Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun tengah menjadi perbincangan di kalangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua penyidik polisi tersebut ditarik ke Markas Besar Kepolisian RI per 13 Oktober 2017 dan hal itu diumumkan sepekan kemudian oleh juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Sumber perbincangan adalah percepatan pengembalian keduanya ke Mabes Polri. Mereka sesungguhnya sedang menempuh perpanjangan masa penugasan di KPK. Jika merujuk pada masa tugasnya, masa kerja Roland akan berakhir di KPK pada Januari tahun depan dan Harun sebulan kemudian. "Dua orang penyidik memang dikembalikan ke institusi awal pada Oktober ini," kata Febri Diansyah, Jumat pekan lalu.
Menurut Asisten Sumber Daya Manusia Polri Inspektur Jenderal Arief Sulistyanto, pengembalian Roland dan Harun ke kepolisian itu karena masa tugas mereka di KPK akan berakhir per 1 November 2017. Ia membantah kabar bahwa Mabes Polri menarik mereka sebelum waktunya. "KPK yang memperhadapkan keduanya kepada kami," ujarnya. Yang dimaksudkan "memperhadapkan" adalah mengembalikan ke Polri.
Banyak keistimewaan yang diberikan Mabes Polri kepada keduanya. Harun, misalnya, diizinkan mengikuti Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah di Bandung sambil tetap bekerja di KPK. Ia bahkan masuk setelah matrikulasi selesai dan tahun ajaran sudah dimulai pada 30 Maret lalu. Harun masuk sekolah pada akhir April.
Dalam sejarah KPK, pengembalian penyidik dari kepolisian biasanya karena pengawas internal menemukan catatan pelanggaran oleh penyidik tersebut. Itu terjadi, misalnya, ketika KPK mengembalikan Direktur Penyidikan Brigadir Jenderal Yurod Saleh pada 2012 karena ia dianggap terlalu dekat dengan M. Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat, yang terjerat banyak perkara korupsi.
Wakil Ketua KPK saat itu, Bambang Widjojanto, mengatakan Yurod dan empat penyidik lain dikembalikan karena sejumlah alasan. Salah satunya, "Untuk menjaga independensi KPK," kata Bambang. Yurod kepada media membantah kedekatannya dengan Nazaruddin.
Di luar itu, KPK bahkan menolak mengembalikan penyidiknya meski Mabes Polri yang meminta. Ketika Mabes Polri meminta dua penyidiknya, Komisaris Hendy Kurniawan dan Ajun Komisaris Mochamad Irwan, karena sedang mengusut korupsi alat bantu surat izin mengemudi, Komisi menolaknya dengan alasan tenaga mereka sedang dibutuhkan, sementara perkara korupsi yang ditangani KPK banyak dan pelik.
Keistimewaan lain adalah jatah Harun mengikuti Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah sebetulnya baru pada 2018, persis saat masa tugasnya berakhir di KPK. Seorang koleganya mengatakan Harun mencoba mendaftar melalui jalur reguler, tapi tak lulus ujian. Arief mengakui Harun masuk sekolah ketika tahun ajaran sedang berlangsung. Keistimewaan ini, kata dia, diberikan sebagai apresiasi atas jasa membawa nama Polri di lembaga lain. "Bisa berupa promosi pendidikan," ujar Arief.
Selain Harun, ada tiga penyidik KPK yang diizinkan mengikuti Sekolah Staf dan Pimpinan selama delapan bulan di tengah jalan. Total mereka yang masuk Sekolah Staf dan Pimpinan jalur nonreguler ini sepuluh orang dari pelbagai instansi. "Senin-Rabu mereka sekolah, Kamis-Jumat mereka kembali ke KPK," kata Arief.
Adapun Roland, menurut Arief, ada kemungkinan mendapat promosi. Roland, yang sudah menempuh Sekolah Staf dan Pimpinan serta mengambil program magister di Australia, sedang menunggu penempatan baru yang akan diputuskan pada Selasa pekan ini.
DI BALIK segala keistimewaan itu, pengembalian dua penyidik tersebut memang mengundang banyak tanya. Seperti dalam perkara Yurod Saleh, pengembalian dua penyidik tersebut menyimpan catatan tentang perkara yang sedang mereka tangani. Catatan itu tertuang dalam dokumen dugaan pelanggaran Roland dan Harun dalam menyidik perkara suap impor daging sapi oleh pengusaha Basuki Hariman.
Harun dan Roland diduga menghapus barang bukti berupa catatan pengeluaran uang perusahaan Basuki yang ditengarai buat para pejabat polisi. Catatan keuangan tersebut dibuat Kumala Dewi, anggota staf keuangan CV Sumber Laut Perkasa, salah satu perusahaan Basuki. Para penyidik itu diduga menghilangkan 15 lembar catatan pengeluaran pada 7 April 2017 malam.
Menurut dokumen tersebut, mereka diduga menghapus catatan itu dengan cara memberikan Tipp-Ex pada nama-nama penerima uang, lalu merobeknya hingga terpisah dari buku bank itu. Di pengadilan tindak pidana korupsi pada 3 Juli lalu, Kumala mengakui dialah yang membuat buku catatan itu atas perintah Basuki dan atasannya, Ng Fenny, yang menjabat general manager. "Saya mengerjakan sesuai dengan yang diperintahkan saja. Ada di buku bank," kata Kumala.
Menurut dokumen laporan itu, catatan keuangan Kumala yang direnggutkan dari buku bank merah tersebut atas nama Serang Noor IR dengan nomor rekening 4281755*** di Bank BCA cabang Sunter Mall. Serang tak lain anak buah Basuki yang pernah diperiksa KPK untuk bersaksi atas tuduhan terhadap bosnya.
Selain Roland dan Harun, ada dua penyidik yang menyaksikan tindakan mereka di lantai 9 gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, itu. "Catatan tersebut merupakan suap yang diberikan Basuki Hariman kepada berbagai pihak, salah satunya diduga pejabat Polri," demikian tertulis dalam dokumen tersebut.
Tempo memverifikasi kepada lebih dari lima narasumber untuk memastikan validitas isi dan dokumen tersebut. Para narasumber menyatakan dokumen itu merupakan dokumen pengawas internal KPK terkait dengan dugaan bahwa kedua penyidik menghilangkan barang bukti korupsi yang tengah mereka usut.
Pelaksana tugas Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK, Eko Marjono, tak menyangkal ataupun mengiyakan keberadaan dokumen itu dan isi yang tercatat di dalamnya. "Silakan tanya juru bicara atau pimpinan saja," ujarnya pada Jumat pekan lalu. Tak satu pun pemimpin KPK berani berbicara terbuka mengenai perkara ini.
Ketua KPK Agus Rahardjo, yang dicegat di Dewan Perwakilan Rakyat, buru-buru melengos dan masuk ke mobilnya begitu pertanyaan menyebut nama Basuki Hariman. Febri Diansyah menjawab ngalor-ngidul ketika ditanyai soal dokumen pemeriksaan itu. "Sejumlah pihak dalam kasus suap Basuki Hariman kepada Patrialis Akbar telah divonis bersalah dan berkekuatan hukum tetap," katanya.
Adapun Harun dan Roland tak terlacak keberadaannya. Juru bicara Markas Besar Polri, Brigadir Jenderal Rikwanto, yang diminta meneruskan surat konfirmasi untuk keduanya, ketika ditanyai ulang mengatakan masih mengeceknya. Ia hanya menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian.
Tito sedang berada di Amerika Serikat untuk berceramah soal terorisme. Kepada Tempo, ia memberitahukan bahwa jawaban atas pertanyaan untuknya akan diberikan Rikwanto. Dalam jawaban tertulis Rikwanto, dijelaskan bahwa Mabes Polri tak mengetahui informasi teknis menyangkut barang bukti yang sedang ditangani KPK. "Kami tak akan mencampuri masalah di luar Polri, seperti yang Anda tanyakan," ujarnya.
CATATAN yang diduga dihapus Roland dan Harun ini memang sensitif karena memuat nama-nama orang yang disinyalir menerima uang dari perusahaan Basuki Hariman. Karena telah dirobek, catatan tangan di buku merah itu tersisa 12 halaman dengan tanggal transaksi yang tak berurutan lagi. Tempo melihat catatan itu dan menemukan nama-nama panggilan pejabat terkenal, kode nama, dan banyak instansi negara.
Catatan itu berupa uang masuk dan keluar dalam mata uang rupiah, dolar Amerika Serikat, dan dolar Singapura. Dalam empat lembar pertama saja, jumlah kolom "kredit" memuat setidaknya Rp 38 miliar pengeluaran sejak Desember 2015 hingga Oktober 2016. Nilai nominal per transaksi bervariasi, dari puluhan juta rupiah hingga yang terbesar Rp 3,7 miliar untuk setoran kepada satu nama.
Buku bank tersebut disita penyidik KPK ketika mengusut suap Basuki untuk Patrialis Akbar dalam penggeledahan di Sunter pada Januari lalu. Dalam dokumen pengadilan terhadap Patrialis, penyidik mencoba mengorek penjelasan tentang buku itu kepada Ng Fenny. Ia mengakui perusahaannya memiliki buku bank berwarna merah dan hitam berisi catatan transaksi keuangan.
Salah satu transaksi di dalam buku berwarna merah itu yang ditanyakan adalah catatan per tanggal 24 Juni 2016. Di kolom keterangan tertulis "u Menpan/Bp. Chacha" dengan angka di kolom "kredit" sebesar Rp 150 juta. Dalam dokumen pengadilan itu terekam, Fenny mengatakan Chacha adalah anggota staf ahli Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada waktu itu.
Frans Hendra Winarta, pengacara Fenny dan Basuki, tidak bersedia mengomentari lagi catatan dalam buku bank tersebut. "Tanya saja langsung," ujarnya. Basuki, yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, juga tak bersedia menjelaskannya. "Sudahlah, saya ingin hidup tenang, saya terima vonis ini," katanya pada Jumat pekan lalu.
Anggota staf khusus Menteri Yuddy dengan panggilan Chacha adalah Fariza Irawady. Ia membantah menerima uang dari perusahaan Basuki seperti yang tertera dalam catatan Fenny. "Tidak benar ada pemberian uang dari Basuki Hariman kepada saya atau Menpan," ujarnya.
Banyak nama dan transaksi lain yang juga ditanyakan kepada Fenny sesuai dengan dokumen pengadilan itu. Nama itu di antaranya disebutkan berada di Mabes Polri, Kementerian Pertanian, Bea-Cukai, serta beberapa lembaga pemerintah lainnya. Menurut pengusaha-pengusaha yang dekat dengan Basuki, uang tersebut disebar ke banyak lembaga dan instansi untuk memuluskan dagingnya masuk ke pasar dalam negeri.
Pada tahun-tahun dalam transaksi itu, Indonesia sedang dihebohkan oleh penyakit sapi gila sehingga ada pembatasan daging impor. Korupsi impor sapi di Kementerian Pertanian juga mendorong pemerintah memperketat zonasi asal daging impor. Basuki, kata teman dekatnya, diduga harus menyuap pejabat Indonesia agar membuka keran daging impor atau memuluskan dagingnya masuk pelabuhan.
Catatan dalam buku merah ini belum ditindaklanjuti penyidik KPK, terutama nama-nama penerima suap Basuki selain Patrialis. Bahkan nama-nama di buku hitam yang dicantumkan dalam dokumen pengadilan tak dikorek lebih jauh oleh jaksa dalam persidangan terhadap Fenny, Basuki, dan Patrialis.
SESUNGGUHNYA polisi sudah mengetahui informasi bahwa KPK menemukan catatan transaksi keuangan perusahaan Basuki yang berisi nama pejabat Polri jauh sebelum dua penyidik itu dikembalikan. Beberapa kali Jenderal Tito dikabarkan bertemu dengan penyidik KPK di rumah dinasnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Brigadir Jenderal Rikwanto membenarkan kabar bahwa Kapolri Tito pernah bertemu dengan para penyidik KPK sekitar Maret 2017. Dalam salah satu pertemuan, kata Rikwanto, rombongan penyidik itu dipimpin Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Aris Budiman.
Dalam pertemuan itu, kata Rikwanto, Aris mengeluhkan ketidakharmonisan antar-penyidik di KPK serta soal penyidik polisi di KPK yang merasa diperlakukan tidak adil. "Menindaklanjuti keluhan itu, Kapolri bertemu dengan komisioner KPK di Polda Metro Jaya," ujarnya.
Rusman Paraqbueq, Anton Aprianto, Anton Septian, Syailendra Persada, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo