Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dentuman musik menggema ke segenap penjuru area seluas separuh lapangan sepak bola itu. Embusan angin dari mesin penyejuk udara serta kursi empuk dan meja yang tertata apik dihiasi lampu mengisi ruang-ruang di area tersebut. Di sekitarnya gerai makanan mengepung dengan sajian berbagai menu. Ada masakan oriental, western, sampai masakan Indonesia, seperti gado-gado dan soto.
Di tempat itu puluhan mahasiswa asyik menikmati makan siang mereka. Ada pula yang sibuk membuka-buka buku pelajaran atau sekadar meng-update status di situs jejaring sosial Facebook dan ngobrol. Para mahasiswa itu bukan sedang berada di mal atau pusat belanja, melainkan tengah berehat di food junction atau kantin Universitas Pelita Harapan.
Laksmiwati, mahasiswi jurusan sastra Inggris yang tengah menyantap mi ramen pesanannya, senang karena di kantin itu tersedia bermacam-macam makanan. "Banyak sekali pilihannya," kata nona 18 tahun itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Bukan cuma lantaran kantin yang ciamik itu yang membuat Laksmi memilih kuliah di Universitas Pelita Harapan. Menurut lulusan Sekolah Menengah Atas Strada Santo Thomas Aquino ini, sarana kampus yang terletak di Karawaci itu sangat lengkap. "Saya juga senang dengan perpustakaannya," dia menambahkan.
Benar saja, ketika Tempo menyambangi Perpustakaan Johannes Oentoro yang letaknya bersebelahan dengan kantin, terasa suasana yang nyaman. Beberapa sofa empuk dibalut bahan kulit berwarna gelap tertata rapi lengkap dengan karpet halus untuk lesehan. Perpustakaan seluas 5.000 meter persegi ini memiliki 70 ribu koleksi buku, jurnal, dan majalah serta dilengkapi 150 komputer layar datar.
Bersama tujuh rekannya, Swasti Nindya Sari, 24 tahun, memilih mengerjakan tugas kuliah hukum lingkungannya di perpustakaan. "Tempatnya nyaman dan tenang," kata gadis yang bercita-cita menjadi konsultan hukum ini. Sejak awal ia memang sudah jatuh hati pada Universitas Pelita Harapan karena fasilitasnya yang komplet. "Saya tidak pernah mencoba mendaftar di perguruan tinggi lain."
Berbeda dengan Swasti, Grandly Harvest, 21 tahun, pernah mendua. Dia mendaftar di UPH dan sebuah universitas swasta di Jakarta Barat. Pada akhirnya, mahasiswa fakultas hukum ini memutuskan kuliah di UPH karena di sana tersedia sarana belajar, seperti ruang sidang buatan dan lembaga bantuan hukum masyarakat. Rektor UPH Jonathan L. Parapak mengatakan lengkapnya fasilitas merupakan salah satu nilai lebih. "Inilah keunggulan kami," ujarnya.
Selain tersedia kantin dan perpustakaan yang modern, UPH memiliki museum yang menyimpan sekitar 1.120 koleksi lukisan dan karya seni rupa. Salah satu lukisan yang sangat berharga adalah karya Raden Saleh Syarief Bustaman berjudul Portrait of Gubernor Daendels yang dibuat pada 1850.
Menurut kurator Amir Sidharta, lukisan itu diperoleh dari sebuah lelang di Singapura pada 1996. Sejumlah lukisan lain yang tersimpan di museum itu di antaranya karya Affandi, Basoeki Abdullah, dan Sudjojono.
Jonathan Parapak menunjuk Double Degree dan Dual Degree sebagai program yang amat dibanggakan dan menjadi maskot UPH. Double Degree merupakan program internal untuk mahasiswa yang ingin mengambil dua bidang ilmu dalam satu waktu. Mahasiswa jurusan akuntansi, misalnya, dapat mengambil jurusan matematika pada waktu yang bersamaan. "Dengan demikian, dia bisa lulus dengan gelar sarjana ekonomi dan matematika sekaligus," katanya.
Adapun Dual Degree merupakan program kelas internasional yang bekerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri sehingga mahasiswa memperoleh dua gelar, satu dari UPH dan satu lainnya dari universitas asing. Contohnya, mahasiswa yang mengambil bidang ilmu teknologi pangan di sini kemudian pada tahun ketiga atau keempat melanjutkan studinya di Queensland University of Technology di Australia. "Ketika lulus, dia dapat dua gelar pada bidang yang sama," ujar Jonathan.
Tidak mudah menerapkan program ini, Jonathan menambahkan. Dibutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menyelaraskan kurikulum, metode belajar, hingga referensi buku yang digunakan. Porsi teori dan praktek juga dibuat seimbang. Tenaga pengajarnya harus memenuhi syarat minimal lulusan master dari universitas di luar negeri.
Kendati ada program Double Degree untuk internal kampus dan Dual Degree yang bekerja sama dengan universitas asing, Jonathan mengatakan semua kelas di UPH adalah kelas internasional. "Tergantung mahasiswanya, bisa berbahasa Inggris atau tidak," katanya. Bagi mereka yang belum lancar menggunakan bahasa internasional itu, artinya masuk kelas bisnis.
Biaya yang dikenakan untuk kelas bisnis ataupun kelas internasional, menurut Jonathan, sama saja. "Tidak ada bedanya, hanya soal kemampuan berbahasa mahasiswa," ujarnya. Kisaran biaya yang dibutuhkan Rp 100 juta hingga Rp 180 juta untuk empat tahun. "Tak akan dimintai apa-apa lagi," katanya. Lagi pula biaya itu dapat dicicil setiap semester.
Tahun lalu, Laksmiwati, mahasiswi sastra Inggris yang mengikuti kelas internasional, merogoh kocek Rp 47 juta sebagai biaya masuk universitas. Dana sebesar itu, menurut dia, sepadan dengan kualitas dan ilmu yang diperoleh. "Itu tidak mahal, kok," katanya.
Dengan ilmu yang direguk, lulusan Universitas Pelita Harapan dapat bekerja di mana saja mereka mau. Mereka tidak diharuskan bekerja di perusahaan milik pendiri perguruan tinggi itu. "Kami tidak bisa memaksa mereka bergabung," kata pendiri UPH, Mochtar Riady. "Itu hak asasi mereka." Sebanyak 60 persen lulusan UPH malah tercatat menjadi wirausahawan.
Hubungan antara mahasiswa dan dosen di UPH, menurut dosen teknik sipil, Manlian Ronald A. Simanjuntak, sangat unik. "Kami harus memberikan perhatian lebih kepada mereka," kata Manlian, yang juga mengajar di Institut Teknologi Indonesia dan Universitas Indonesia.
Selama sebelas tahun mengajar, terkadang Manlian menjadi tempat berkeluh-kesah mahasiswanya, baik untuk urusan perkuliahan maupun pribadi. "Tapi hubungan kami tetap profesional," katanya. Hal itu dapat dimaklumi karena sebagian besar mahasiswanya memiliki orang tua yang sibuk sehingga kekurangan waktu untuk mendengar permasalahan anak-anaknya.
Setiap mahasiswa juga dapat menentukan lama tidaknya seorang pengajar berkiprah di UPH. Jonathan mencontohkan, beberapa waktu lalu ada seorang pejabat bergelar doktor yang mengajar di sana. Namun mahasiswa mengeluh karena metode mengajarnya monoton dan terlalu birokratis. "Akhirnya saya bilang ke dia: terima kasih, deh, mungkin kurang cocok," katanya.
Di UPH terdapat pula program Student Get Student yang unik. Layaknya multilevel marketing, setiap mahasiswa yang merekomendasikan adik, saudara, atau temannya masuk UPH bakal mendapatkan hadiah voucher belanja buku di Times Book Store. Jadi banyak kenalan, sekaligus banyak buku.
Universitas Pelita Harapan Taipan kawakan Mochtar Riady mendirikan Universitas Pelita Harapan berbekal investasi lebih dari Rp 450 miliar. Beroperasi sejak 18 Mei 1994, perguruan tinggi seluas 10 hektare ini terletak di kota satelit sebelah barat Jakarta, tepatnya di Lippo Village, Karawaci, Tangerang. Dibutuhkan 45 menit melalui jalan bebas hambatan untuk sampai ke kawasan ini. Di kampus yang rimbun dengan pepohonan ini berdiri enam gedung, antara lain asrama mahasiswa, food junction, kantor rektorat, dan laboratorium. Beberapa sarana olahraga dan seni tersedia di sini. Misalnya, lapangan sepak bola, kolam renang, pusat kebugaran, perpustakaan, arena pertunjukan, sampai museum dengan salah satu koleksinya yang langka: lukisan Raden Saleh berjudul Portrait of Gubernor Daendels yang berusia satu setengah abad. Terdiri atas 13 fakultas dengan 26 cabang disiplin ilmu, universitas berlambang Alkitab yang terbuka dan seekor elang ini memiliki 384 tenaga pengajar dan 7.556 mahasiswa. Bidang keilmuan yang paling diminati adalah business school atau fakultas ekonomi dengan 1.319 mahasiswa, kemudian disusul fakultas kedokteran dan jurusan komunikasi. Selain di Karawaci, Universitas Pelita Harapan memiliki kampus di kawasan Slipi, Jakarta Barat, untuk program master (strata dua) dan doktoral (strata tiga). Jaringan perusahaan yang terafiliasi dengan UPH Universitas yang bekerja sama dengan UPH Penghargaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo