Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih melekat dalam ingatan Muhamad Ghofur betapa mudahnya mendapatkan pekerjaan. Dia bahkan tak perlu mencari. Tak perlu membaca iklan lowongan kerja, menyiapkan berkas lamaran, dan mengirimkannya lewat pos ataupun surat elektronik. Dia juga tidak pernah merasakan berjejalan mengikuti pameran bursa tenaga kerja. Pekerjaan telah menanti pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 27 tahun silam ini sejak ia masih berstatus mahasiswa.
Mattel Indonesia bersedia menerima Ghofur sebagai pengawas pemula pada 2005 lantaran pengalaman magangnya selama dua semester di perusahaan pembuat boneka Barbie asal Amerika Serikat itu. "Padahal magang kan kewajiban mendapat gelar sarjana," kata lulusan Teknik Elektro President University ini.
Bukan magang semata yang membuat Ghofur beruntung. Faktanya, Ghofur memang sudah terbiasa bergaul dengan komunitas internasional sejak awal belajar di President University. Maklum, sepertiga dosen dan teman seangkatannya berasal dari berbagai negara. Otomatis, bahasa Inggris menjadi bahasa utama Ghofur dalam perkuliahan dan aktivitas sehari-hari.
"Pergaulan di kampus membuat terbiasa dengan komunitas internasional," kata Ghofur, yang kini sudah dipromosikan sebagai Pengawas Senior Mattel Indonesia. Cerita serupa dialami teman seangkatan Ghofur di angkatan 2002. Di antaranya Zang Li asal Cina yang bekerja di PT Jakarta Central Asia Steel, Nguyen Si Hoang asal Vietnam di Novellus System Inc. di Vietnam, dan Yang Jun asal Cina di IBM Shanghai.
Begitulah President University membangun komunitas internasional di Cikarang, Bekasi, sekitar 35 kilometer dari Jakarta. Sesuai dengan namanya, "Universitas Presiden" ini bertujuan mencetak pemimpin di bidang masing-masing lewat pendidikan berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar. "Jadi tidak perlu jauh-jauh kuliah ke luar negeri," kata pendiri President University, Setyono Djuandi Darmono.
Darmono-sapaan pendiri sekaligus Presiden Direktur Kawasan Industri Jababeka-miris melihat daya saing bangsa. Sebagai pengelola kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara itu, Darmono tak rela menyaksikan banyak anak Indonesia yang, setelah tamat kuliah, tidak bekerja. "Banyak yang belum siap kerja. Meski diterima pun, harus ada training," katanya.
Padahal, menurut Darmono, penyedia kerja ingin calon pekerjanya sudah berpengalaman, sehingga banyak perusahaan lebih senang membajak daripada mengambil tenaga kerja yang baru lulus. "Ini jadi masalah," katanya. Idealnya, lulusan yang ada itu harus pandai, berkarakter, memiliki kemampuan memimpin, dan punya jiwa entrepreneur.
Berangkat dari kekhawatiran itu, pada 1994, tercetuslah ide mendirikan sebuah universitas yang bisa dibanggakan. Darmono berkonsultasi dengan para cendekiawan dan pejabat di Indonesia, seperti Profesor Doktor Juwono Sudarsono, Profesor Charles Himawan, Utomo Josodirjo, dan Surjanto Sosrodjojo. "Saya berpikir, kalau mau bersaing di kelas internasional, harus ada lembaga pendidikan yang canggih dan mampu bersaing di kancah internasional," katanya. Sehingga pabrik-pabrik yang sudah masuk ke Indonesia tidak berpindah ke negara lain.
Untuk mewujudkan niat itu, Darmono mengundang Profesor Donald W. Watts, pendiri universitas swasta pertama di Australia. Alhasil, lahirlah nama President University dengan mengembangkan sebuah universitas berkelas internasional. Caranya: membuat mahasiswa fasih berbahasa Inggris, tinggal di asrama, didukung komunitas internasional di Jababeka, dan setelah lulus sudah memiliki pengalaman kerja minimal setahun.
Darmono menyediakan 300 hektare dari total 5.600 hektare tanah di kawasan industri itu untuk membangun fasilitas sekolah internasional. Namun cita-cita Darmono baru terwujud pada 2001. Setahun kemudian, Sekolah Tinggi Cikarang-cikal bakal President University-menerima mahasiswa dari Indonesia, Vietnam, dan Cina.
Akhirnya, Departemen Pendidikan Nasional resmi mengeluarkan izin untuk President University sebagai universitas internasional pada 2004. Bermula dari puluhan mahasiswa saja, President University kini menampung sekitar seribu mahasiswa. Berbagai fasilitas, seperti perpustakaan, asrama, resto plaza, lapangan golf, kolam renang, lapangan tenis, sarana kebugaran dan olahraga, serta arena outbound, bisa diakses mahasiswa, gratis.
Menurut Rektor President University Profesor Ermaya Suradinata, pembangunan karakter bangsa menjadi yang utama. "Intinya membangun manusia yang memiliki jati diri," katanya. President University menerapkan perkuliahan dalam bahasa Inggris dan mewajibkan mahasiswa ikut program magang selama dua semester penuh. "Ada kebijakan 30 persen mahasiswa dan dosen dari luar negeri," ujarnya.
Adapun dosen dari Indonesia harus lulusan universitas luar negeri. "Para dosen bekerja penuh," katanya. Komunitas industri di Jababeka mendukung kurikulum kuliah dengan "menyumbangkan" chief executive officer mereka untuk memberikan kuliah kepada mahasiswa.
Semua itu belum cukup. Semua mahasiswa awal ditampung di asrama. Salah satu tujuannya adalah membentuk karakter. "Kami berfokus membentuk karakter yang baik," kata Wakil Rektor III Sendy Widjaja. Mata kuliah bisnis dan wirausaha pun diajarkan di setiap jurusan. Kini President University sudah memiliki enam fakultas yang didirikan sesuai dengan kebutuhan industri.
Tempo sempat menilik kampus President University. Ke segala arah mata memandang, mahasiswa atau dosen asing lalu-lalang di gedung berlantai lima ini. Mereka bercakap dalam bahasa Inggris. Di satu sudut ruang kelas seukuran lapangan bulu tangkis, para mahasiswa Jurusan Teknik Industri dari berbagai negara asyik mendengarkan ceramah salah satu dosen dalam bahasa Inggris. "Seratus persen komunikasi dalam Inggris," kata Adi Pratama, mahasiswa semester kedua.
Bagi dosen Hubungan Internasional dan Administrasi Bisnis, Profesor Muh. Nur Sadik, suasana President University serupa dengan saat dia mengambil program doktor di Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat. Suara senada datang dari John Mewburn, yang direkrut dari University of Queensland, Australia. "Saya tidak perlu beradaptasi lagi," katanya.
Universitas yang dirancang sesuai dengan standar internasional ini membutuhkan biaya mahal. Mahasiswa nonbeasiswa harus membayar uang perkuliahan sampai lulus Rp 250 juta. Bagi mahasiswa cerdas dan tak mampu, ada beasiswa 50-100 persen. "Sembilan puluh persen lulusannya mendapat kerja, baik di dalam maupun di luar negeri, kurang dari enam bulan," kata Direktur Yayasan Pendidikan President University Syonanto Wijaya.
President University President University berada di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Bekasi, sekitar 35 kilometer dari Jakarta. Universitas ini dikelilingi kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara dengan 1.400 perusahaan lokal dan multinasional, seperti Unilever, Samsung, dan Mattel. Pengelola: Yayasan Pendidikan President University Pendiri: Setyono Djuandi Darmono, Prof Dr Juwono Sudarsono, Prof Charles Himawan, Ir Laksamana Sukardi, Drs Utomo Josodirjo, Surjanto Sosrodjojo, Kfm Rektor: Prof Dr Ermaya Suradinata, SH, MH, MS Dosen dan Mahasiswa: 1.000 orang (30 persen dari luar negeri) Fasilitas: Perpustakaan Adam Kurniawan (400 meter persegi), laboratorium desain, laboratorium kimia, laboratorium hotel dan wisata, 1.300 unit asrama putra dan putri terpisah (5,5 hektare), Jababeka Golf & Country Club, President Executive Club, Resto Plaza, arena outbound, dan fasilitas olahraga lain (80 hektare) Biaya kuliah: Tanpa beasiswa: Rp 250 juta. Disediakan beasiswa: 50-100 persen Fakultas dan Jurusan (S-1): Fakultas Ilmu Ekonomi Fakultas Hukum Fakultas Bisnis dan Hubungan Internasional Fakultas Komunikasi dan Multimedia Fakultas Ilmu Komputer Fakultas Teknik
- Jurusan Manajemen
- Jurusan Akuntansi
- Jurusan Hukum Bisnis
- Jurusan Hukum Internasional
- Jurusan Hubungan Internasional
- Jurusan Administrasi Bisnis
- Jurusan Hubungan Masyarakat
- Jurusan Desain Informasi Visual
- Jurusan Teknologi Informasi
- Jurusan Sistem Informasi
- Jurusan Teknik Industri
- Jurusan Teknik Elektro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo