Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=navy>Kerugian</font><br /><font color=#CC3300>Terkapar</font> Akibat Digilir

Sejumlah pembangkit listrik terganggu akibat tersendatnya pasokan batu bara. Sektor industri paling terpukul.

3 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA pemandangan tak biasa di PT Kenindo Tunggal Perkasa, Sabtu dua pekan lalu. Pabrik alas kaki di kawasan industri Bonen, Cikupa, Tangerang, Banten, itu terlihat ramai. Sekitar 400 buruh tenggelam dalam pekerjaan. Mesin hidrolik di unit pemotongan menderu tak henti. Biasanya tak ada kehidupan di akhir pekan. ”Kami tukar hari kerja,” kata Manajer Sumber Daya Manusia PT Kenindo Hasby Amazone.

Menurut Hasby, keputusan tak mengenakkan ini diambil agar target produksi sandal Carvil terpenuhi. Manajemen terpaksa melakukan itu gara-gara pabrik tak beroperasi pada Selasa. Ini bukan lantaran bahan baku kurang. Tepat pukul 08.00, ketika para buruh mulai bekerja dan mesin-mesin di ruang produksi meraung bersahutan, tiba-tiba listrik mati. Rupanya, pemadaman listrik sedang mampir di kawasan industri itu. Para pekerja pun terpaksa dipulangkan.

Mulai pertengahan bulan ini, PT Perusahaan Listrik Negara secara bergilir memadamkan listrik di beberapa wilayah, terutama di Jakarta dan Tangerang. Alasannya, pasokan batu bara ke sejumlah pembangkit terhambat lantaran cuaca yang buruk. Alhasil, suplai listrik di Jawa, Madura, dan Bali defisit hingga 1.500 megawatt.

Sayang, kata Hasby, PLN tidak pernah memberitahukan di daerah mana dan pada pukul berapa listrik akan dipadamkan. Jika listrik mati sehari, pabriknya kehilangan produksi 3.000 pasang sepatu atau sandal. Untungnya, pesanan itu untuk keperluan lokal. Selain memproduksi alas kaki Carvil, Kenindo memenuhi pesanan Bata dan Converse. ”Biasanya mereka masih membuka ruang toleransi,” katanya. Berbeda jika pesanan datang dari luar negeri. ”Bisa langsung dibatalkan.” Kenindo antara lain mendapat order dari Spalding untuk diekspor ke Italia.

Tanpa listrik PLN, PT Kenindo berarti disuruh ke ”pemakaman” karena PLN satu-satunya andalan. Mereka tak punya mesin pembangkit listrik (genset). Jika dipaksa memiliki, dalam hitungan Hasby, perusahaan setidaknya harus menyisihkan 50 persen keuntungan. Belum lagi bahan bakar industri yang tak kepalang mahalnya. Sehingga byar-pet listrik benar-benar menjadi hantaman. ”Dua bulan terakhir sudah empat kali pemadaman,” kata Hasby.

Di wilayah penyangga Jakarta itu, bukan hanya Kenindo yang malang. Ada juga PT Sumber Eva dan PT Homyped. Menurut Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Tangerang Juanda Usman, pemadaman setidaknya melanda 3.000 perusahaan. Diperkirakan kerugian mencapai belasan miliar rupiah. Ini belum termasuk industri kecil dan rumah tangga, seperti pengelola warung Internet. ”Apa PLN mau mengganti kerugian akibat kehilangan pelanggan?” kata Imam, pemilik Warung Internet D’Frog di Kota Tangerang.

Di Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, PT Danliris juga mengerang. Joko Santoso, direktur utamanya, mengatakan, biarpun listrik padam sebentar, kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Dia mencontohkan, dengan matinya mesin weaving (penenun) selama empat jam, lost product-nya mencapai 32 ribu meter kain senilai Rp 160 juta. Dari unit spinning yang diam, 20 bal dapat melayang. Belum lagi untuk membayar beban gaji karyawan.

Sebelumnya, PLN Area Pelayanan Jaringan Surakarta memang telah mengingatkan kalangan industri agar mengalihkan listrik ke genset. Namun imbauan itu ditanggapi dingin. Menurut Joko, pabriknya mengandangkan genset dieselnya setelah harga minyak tidak lagi disubsidi. Sebenarnya, kata dia, bisa saja PLN ditinggalkan. ”Dengan membuat power plant sendiri. Tapi duitnya dari mana?” kata Joko.

Ketua Kamar Dagang dan Industri M.S. Hidayat juga mengeluh. Menurut dia, kebijakan ini mengganggu industri. Dan jika itu berkelanjutan, target produksi nasional menjadi berantakan. Menteri Perindustrian Fahmi Idris menambahkan, industri tekstil paling merugi, baik dari kapasitas produksi yang menurun maupun kemampuan memenuhi jadwal pesanan. ”Sudah ada kontrak dengan pembeli. Dan ini sangat mengganggu,” kata Fahmi.

Muchamad Nafi, Ayu Cipta (Tangerang), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus