membawa Davos. Nenek 68 tahun warga Banyumas ini sudah puluhan tahun menggemari permen itu. ”Orang-orang tua memang konsumen loyal kami,” kata Nicodemus Hardi, Managing Director Operasional PT Slamet Langgeng, produsen permen Davos.
Permen ini dirintis oleh Siem Kie Djian pada 28 Desember 1931. Lokasi pabriknya tetap sama hingga kini: Jalan Ahmad Yani 67, Kelurahan Kandang Gampang, Purbalingga, Jawa Tengah. Perusahaan dilanjutkan anaknya, Siem Tjong An. Enam tahun berikutnya, bisnis diteruskan lagi ke anak dan menantu Tjong An: Toni Siswanto Hardi dan Corrie Simadibrata. Kini perusahaan tersebut dipimpin oleh Budi Handojo Hardi, generasi ketiga pendiri bisnis ini.
Pada masa penjajahan Jepang, perusahaan sempat tersungkur dan baru bangkit lagi sesudah 1945. Perusahaan berganti nama menjadi PT Slamet Langgeng & Co., yang memproduksi permen mint merek Davos, Kresna, Alpina, dan Davos Lux. Ada pula produk non-permen: limun dan biskuit bermerek Slamet. Karena kesulitan bahan baku, produksi biskuit berhenti pada 1973.
Nama Slamet Langgeng diambil dari nama gunung terbesar di Jawa yang terletak di Purbalingga: Gunung Slamet. Sedangkan Davos terinspirasi dari nama kota berhawa sejuk di Swiss, yang dianggap cocok menggambarkan dinginnya permen mint ini.
Hingga kini bentuk dan kemasan Davos tak berubah: satu bungkus berisi 10 butir berdiameter 22 milimeter. ”Pernah kami mengubah ukuran jadi lebih kecil, konsumen langsung protes,” kata Nico. Bahan yang digunakan, 98 persen gula dan sisanya mentol dan zat pengikat. Kini Davos dibanderol Rp 1.000 sedangkan Davos Lux Rp 500.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo