Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SINAR matahari masih jinak. Tapi, tak seperti biasanya, pukul 09.00 Jumat dua pekan lalu, sekelompok mahasiswa sudah sibuk menata tiga stan pameran di lingkungan kampus Cilandak, Jakarta Selatan. Ternyata saat itu ada acara "Marketing Day" di Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya untuk mata kuliah manajemen pemasaran Program Magister Manajemen Reguler di kuartal kedua.
Salah satu mahasiswa, Benny Roy, tak bosan menawari setiap pengunjung mencicipi segelas kecil ramuan kopi di counter Nescafe-nya. Ada black coffee, cafe latte, coffee float, mocca frappe, dan ice coffee jelly, mirip seperti menu di kafe kopi. Para pengunjung yang mendatangi meja minibar juga diminta menuliskan resep racikan kopi favoritnya di papan tulis. Payung-payung kanopi yang biasanya menjadi tempat nongkrong mahasiswa pun disulap menjadi bagian kafe dadakan itu.
Di tempat jualan lain terlihat salah satu pengunjung asyik memainkan game tenis di Wii Nintendo yang tersambung dengan televisi layar datar Samsung 32 inci. Di samping TV, ada tumpukan buku dan sekeranjang rotan berisi penganan ringan Kit Kat. Para pengunjung ditawari ikut game berhadiah di samping booth. Tiap pengunjung boleh mencomot penganan cokelat bersampul merah itu. "Karena ada break, ada Kit Kat," kata Inge Angelina Santoso, salah satu mahasiswa, menirukan tagline produk tersebut.
Meski mereka harus bekerja keras melakukan pendekatan dengan perusahaan tertentu, mengevaluasi proyek pemasaran, dan merumuskan ide-ide pengenalan produk yang baru, serta membangun tempat berjualan, pada hari-H, menurut Inge, tugas ini sangat menyenangkan karena dikerjakan kelompok. Yang agak berat adalah mencari perusahaan, sampai akhirnya perusahaan makanan PT Nestle mau berbagi informasi tentang konsep pemasaran dan strategi penentuan harga serta menyumbangkan poster dan banner pelengkap pameran.
Pihak sekolah hanya membantu memberikan informasi tentang perusahaan yang bisa "didekati" untuk tugas tersebut. "Kan, mahasiswa S-2 tidak lagi harus disusui. Mereka sudah mandiri," kata dosen mata kuliah pemasaran, Agus W. Soehadi. Menurut dia, "Marketing Day" hanya salah satu bentuk uji coba konsep atau teori menjadi nyata di lapangan. Selain dosen, perwakilan perusahaan turut menguji tiap proyek mahasiswa.
Dengan metode ini, kata Agus, mahasiswa diharapkan bisa menganalisis aktivitas pemasaran suatu perusahaan dari segi penentuan segmen, target, dan posisi di pasar. "Selain mahasiswa, perusahaan mendapat keuntungan mendapat input dari luar yang berbasis kuat. Gratis pula."
Menurut Dekan Prasetiya Mulya Sammy Kristamuljana, sekolah ini sangat terbuka dengan terobosan-terobosan metode pengajaran. Sebab, pendekatan teori di buku harus diuji relevansinya di dunia nyata setiap waktu. Ini yang membedakan Prasetiya Mulya dengan sekolah bisnis lain, bahkan di awal berdirinya tiga dekade silam.
Setelah Yayasan Prasetiya Mulya terbentuk pada Mei 1980, sekolah bisnis yang menawarkan lulusan bergelar master of business administration pertama di Indonesia itu dibangun. Empat tahun kemudian, Cilandak siap ditempati. Sejak awal berdiri, sekolah ini menggunakan sistem modul, berbeda dibanding perguruan tinggi pada umumnya.
Bukan tanpa sebab, sistem modular ini didasari hasil studi banding para intelektual Yayasan seperti Pang Lay Kim dan Kwik Kian Gie-ke Rotterdam School of Management. Pendiri Yayasan, yang mayoritas taipan, memang tidak ikut campur dalam operasionalisasi sekolah ini.
Meski sekolah ini akhirnya tidak mengadopsi persis program MBA di luar negeri, sambutan pasar sangat menggembirakan. Saat itu, modul yang ditawarkan adalah dasar manajemen, sumber daya manusia, pemasaran, produksi, dan strategi. Artinya, program ini sangat cocok dengan situasi di Indonesia. "Kebutuhan pengetahuan MBA sangat tinggi, tapi pengusaha tidak punya banyak waktu jika harus ikut program dua tahun nonstop," kata Sammy.
Namun itu bukan berarti sekolah bisnis ini berjalan tanpa hambatan. Status hukum sekolah ini masih terkatung-katung hingga sepuluh tahun kemudian karena tidak bisa langsung digolongkan sebagai perguruan tinggi. Sekolah ini didaftarkan di Direktorat Pendidikan Luar Sekolah. Levelnya sama dengan kursus mengetik, kursus menjahit, dan sebagainya. "Namun, dengan semangat yang tak pernah surut, jalan terus."
Hingga 1993, sistem modular masih bertahan. Tapi, setahun kemudian, setelah pemerintah usai dengan proyek percontohan magister manajemen di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, Prasetiya Mulya diharuskan mengikuti sistem pendidikan tinggi nasional. "Gelar MBA tidak lagi diperbolehkan, diganti MM," ujar Sammy. Sistem modular tetap jalan dalam bentuk pendidikan non-gelar, yakni Certificate of Business Management.
Sekolah ini selalu memvariasikan sebanyak mungkin proses belajar dalam bentuk proyek inovatif, magang di perusahaan, serta proyek akhir berupa business plan. Rencana usaha dan simulasi bisnis ini menjadi ciri khas Prasetiya Mulya. Intinya, mahasiswa tidak hanya belajar konsep. "Proyek mereka juga harus down to earth, misalnya memecahkan kasus secara berkelompok," kata Direktur Pemasaran Prasetiya Mulya Iwan Kahfi.
Kalangan pendiri yang duduk di Dewan Yayasan, kata Sammy, sangat puas dengan ribuan lulusan sekolah ini. Bahkan 40 persen dari 70 orang lulusan program S1 angkatan pertamanya tahun lalu bekerja di perusahaan, 30 persen membuka usaha sendiri, dan sisanya melanjutkan studi ke luar negeri. Ini sesuai dengan visi para pendiri, yang ingin lulusan bukan lagi pencari kerja, tapi menciptakan lapangan pekerjaan sebagai pengusaha.
Lulusan yang paling diincar perusahaan terbagi menjadi dua golongan: MM Reguler yang berasal dari Program Pemasaran dan Keuangan, serta Program S-2 MM Eksekutif Manajemen Strategis. Perusahaan top yang menjadi langganan merekrut mahasiswa berprestasi di sekolah ini di antaranya Citibank, BCA, Medco, dan Toyota.
Sekilas, ujian masuk bagi calon mahasiswa di sini hampir sama dengan perguruan tinggi lain, seperti tes potensi akademik, bahasa Inggris, psikotes, dan wawancara. Tapi, yang pasti, komitmen para pengajarnya tidak diragukan lagi. Sebab, dosen yang direkrut minimal bergelar S-2 dan komit bekerja penuh waktu delapan jam sehari dan lima hari seminggu. "Tidak ada alasan dosen sulit ditemui," kata Sammy. Dosen juga tidak bisa memilih program S-1, S-2, atau non-gelar untuk mengajar. Semua ini tak lain bentuk pelaksanaan "Janji Mulia" atau Prasetiya Mulya dari para taipan pendiri yayasan, agar lulusan sekolah menjadi sangat berkualitas.
Mahasiswa juga terbiasa dengan kompetisi. Tahun ini, dalam Kompetisi Global Social Venture, Tim Amandes dari Program MM Reguler Prasetiya Mulya menjadi finalis. Tahun lalu, sekolah ini memenangi kompetisi serupa hingga putaran dunia, bersaing dengan sepuluh finalis lain dari sekolah bisnis top, seperti London Business School, Massachusetts Institute of Technology, dan ESSEC Business School, Prancis. Produknya adalah Business Plan Eco Fabric, yakni pemanfaatan limbah ternak sapi menjadi bahan bangunan yang lebih kuat, murah, dan memecahkan masalah lingkungan.
Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya Pendiri: Yayasan Pendidikan Prasetiya Mulya 1980, dibentuk kalangan taipan. Didirikan: 6 September 1982 Lokasi kampus: Jumlah lulusan: Dosen: Mahasiswa aktif: Program: Metode pembelajaran: Pengembangan karier: Fasilitas: Beasiswa:
- Reguler: Rp 82,9 juta
- Eksekutif Manajemen Bisnis: Rp 92,98 juta
- Eksekutif Manajemen Strategis: Rp 115,75 juta
- Manajerial (HRD, Marketing, Produksi): Rp 3,2-4,4 juta
- Strategic Course: Rp 4,6-6 juta
- Manajemen Purchasing and Supply Chain: Rp 4,75-14,5 juta
- Certificate of Business Management: Rp 13,5 juta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo