Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Kritik Post-Kolonial

"Power and Other Things" merupakan satu di antara tiga pameran utama Europalia 2017. Disambut hangat karena kritis.

29 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sebuah Kritik Post-Kolonial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMI bangsa Indonesia...." Teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan Sukarno 72 tahun lalu kembali berkumandang di Bozar, gedung pusat seni rupa, Brussels, Belgia, pada 17 Oktober lalu. Malam itu, pembacaan tersebut menandai pembukaan pameran bertajuk "Power and Other Things"- satu dari tiga pameran utama Europalia Indonesia 2017. Pameran yang judulnya terinspirasi kutipan teks proklamasi "kekuasaan dan lain-lain" itu berlangsung hingga 21 Januari 2018.

Europalia merupakan festival seni budaya terbesar di Eropa yang penyelenggaraannya dipusatkan di Belgia. Indonesia menjadi negara tamu kedelapan di luar negara anggota Uni Eropa setelah Jepang (1989), Meksiko (1993), Rusia (2005), Cina (2009), Brasil (2011), India (2013), dan Turki (2015).

Selain "Power and Other Things", pameran "Ancestors & Rituals" sudah dibuka seminggu sebelumnya bersamaan dengan peresmian Europalia Indonesia di tempat yang sama oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Sedangkan pameran ketiga, "Archipel: Kingdoms of The Sea", dibuka pada 24 Oktober lalu di Museum La Boverie di Kota Liège, sekitar 100 kilometer dari Brussels.

Menurut Riksa Afiaty, kurator "Power and Other Things" (bersama dengan Charles Esche), frasa "dan lain-lain" yang tercantum dalam teks kemerdekaan itu bisa dimaknai secara luas. "Kami memilih berspekulasi memaknai frasa ’dan lain-lain’ untuk sesuatu yang mungkin sudah terlupakan, sengaja dilupakan, atau dikesampingkan oleh sejarah," kata Riksa.

"Power and Other Things" menyuguhkan karya 21 seniman, di antaranya F.X. Harsono, Agung Kurniawan, Dea Widya, Antariksa, Octora, Saleh Husein, Timoteus Anggawan Kusno, Lifepatch, Maryanto, Raden Saleh, Emiria Sunassa, dan Sudjojono, dari Indonesia. Plus sejumlah seniman asal Eropa, seperti Tom Nicholson, Nicolaas Pieneman, Terroir, Jan Toorop, Ana Torfs, Wendelien van Oldenborgh, Lidwien van de Ven, dan Roy Villevoye.

Kolaborasi duo kurator Indonesia-Eropa, Riksa dan Esche, mengkategorikan secara kronologis karya-karya seniman pilihan mereka itu dari segi inspirasi peristiwa sejarah dan gagasan yang mempengaruhi karya-karya tersebut. Karya-karya ini dikelompokkan dalam 10 tema: "Mitos dan tradisi", "Pendudukan Belanda", "Pendudukan Jepang", "Identitas dan Kepemilikan", "Keragaman dan Perbedaan", "Perjuangan untuk Kemerdekaan", "1965 dan Penggulingan Sukarno", "Feminisme dan Peran Perempuan", "1998 dan Reformasi", serta "Pemikiran Dekolonial".

Beberapa karya kuat dari segi konsep. Misalnya, Co-Prosperity, instalasi karya Antariksa, yang mengungkap tentang kebijakan kebudayaan Jepang saat menjajah Indonesia. Karya ini mengangkat kembali peran kebijakan kebudayaan Jepang terhadap daerah jajahannya yang justru melahirkan seniman-seniman dari kalangan rakyat biasa. Seni rupa, yang pada masa pendudukan Belanda dianggap sebagai budaya elite dan eksklusif hanya bisa dinikmati petinggi-petinggi dan kalangan tertentu, akhirnya keluar menjadi milik rakyat di zaman pendudukan Jepang.

Co-Prosperity menghadirkan perspektif baru yang keluar dari narasi "penjajah dan yang dijajah" serta berhasil menghasilkan karya yang obyektif. Karya lain yang tajam dari segi konsep dan menonjol dari segi visual adalah Gentayangan. Karya Agung Kurniawan ini matang mengolah bahan-bahan dari peristiwa genosida komunis sepanjang 1965-1966. Karya instalasi yang diletakkan di salah satu ruang sempit dan tersembunyi di gedung Bozar itu secara jitu menghantui pengunjung sejak di ujung tangga menuju bawah.

Dalam ruangan yang mengingatkan kita pada katakombe, galeri bawah tanah menuju makam yang biasa dibangun orang Romawi kuno, berdiri tegak beberapa kostum putih yang ditata melingkar. Di atas kostum-kostum putih itu, proyeksi video dipantulkan dan menampilkan sejumlah perempuan tua yang sedang membacakan naskah bahasa Jawa Teater Gapit Solo berjudul Leng.

Perempuan-perempuan yang sedang membaca naskah Leng itu adalah para aktivis, pendukung, dan anggota Partai Komunis Indonesia yang selamat dari pembantaian. Mereka pernah dipenjara di kamp-kamp konsentrasi yang tersebar di berbagai daerah di Jawa, antara lain Plantungan, Wirogunan, Ambarawa, dan Bulu. Selama dalam tahanan, segala bentuk ekspresi dilarang. Satu-satunya jalan untuk berkomunikasi adalah mendendangkan lagu-lagu tradisional.

Agung Kurniawan mulai membuat karya itu pada 2014. Naskah Leng yang dibacakan kembali melalui proyeksi video di atas kostum-kostum putih itu pernah dipentaskan dalam pertunjukan teater bertajuk Gejolak Makam Keramat pada 13 Juli 2017 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Yogyakarta. "Karena mereka sudah uzur dan tidak mungkin membawa mereka semua ke sini, Gentayangan menggunakan kostum yang dipakai wanita-wanita yang tampil di Gejolak Makam Keramat itu," ucap Agung.

Karya yang juga menonjol dan memicu pemikiran kritis adalah Planning to Forget: Decomposing the Hotel Des Indes karya arsitek Dea Widya. Ia merekonstruksi miniatur The Hotel des Indes Jakarta. Karya ini memvisualkan perubahan tata letak kota yang cepat atas nama pembangunan. Secara keseluruhan, pengunjung pameran "Power and Other Things" yang hadir pada malam pembukaan itu mengaku cukup terkejut dengan karya-karya yang ditampilkan.

"Saya tidak pernah tahu ada pergerakan seni rupa visual yang sangat dinamis di Indonesia. Pameran ini memberikan banyak informasi yang kami tidak pernah tahu tentang seni di Indonesia," ujar Floida Skraqi, seniman asal Albania yang berdomisili di Brussels. Floida menyatakan "Power and Other Things" adalah salah satu pameran seni kontemporer terbaik yang pernah dihadirkan di Brussels selama beberapa tahun terakhir.

"Pamerannya cukup didaktik sehingga membuat kami yang tidak tahu apa-apa tentang Indonesia bisa mengerti lebih jauh," ucap Manuela Kokanovic. Manuela, pekerja seni asal Italia, mengaku perkenalannya dengan Indonesia hanya melalui Venice Biennale 2013, ketika dia bekerja sebagai sukarelawan di Pavilion Indonesia di Venice. "Tapi baru kali ini ada pameran yang cukup komprehensif mencakup seni seiring dengan sejarah yang menjadi konteksnya," kata Manuela.

David van Reybrouck, penulis ternama asal Belgia yang sedang melakukan penelitian tentang sejarah kolonialisme di Indonesia, menyebut "Power and Other Thing" sebagai "a post post-colonial critique". Pameran ini menunjukkan bagaimana seniman-seniman Indonesia menolak menempatkan Eropa sebagai pusat panggung; menolak membagi dunia dalam dua kelompok, Barat dan sisanya; menolak untuk secara sistematis menyalahkan yang pertama; serta menolak berfokus pada periode kolonial saja. "Mereka menganggap sama pentingnya untuk mengkaji ulang pengalaman prakolonial dan pascakolonial," kata Van Reybrouck.

Asmayani Kusrini (brussels)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus