Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJALANI hari-hari terakhir sebagai Menteri Keuangan, kesibukan Sri Mulyani Indrawati, 48 tahun, tidak kian surut. Rabu pekan lalu, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memastikannya meninggalkan kabinet dan menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, ia menggelar rapat internal dengan jajaran Kementerian Keuangan. Keesokan harinya, ia melantik pejabat eselon II, menerima tamu, dan meladeni wartawan yang tak pernah berhenti menyemut di kantornya. Tak seperti ketika menjadi bulan-bulanan Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus Bank Century, kini ia tak pernah kehilangan senyum. ”Saya happy,” katanya perihal keputusannya meninggalkan kabinet.
Rabu malam pekan lalu, wanita paling berpengaruh ke-23 versi majalah Forbes tahun 2008 ini menerima tim wartawan Tempo di kantornya di lantai tiga gedung Kementerian Keuangan, Jakarta. Mengenakan pantalon hitam dan blazer broken white, ia tampak segar. Di luar pintu, teronggok sebuah karangan bunga ucapan selamat dari seorang kolega.
Direktur Jenderal Pajak M. Tjiptardjo dan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Mulia P. Nasution ikut hadir dalam pertemuan itu. Sejumlah anggota staf berkerumun mendengarkan wawancara yang berlangsung lebih dari tiga jam itu. Sayang, dalam banyak kesempatan, Sri Mulyani hanya mau memberikan keterangan off the record.
Kapan persisnya Anda diminta Bank Dunia untuk bergabung?
Ya seperti yang sudah disampaikan Bapak Presiden saja.
Apa betul sejak tahun lalu?
Itu cerita versi siapa? Ya, cerita sendiri saja, tapi bukan dari saya (tertawa).
Beberapa bulan lalu, Presiden Bank Dunia berbicara kepada pengusaha Jusuf Wanandi. Katanya, Indonesia telah memperlakukan menteri keuangannya dengan sangat buruk dan, karena itu, Bank Dunia akan merekrutnya?
Kalau begitu, kutip saja dari Pak Jusuf Wanandi, he-he-he…. Saya malah enggak tahu.
Anda merasa ada kelompok yang mendorong Anda mundur sebagai Menteri Keuangan?
Saya fokuskan kerja di sini saja. Soal analisis pernyataan tokoh-tokoh itu, biar Tempo saja yang mengerjakan.
Anda dipanggil DPR dalam kasus Century. Mereka memboikot rapat dengan Anda. Anda terganggu dengan DPR?
Saya menghormati lembaga yang diisi oleh wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilihan umum. Kalau DPR menggunakan hak politiknya untuk meng-exercise eksekutif, saya hormati saja. I’m not taking that personally. Saya menghormati power mereka sebagai legislatif. Hanya, kenapa persoalan Century harus dipersonalisasi kepada saya? Itu yang perlu kita kritisi.
Bagaimana dengan boikot DPR?
Saya datang ke DPR berbekal amanat Presiden. Mereka mengundang saya dengan surat yang ditandatangani Ketua DPR dan memakai kop surat DPR. Undangan juga diproses dalam Badan Musyawarah DPR yang dihadiri wakil semua fraksi. Lha, kok tiba-tiba ada yang menyatakan tidak suka kepada saya dan meminta saya tidak hadir. Lo, ini berarti ada persoalan dalam proses internal mereka sendiri.
Anda kecewa?
Bukan masalah kecewa, tapi kita semua bertanggung jawab untuk membuat demokrasi ini menjadi lebih bermutu dan dewasa. Keprihatinan saya adalah kita kerap menggunakan standar ganda dalam berpolitik. Kalau enak, dipakai; kalau tidak, tidak dipakai. Ini membuat Indonesia tidak pernah dihormati di dunia international. Ketidakkonsistenan ini menurunkan reputasi kita.
Lima tahun menjadi Menteri Keuangan dan menjalankan program reformasi birokrasi, apa yang telah Anda capai?
Lima tahun ini tiga undang-undang perpajakan diubah: Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai, serta Pajak dan Retribusi Daerah. Menteri Keuangan yang baru harus menjalankan semua ini secara konsisten.
Reformasi birokrasi belum selesai, Anda malah pergi….
Tolong jangan diredusir masalah ini hanya pada satu orang. Ini persoalan sistem. Kita tidak bisa mengandalkan hanya, misalnya, Direktur Jenderal Pajak yang bagus, bersih, lalu dengan tongkat ajaibnya semua persoalan di republik ini selesai. Kami membutuhkan kepolisian yang baik, kejaksaan yang baik, pengadilan yang baik. Sehingga, kalau ada wajib pajak atau anak buah saya yang jahat, bisa dihukum dengan konsisten.
Setelah Anda pergi, Anda yakin reformasi birokrasi akan berlanjut?
Pasti berlanjut karena di sini ada teman-teman yang sudah lima tahun bekerja sama dengan saya. Sebuah program besar yang hanya berdasar pada one man show tak akan bertahan lama. Indonesia selama ini suka dengan yang seperti itu. Di Kementerian Keuangan, reformasi didesain tidak bergantung pada satu orang. Reformasi ini milik kita semua. Ini bukan cuma program saya. Saya bisa diganti kapan saja, tapi reformasi ini kebutuhan inheren organisasi. Reformasi dilakukan bukan karena instruksi Sri Mulyani.
Tapi faktor leadership tetap penting?
Saya tidak membantahnya.
Anda tidak khawatir reformasi di Kementerian Keuangan akan berhenti?
Enggak. Kami satu tim. Jika ada satu anggota yang hilang, tentu akan terasa, tapi itu bukan berarti seluruh tim akan hancur.
Pergantian menteri biasanya diikuti pergantian pejabat di bawahnya. Ini bisa mengganggu program reformasi….
Saya rasa Presiden dan Wakil Presiden juga berpikir untuk menjaga achievement yang sudah dicapai. Kalau yang kami lakukan dianggap sebagai aset, pencapaian yang membuat Indonesia bernilai plus, mereka tidak akan membiarkan sesuatu terjadi dengan apa yang sudah dicapai itu.
Reformasi Anda jalankan termasuk dengan memperbaiki sistem remunerasi pegawai Kementerian Keuangan. Tapi orang seperti Gayus tetap ada?
Memangnya kalau sekarang gaji Gayus saya kembalikan ke posisi semula—sekitar Rp 2,5 juta sebulan—dia akan menjadi lebih baik? Kalau mereka digaji segitu, kami tidak punya otoritas moral untuk meminta mereka menjadi jujur. Dengan sistem remunerasi yang baru, saya bisa marah kepada mereka. Mereka bisa kita tagih. Jadi jangan dibalik: karena kasus Gayus, seluruh sistem yang dihukum.
Di luar Gayus, apakah pegawai Kementerian Keuangan sekarang lebih jujur?
Sekarang idealisme itu muncul. Mereka lebih bersemangat. Ada yang berubah karena tobat. Ada juga yang sudah kenyang karena korupsi di masa lalu. Ada yang kepingin baik karena Indonesia harus menjadi baik. Apa pun alasannya, anak buah saya yang seperti itu sekarang banyak.
Kalau ada pilihan meneruskan reformasi birokrasi atau pindah ke Bank Dunia, mana yang akan Anda pilih?
Setiap pekerjaan punya tantangan dan nilai tersendiri. Yang bisa saya katakan adalah dalam satu generasi belum tentu ada orang Indonesia di posisi itu (Direktur Pelaksana Bank Dunia). Jadi saya anggap itu tawaran yang prestisius. Pekerjaannya juga penting. Ini (keberadaan saya di Bank Dunia) akan membuat pilar ekonomi dunia tak didominasi lagi oleh satu kelompok. Ini kesempatan yang boleh dibilang luar biasa. Saya percaya pada garis tangan.
Jika Presiden tak mengizinkan Anda pergi, Anda akan tetap memaksa?
Kita ngurus negara kan enggak seperti anak kecil yang mudah ngambek. Ketika saya menjadi menteri, saya membantu Presiden. Saya hormat kepada beliau.
Ada bahagia dengan pilihan Anda meninggalkan kabinet?
Ya, happy, ha-ha-ha….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo