Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNAH menjadi drafter dan pemain junior klub sepak bola West Ham, Stephen Percy ”Steve” Harris akhirnya memilih bas dan musik sebagai jalan hidupnya. Dia mendirikan Iron Maiden pada 1975. Sepanjang usia band yang kini diperkuat pula oleh Bruce Dickinson (vokal), Dave Murray (gitar), Adrian Smith (gitar), Janick Gers (gitar), dan Nicko McBrain (drum) itu, Steve satu-satunya personel yang bertahan—ada yang menjulukinya Mr Iron Maiden.
Sebagai penulis lagu utama, Steve punya visi yang ambisius bila dilihat konteks masanya. Kala itu era punk rock sedang berjaya. Band seperti The Clash dan Sex Pistols sedang mendominasi. Musik mereka cenderung sederhana dan linear. Tapi formula Steve—dengan pola bas yang mirip ritme lari kuda, elemen progresif berupa perubahan birama, dan tema-tema sastra, sejarah, fiksi sains, serta mitologi—rupanya mampu memikat kalangan yang barangkali bosan dengan keadaan.
Maiden sudah memasuki usia 35 tahun dan menjadi sumber ilham bagi banyak band sesudahnya. Mengenai hal ini, Steve merendah. ”Kami hanya mencoba melakukan apa yang kami suka,” katanya melalui sambungan telepon, Selasa pekan lalu, sesaat sebelum tampil di Singapore Indoor Stadium.
Berikut ini petikan wawancara Kodrat Setiawan dari Tempo dengan pria 54 tahun itu.
Selamat, Iron Maiden memenangi Grammy….
(Tertawa) terima kasih. Kami sendiri sedang berada di Singapura, jadi saya tidak terlalu mengikuti perkembangan beritanya.
Apa pendapat Anda mengenai itu?
Saya tidak terlalu mempermasalahkan itu. Kami lebih tertarik untuk bertemu dengan para penggemar kami. Itu sebabnya kami melakukan tur kali ini. Mungkin, jika sempat, kami akan mengambil penghargaan itu.
Kenapa begitu lama untuk bisa ke Indonesia?
Saya tidak tahu. Ketika saya ke Indonesia, tidak ada yang menghubungi kami untuk tampil di Indonesia. Namun, beberapa tahun lalu, ketika saya berada di Amerika, saya dengar ada promotor di Indonesia yang tertarik membawa kami ke sana. Jadi kami memulainya dari sana.
Anda pernah ke Indonesia?
Ya, saya pernah ke Bali. Tapi saya belum pernah ke Jakarta.
Konser di Jakarta dipindahkan dari salah satu stadion terbesar di Asia Tenggara ke pantai. Anda menyesal dengan itu?Jujur saja, saya tidak tahu. Saya juga tidak bisa bilang menyesal karena saya tidak tahu. Kalau kami tampil di stadion terbesar, tentu saja kami merasa tersanjung. Tapi kami tidak tahu apakah itu yang terbaik bagi penggemar. Sebab, pemindahan tempat bisa saja terjadi. Dan kami tidak tahu apa yang menyebabkan itu. Kami tidak tahu apakah itu terbaik untuk para penggemar. Saya sendiri lebih memilih apa yang terbaik untuk penggemar. Semoga tempatnya nanti yang terbaik untuk penggemar.
Iron Maiden sudah 35 tahun. Apa yang membuat kalian tetap melakukannya hingga sekarang?
Yang pasti, kami sangat menikmati apa yang kami lakukan. Dan kami pun masih menikmati apa yang kami lakukan.
Bagaimana Anda melihat pengaruh kalian terhadap genre metal?
Pada dasarnya, kami hanya melakukan apa yang kami sukai. Kami tidak terlalu memikirkan apa-apa selain itu. Kami tahu ada beberapa band yang mengaku terpengaruh oleh musik kami dan itu bagus. Tapi kami tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti itu. Kami hanya mencoba melakukan apa yang kami suka.
Banyak band muncul dan menciptakan perubahan di heavy metal. Kalian merasa ada persaingan?
Banyak band bagus yang muncul. Saya rasa itu bagus. (Terdiam.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo