Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAIT-BAIT puisi Penghujung Musim Penghujan karya Sitok Srengenge yang romantis makin romantis ketika dialunkan Ubiet (Nyak Ina Raseuki). Sungguh, suara Ubiet benar-benar membikin merinding. Ia membawa perasaan melambung ke wilayah-wilayah kelam perenungan.
”Menetes burung-burung dalam liang luka tubuh
Lantas terbang murung sebagai kata-kata dan jatuh
Jatuh ke dalam gurit yang kuguris untukmu
Kicau sembilu bergaung di situ”
Mulanya tuts piano Dian H.P. menyemai ruangan. Gesekan selo Dimawan Krisnowo Adji menimpalinya. Keduanya melebur dengan suara Ubiet dan sanggup memasung 400-an penonton dalam jerat nada lamentasi, penuh keharuan.
Komposisi delapan cinta dipersembahkan oleh Ubiet dan Dian H.P. di Salihara, pada malam Valentine, 14 Februari lalu. Delapan komposisi ini seolah menahbiskan proses kerja sama Dian dan Ubiet yang telah mereka jalin sejak menjadi mahasiswi Institut Kesenian Jakarta Jurusan Musik awal 1980-an. Kekuatan Dian sebagai komponis makin matang. Suara Ubiet yang setia di jalur art song seolah mencapai fase terbaiknya. Memperkaya kolaborasi sebelumnya: Ubiet dan Kroncong Tenggara (2007).
Dian menulis semua komposisi berdasarkan empat puisi Nirwan Dewanto (Wajah, Kuintet, Air, dan Merah) dan empat puisi Sitok Srengenge (Menulis Cinta, Kau Angin, Cinta Pertama, dan Penghujung Musim Penghujan). Kedelapan puisi itu diambil dari buku kumpulan puisi Sitok: On Nothing dan buku puisi Nirwan: Buli-buli Lima Kaki.
Sajak cinta kedua penyair yang penuh dengan kelindan hasrat, kepiluan, keterharuan, eros, dan pathos seolah menjelma hidup. Kata-kata, diksi, ruang-ruang antarbait bisa bersanding intim dengan nada-nada piano dan tinggi-rendah warna vokal yang tak terduga. Dengarlah saat Nirwan maju dan membacakan sajaknya berjudul Merah. Dan dengar bagaimana puisi itu ditafsirkan oleh Dian dan Ubiet.
”Pakaian berwarna cerah yang kaudamba
Yang pernah kaukoyak berkali-kali
Bukanlah pakaianku ternyata...”
Kepiawaian Dian H.P. mengkreasi nada kian terasa di lagu Wajah. Dia meninggalkan pianonya, lalu memainkan akordeon. Piano dia serahkan kepada Astrid Lea. Pengayaan instrumen musik kian berkembang di lagu Menulis Cinta. Tiupan klarinet Eugene Bounty selaras dengan diksi Sitok yang bersahaja. Ubiet juga mengalunkan syair versi bahasa Inggris, Writing Love, terjemahan Nukila Amal.
Di tengah-tengah lagu Kau Angin, Sitok mendeklamasikan puisinya itu. Puisi yang termasuk paling panjang dalam pertunjukan malam itu mengalir tenang tapi penuh energi dari Sitok.
”Mengalirlah darah, mengalirlah
Dalam urat nadi Cintaku
Karenamu, Kekasihku!”
Ketika melantunkan Air, olah vokal Ubiet tak mau terjebak pemaknaan kata per kata Nirwan yang metaforis, tapi lebih memilih sekuat tenaga membangun simfoni. Piano Dian yang memimpin pergerakan partitur selaras dengan biola Eko Balung yang menyayat. Ketukan marimba Adriansyah ikut mempertajam impresi.
Lagu Kuintet beraroma paling girang. Puisi Nirwan itu bercerita tentang percakapan klarinet, violin, marimba, dan kontrabas. Dian dan Ubiet menyilakan Dony Koeswinarno dengan flute-nya, Doni Sundjoyo dengan kontrabasnya. Adriansyah dengan marimbanya membuat ”solo” kecil-kecil.
Di Yogya dulu, Untung Basuki dikenal sering melagukan puisi para penyair Malioboro, Ebiet G. Ade menyanyikan syair-syair Emha Ainun Nadjib, dan Lono Simatupang menyenandungkan puisi almarhum Linus Suryadi Agustinus. Di Jakarta Ari-Redha menyanyikan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, lalu belakangan pianis Ananda Sukarlan membuat komposisi berdasarkan puisi Chairil Anwar sampai Rendra.
Sekarang giliran Dian-Ubiet. Malam itu mereka memberikan kado Valentine yang indah.
Dwidjo U. Maksum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo