Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=#FF9900>PERANG BINTANG</font><br />Selimut Halimun Rekening Perwira

Seorang perwira tinggi kepolisian diduga memiliki rekening yang mencurigakan. Dianggap bagian dari ”perang bintang”.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR Indonesia Corruption Watch di kawasan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, menerima hampir 500 berkas pengaduan setiap tahun. Isinya informasi aneka kasus korupsi di pelbagai daerah. Sebagian pengirim mencantumkan identitas jelas, yang lain menyembunyikannya.

Awal April lalu, satu amplop tanpa identitas dikirim ke markas organisasi nonpemerintah itu. ”Seperti surat kaleng,” kata Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Jumat pekan lalu.

Amplop itu ternyata berisi beberapa lembar kertas. Isinya deretan lalu lintas transaksi dari rekening seorang perwira tinggi kepolisian. Bentuknya mirip laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Melibatkan duit hingga Rp 95 miliar—jumlah yang jumbo jika dibandingkan dengan pendapatan resmi seorang perwira tinggi kepolisian—transaksi berlangsung sejak Agustus 2005 hingga Juli tiga tahun kemudian.

Tertarik padaisi ”surat kaleng” itu, para aktivis Indonesia Corruption Watch melakukan verifikasi. Mereka kemudian juga mendapatkan laporan harta kekayaan pejabat negara sang perwira yang disetorkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2009. ”Ternyata harta yang dilaporkan hanya Rp 4 miliar lebih,” kata Emerson.

Dia mengatakan cukup yakin dengan kesahihan data tersebut. Karena itu, Indonesia Corruption Watch berencana menyampaikannya ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, lembaga ad hoc yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah meledaknya sejumlah kasus suap di lembaga penegak hukum. ”Isi laporan itu sebaiknya diteliti lebih dalam oleh Satgas,” ujar Tama S. Lankun, anggota tim investigasi Indonesia Corruption Watch.

Meski para aktivis organisasi antikorupsi itu tak menyebutkan nama pemilik rekening, belakangan muncul dugaan dialah Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menjadi ajudan Megawati Soekarnoputri ketika menjadi wakil presiden dan kemudian presiden pada 1999-2004, ia kini anggota tim penyidik kasus mafia hukum di kepolisian pimpinan Inspektur Jenderal Mathius Salempang.

Kepada pers, Budi Gunawan buru-buru membantah informasi itu. Mengirim pesan pendek ke telepon seluler para wartawan, Selasa pekan lalu, ia mengatakan tidak memiliki rekening sebesar itu. ”Itu fitnah dan upaya pembusukan untuk menghancurkan karakter,” katanya.

Budi menuduh, isu rekening mencurigakan ini dimunculkan untuk melemahkan langkah tim penyidik kasus mafia hukum di kepolisian. Sang perwira juga merupakan penyidik yang memeriksa mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji dalam kasus mafia hukum yang membebaskan Gayus Halomoan Tambunan, pegawai Direktorat Pajak pemilik rekening mencurigakan Rp 28 miliar.

Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri juga berkomentar keras. Menurut dia, informasi tentang rekening milik Budi Gunawan itu tidak benar. Walau begitu, secara tidak langsung, ia mengakui adanya laporan hasil penelitian informasi rekening dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. ”Laporan seperti itu tak boleh sembarangan keluar ke publik,” katanya. ”Nanti bubar-bubaran kalau laporan hasil analisis bisa bebas keluar.”

Adapun Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein menegaskan, institusinya tidak pernah membocorkan laporan hasil analisis rekening perwira tinggi kepolisian. Namun ia tak menjawab ketika ditanya apakah rekening Budi Gunawan pernah dianalisis. ”Yang pasti, kami tidak pernah membocorkan,” kata Yunus setelah bertemu dengan para petinggi Markas Besar Kepolisian, Kamis pekan lalu.

l l l

Dalam dokumen yang juga diperoleh Tempo, sepanjang 2005-2008, ada tiga rekening yang menjadi lalu lintas transaksi. Dua rekening itu diduga milik Budi Gunawan, dan satu rekening milik anaknya, berinisial HW. Ada pula nomor rekening yang diduga milik ajudan sang jenderal.

Pada periode itu, sekitar Rp 47 miliar masuk ke rekening yang diduga milik Budi, dan Rp 48 miliar ke rekening anaknya. Di antaranya, pada Agustus 2005, terdapat tiga transaksi besar, yakni setoran tunai Rp 25 miliar, Rp 14 miliar, dan Rp 15 miliar. Empat bulan kemudian, dana mengalir keluar. Pada Desember setidaknya terjadi empat kali transfer, masing-masing Rp 2 miliar, ke satu rekening milik seseorang berinisial RH.

Pada 23 Maret 2006 terdapat setoran tunai ke salah satu rekening, jumlahnya lebih dari Rp 3 miliar. Lalu lintas dana sesekali memutar kembali ke rekening asal. Misalnya, pada 30 Agustus 2006, ada aliran dana dari seseorang berinisial RH tadi ke rekening sang anak. Lalu pada awal 2007, mengalir dana dari ajudan ke rekening yang diduga milik Budi Gunawan.

Transaksi terakhir dilakukan pada Juli 2008. Sang anak, HW, mengirim dana ke rekening yang diduga milik ajudan Budi Gunawan, berinisial IT. Jumlahnya Rp 2 miliar. Jika data itu benar, semua transaksi dilakukan ketika Budi Gunawan menjabat Kepala Biro Pembinaan Karyawan Sumber Daya Manusia Markas Besar Kepolisian, lalu Kepala Sekolah Lanjutan Perwira Kepolisian, dan kemudian Kepala Kepolisian Daerah Jambi.

Dari data itu, muncul dua perusahaan sebagai pengirim dana. Satu perusahaan, berinisial PT PLM, bergerak di bisnis properti. Perusahaan ini berencana membangun apartemen di lokasi bekas kaveling Polri. Berjanji menyelesaikan pembangunan pada akhir 2005, apartemen belum siap ditempati. Kegagalan pembangunan ini sempat menuai masalah. Sekitar 300 pembeli merasa tertipu. Beberapa pembeli mengatakan telah membayar lunas, sebagian sudah menyetor uang muka.

Satu lagi penyetor merupakan perusahaan pertambangan, berinisial PT IJS. Perusahaan ini pun tak bersih dari masalah. Pada akhir 2007, truk-truk pengangkut hasil tambang milik perusahaan itu ditangkap polisi di satu wilayah di Sumatera. Mereka diduga menjual hasil tambang secara ilegal.

Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, menyatakan ada rekayasa pada data yang dimiliki Indonesia Corruption Watch. Namun ia menolak menjawab apakah PPATK sudah melaporkan analisis rekening perwira tinggi senilai Rp 95 miliar itu. ”Informasi itu rahasia, tidak untuk publik,” ujarnya.

Seorang perwira tinggi yang mengaku ditugasi Kepala Kepolisian menelisik kasus ini pun mengatakan, data yang beredar tidak valid. Menurut dia, data rekening terakhir milik Budi Gunawan berisi kurang dari Rp 1 miliar. ”Saya sudah melihat langsung komputer Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan,” kata jenderal bintang satu yang menolak disebutkan namanya itu. Namun sumber Tempo di Pusat Pelaporan memastikan komputer lembaganya tidak pernah diakses oleh institusi lain.

Sumber lain, seseorang yang mengetahui persis informasi ini, menjamin kesahihan informasi dalam dokumen. ”Kami sedang menyelidikinya,” kata sumber itu.

Rekening-rekening yang menjadi terminal lalu lintas dana itu tampaknya tak lagi aktif. Pekan lalu, ketika Tempo mencoba mengirim ke nomornya, tertulis di layar anjungan tunai mandiri: ”Rekening yang Anda tuju tidak terdaftar.”

Budi Setyarso, Wahyu Muryadi, Cornilla Desyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus