Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Muhammad Lutfi tidak terdengar lelah walau telah mengarungi dua benua kurang dari enam jam lamanya pada pekan terakhir September lalu. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ini sedang melaksanakan roadshow ke Cina dan Rusia. Tak lupa ia juga mempromosikan kawasan Indonesia timur.
Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia ini sangat yakin bahwa kawasan timur Indonesia masih akan tumbuh. Selain karena soal komoditas yang sedang booming, ia menegaskan bahwa tidak ada lagi hambatan investasi di kawasan itu.
Di sela kesibukannya ”menjual” Indonesia, pria 39 tahun ini masih menyempatkan diri menjawab sejumlah pertanyaan R.R. Ariyani dari Tempo melalui sambungan telepon internasional Rabu malam dua pekan lalu.
Bagaimana pemerintah menilai potensi investasi di kawasan timur Indonesia?
Peluang di timur sangat besar seiring dengan booming harga komoditas. Bertahun-tahun minyak dianggap hanya ada di Indonesia barat, tapi ternyata belakangan ditemukan di Kalimantan Timur. Di situ offshore drilling-nya ada yang dangkal dan dalam. Gorontalo juga bisa jadi basis industri etanol, sedangkan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dengan industri petrokimia baru serta nikel di Maluku dan Papua Barat. Tiap daerah punya kekuatan masing-masing.
Sekarang kita punya rencana membangun perkebunan tebu seluas 100 ribu hektare. Melihat kebutuhan lahannya, kita tidak mungkin membangun di Jawa dan Sumatera yang padat, tapi kita bisa memanfaatkan Gorontalo. Papua pun bisa untuk hutan tanaman industri dan kelapa sawit. Di ASEAN, hanya Indonesia dan Burma yang besar produksi agrokulturnya. Dan karena Burma sedang tidak kondusif untuk investasi asing, kita harus bisa mengambil peluang itu.
Mengapa pemerintah memakai konsep Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk mendorong kawasan timur?
Bukan masalah lebih baik konsep Kapet atau KEK. Tapi memang saat aturan Kapet diterapkan, belum ada demand, tapi sekarang komoditas mulai dilirik karena harganya sedang tinggi dan itu bersamaan dengan berbagai insentif untuk KEK. Tidak ada hambatan investasi, hanya demand yang belum muncul saat itu.
Dulu, waktu harga nikel 65 sen, tidak ada yang mau membangun pabrik nikel. Tapi sekarang harganya US$ 1,35, tiba-tiba demand tinggi. Seperti batu bara yang dulu hanya US$ 20, tapi begitu harganya ratusan dolar seperti sekarang, semua orang ingin berinvestasi.
Minimnya infrastuktur sering jadi alasan pengusaha enggan masuk ke kawasan timur. Bagaimana pemecahannya?
Memang ada ketimpangan. Listrik, misalnya, dari kapasitas pembangkit listrik 29 ribu megawatt di Indonesia, 23 ribu megawatt ada di Jawa dan Bali, 3.000-an megawatt di Sumatera Utara, sisanya Kalimantan dan Sulawesi 2.300 megawatt. Tapi bukannya masalah itu tidak bisa diatasi. Kita bisa melibatkan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Di Batam, misalnya, investor yang membangun infrastruktur US$ 2 miliar sukses mendatangkan banyak industri pendukung. Pemerintah daerah yang mendapat setoran pajak besar tentu bisa mempertimbangkan insentif bagi pengusaha. Yang penting ada permintaan dulu.
Jadi usul pengusaha di kawasan timur untuk memberikan insentif pajak akan dipertimbangkan?
Jika mereka meminta insentif pengurangan pajak, seperti tax holiday atau tax allowance yang kompetitif dengan negara lain, semestinya itu mungkin. Kan diatur dalam Undang-Undang Investasi. Tapi, kalau pedagang, pasti minta PPn BM.
Dari roadshow beberapa hari ini, apakah investor juga mengincar Indonesia timur?
Investor memang mencari mineral sebagai sumber bahan baku industri mereka, tapi kita harus berhati-hati. Meski sudah ada Undang-Undang Mineral dan Batu Bara tentang pertambahan nilai komoditas, kita jangan hanya menjadi penonton.
Mereka yang mencari bijih besi, mangan, dan nikel belum pernah main di bisnis ini, jadi tidak menyebut hambatan berinvestasi di Indonesia dan tetap optimistis. Paling banter hanya masalah bahasa.
Akankah gejolak ekonomi di Amerika Serikat belakangan ini menurunkan minat investasi di kawasan timur?
Kejadian baru-baru ini kan hanya menimpa perbankan, dan tidak permanen. Lagi pula sudah ada studi kelayakan industri sebelumnya. Jadi tetap optimistislah. Apalagi yang dibangun di kawasan timur kan bukan industri mobil dan elektronik, tapi sesuatu yang sangat dibutuhkan, tidak hanya oleh Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo