MATAHARI masih malas merambat. Semua narapidana diperintah berkumpul di lapangan yang terletak di tengah-tengah Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan. Puluhan petugas jaga berseragam cokelat mengawasi. Mereka diminta berbaris rapi membentuk barisan tiga kelompok yang masing-masing dipimpin komandan regu. Seorang di antaranya menjadi pusat perhatian. Ia tampak serius mengikuti upacara kemerdekaan RI ke-57, Sabtu pekan lalu. Sesekali wajah sang tokoh tersenyum ketika mengikuti aba-aba menggelikan—diteriakkan seorang jawara napi yang salah mengomando.
Dialah Hutomo Mandala Putra, 40 tahun, biasa dipanggil Tommy, sang Pangeran dari Cendana. Tommy terlihat berdiri di grup pertama di barisan paling belakang. Pagi itu anak kesayangan mantan presiden Soeharto ini mengenakan pakaian tahanan yang bagian belakangnya bertuliskan ”Warga Binaan Lapas Batu Nusakambangan.” Ia masuk pulau buangan berjarak 2,5 kilometer dari daratan Cilacap, Jawa Tengah, itu sejak Kamis lalu. Selama upacara, ia memakai topi biru, celana biru, dan sepatu sandal. Seusai sekitar satu setengah jam ”dijemur”, ia mengeluh kepanasan. Berkali-kali ia mengibas-ngibaskan leher kemejanya untuk mengusir gerah.
Begitu Merah-Putih dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, wajah Tommy terlihat sedih. Matanya berkaca-kaca. Entah apa yang ia bayangkan. Yang jelas, ia tak lagi bisa mengikuti upacara puncak tujuh belasan seperti saat ayahnya berkuasa, di pelataran Istana Merdeka, dengan pelayanan VVIP. Ia menunduk sambil memejamkan mata saat mengheningkan cipta. Setelah itu, ada sedikit kado: Tommy menerima remisi alias korting hukuman sebulan. Keringanan ini diputuskan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra. Yusril jugalah yang memindahkan Tommy ke pulau seluas sepertiga Jakarta ini.
Tapi ada juga sedikit intermezo. Puluhan ibu Dharma Wanita di Penjara Batu berebut ingin bersalaman. ”Mas Tommy, Mas Tommy,” kata seorang ibu yang tak hirau sepatunya lepas demi berebut bersalaman. ”Titip salam buat Mbak Tutut dan semoga Pak Harto cepat sembuh,” kata seorang ibu yang berseragam organisasi para istri petugas ini. Cuma lima menit ia bersalaman. Tommy minta pamit karena kepanasan dan hendak mengganti baju kaus tahanannya. ”Sudah, ya, saya ke kamar dulu mau ganti baju. Baju ini kekecilan,” ujar dia.
Raja hutan Bob Hasan juga mendapatkan remisi. Terpidana 6 tahun penjara yang masih mengajukan peninjauan kembali (PK) ini mendapatkan remisi lima setengah bulan. Ia dianggap patuh dan menunjukkan perilaku yang baik selama menjalani masa tahanan. Selain Tommy dan Bob Hasan, yang mendiami Penjara Batu, total di tiga penjara lainnya di Nusakambangan tumplek mendekam 704 orang narapidana. Dari jumlah itu, ”Yang menerima remisi ada 665 orang, 25 bebas, dan 3 tidak diajukan remisi karena hukuman mati dan seumur hidup,” ujar Kepala Pengamanan LP Batu, Budi Hardono.
Tommy memang harus menjalani lakon baru dalam hidupnya. Sejak Kamis pekan silam, ia terpaksa mendekam dalam sel berukuran 5 x 6 meter persegi di sebuah penjara yang dikenal sebagai Alcatraznya Indonesia itu. Keputusan pemindahan itu berdasarkan surat yang diteken langsung oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra. Istri Tommy, Tata, menerima surat pindah penjara itu Rabu pekan silam. Semula, merebak gunjingan ihwal anak emas ini yang bakal diinapkan di LP Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Tapi ternyata batal.
Pasrahkah Tommy dengan nasib barunya ini? Adakah dia menerima seperti halnya vonis 15 tahun penjara yang ditetapkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tiga pekan silam? Dengan sedikit tercekat, ia menyatakan bahwa dirinya tak punya pilihan lain. ”Ya, mau bagaimana lagi? Memang sudah begini,” katanya kepada TEMPO seusai bersalat Jumat di Masjid Attauhid, di Penjara Batu, Nusakambangan.
Pihak Cendana kabarnya kurang menerima vonis baru ini. Sejatinya, mereka kepingin ayah dua anak ini tidak dipindahkan dari Cipinang. Kalaupun harus hijrah, mestinya tak terlalu jauh untuk dijangkau. Alasannya sederhana saja, yakni agar mereka bisa dengan mudah melepas kangen dengan anak kesayangan Soeharto itu. Pula, kalau sewaktu-waktu sang bapak membutuhkannya, ia bisa diam-diam ”diangkut” ke Cendana—sebagaimana pernah terjadi saat Soeharto menerima alat pacu jantung tempo hari ketika Tommy menyerah dan menjadi tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Lobi sudah dilakukan ke sana-kemari. Begitu menerima surat pindah penjara, beberapa anggota Keluarga Cendana segera menemui Kepala LP Cipinang, Ngusman, di kantornya. Di situ ada dua kakak Tommy, Titik dan Tutut Soeharto, plus pengacara Elza Syarief, yang barengan datang sekalian membesuk, Rabu lalu. Kedatangan rombongan ini tak sekadar membawakan penganan sedap dan melepas kangen. Ada soal penting yang akan disampaikan kepada bos Penjara Cipinang itu. Mereka ingin agar pemindahan Tommy ke pulau penjara itu bisa ditunda hingga beberapa hari.
Alasan kemanusiaan disodorkan kepada Ngusman. Menurut Tutut, sebelum berangkat, dia kepingin adiknya itu bisa sungkem kepada sang ayah yang sangat menyayanginya. Pihak keluarga juga ingin lebih mempersiapkan kepindahan ke Nusakambangan dengan baik. Terlebih, saat menerima keputusan itu, sang istri, Tata, tengah berada di luar kota. Tapi permintaan ini ditolak. Ngusman cuma menggelengkan kepala. ”Wah, saya tidak bisa membantu. Soalnya, keputusan ini langsung dari Pak Menteri,” katanya polos. Sontak, mereka yang hadir langsung hilang gairah. Tutut lalu menepuk pundak adiknya itu sambil memintanya bersabar.
Sang napi malah cuek bebek. Ia justru asyik melahap makanan Jepang sashimi yang khusus dibawakan Tutut itu. Lantas sekonyong-konyong dia berujar kepada Elza. ”Sudahlah, Tante (Tommy biasa memanggil Elza dengan panggilan itu—Red.), saya sudah siap,” kata Tommy, yang siang itu mengenakan kemeja berwarna oranye dan celana panjang berwarna gelap.
Kesiapan Tommy memang tidak main-main. Keesokan harinya, pagi-pagi betul setelah menunaikan salat subuh, ia telah bersiap untuk pergi ke tempat baru. Tak ada yang perlu ditakutkannya memang. Lagi pula pulau tempat buangan ini bukan lagi tempat yang menyeramkan seperti tempo dulu (lihat Mas Imot, Sugeng Libur). Apalagi keberangkatannya kali ini diiringi pengawalan yang superketat.
Cerita pemindahan bak film action. Dari pengamatan TEMPO, tim penjemput dari satuan Brimob sudah tiba di Cipinang lewat tengah malam. Iring-iringan sembilan mobil Brimob, yang dua di antaranya berupa mobil sejenis jip dengan stiker ”Gegana” merah mencolok di bodi kanan-kiri, segera parkir di depan pagar penjara, yang sudah dijejali mobil para wartawan yang meluber hingga tiga lapis di badan jalan. Satu unit kendaraan lapis baja pengangkut pasukan ikut pula dalam rangkaian konvoi.
Skenario rute sempat menjadi ajang debat. Jenis kendaraan pengangkut si bos proyek ”Mobil Nasional Timor” tersebut juga ramai dibahas. Semula ada keinginan membawa Tommy dari Cipinang ke Halim Perdanakusuma, lalu ke Cilacap. Tapi petugas lainnya mengajukan rute Cipinang-Bandara Pondok Cabe-Cilacap. Jalur pertama itu kabarnya dilakukan agar Tommy bisa bertemu dengan Soeharto barang sejenak, sebelum selanjutnya meneruskan perjalanan ke Nusakambangan lewat Bandara Halim Perdanakusuma. Tapi gosip ini dibantah Elza Syarief.
Toh, polisi tak mau ambil risiko. Begitu mendapat kepastian bahwa Tommy, akan dipindahkan, mereka langsung membentuk tim gabungan yang terdiri atas anggota reserse Markas Besar Kepolisian RI dan tim intelijen. Tim gabungan inilah yang kemudian menyusun beberapa alternatif pemindahan. Tim Gegana Mabes Polri dijadikan sebagai pelaksana lapangan. Pengamanan super ini sengaja diplot karena sang napi masuk kategori ”orang berbahaya”. ”Berbahaya karena ia bisa menjadi incaran orang, pernah kabur, dan sulit sekali ditangkap. Karena itu, kami tidak ingin kecolongan,” kata Kepala Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Saleh Saaf.
Saking takutnya polisi kecolongan, semua jalur evakuasi dilakukan dengan operasi undercover. Taktik pengelabuan ini sepenuhnya diawasi langsung oleh bos besar mereka, Kepala Polri Jenderal Da’i Bachtiar. Titik berangkat dari Pondok Cabe sampai tempat tujuan dipantau si bos. Menurut seorang perwira intelijen di Mabes Polri, pihaknya memang sengaja membuat pengaburan seolah Tommy akan dipindahkan lewat Halim. Padahal, di Pondok Cabe, pesawat polisi sudah disiapkan. Isu kepindahan Tommy ke LP Sukamiskin, Bandung, yang menggegerkan itu ternyata memang trik untuk mengalihkan perhatian publik.
Taktik polisi rupanya berhasil. Selama dua minggu sejak Menteri Yusril mengumumkan kemungkinan Tommy akan dipindahkan ke Sukamiskin, sontak perhatian publik tertuju ke penjara di kawasan Ujungberung itu. Tak terkecuali para wartawan yang rela begadang selama berhari-hari di sana. Hampir semua percaya. Apalagi fasilitas di penjara tempat Bung Karno mendekam itu dipercantik. Kloset dan bak mandi diganti dengan yang baru. ”Tempat ini kan cuma dijadikan penjajakan,” kata Kepala LP Sukamiskin, Anton Nafsika.
Ternyata, nun jauh di Nusakambangan, persiapan juga sudah dimatangkan. Para opsir penjara di LP Batu mengaku sudah lama berjaga-jaga. Renovasi ruang tahanan sudah dilakukan setidaknya seminggu sebelum Tommy datang. Tapi Kepala Penjara Batu Soemantri membantah. ”Saya baru tahu malamnya (Rabu malam) saat ditelepon Kepala LP Cipinang Ngusman,” katanya. Dari pengamatan TEMPO, kondisi sel yang ditempati Tommy itu memang sudah berubah menjadi resik.
Mengapa Nusakambangan? Menteri Yusril Ihza Mahendra punya dalih. Kata bekas penulis pidato Soeharto itu, kepindahan anak bekas bosnya ini semata dilakukan agar dia bisa dekat dengan seorang kroni bapaknya, Bob Hasan—terpidana hukuman penjara 6 tahun atas kasus korupsi. Kata Yusril lagi, dari Boblah diharapkan dia mendapatkan nasihat untuk berkelakuan baik. Apalagi, selama menjalani hukumannya, Bob dikenal dermawan. Ia membantu pembangunan masjid di sana dan juga mendanai para napi perajin batu akik.
Ada juga keputusan yang terasa aneh. Tommy, yang baru saja divonis sebulan silam, sudah diberi potongan hukuman selama satu bulan. Di hadapan para wartawan di kantornya, Kamis pekan silam, Yusril membacakan dasar hukum remisi, yakni Pasal 7 Keputusan Presiden Nomor 174/1999. ”Remisi dihitung sejak masa tahanan,” ujar Yusril. Tommy ditahan aparat Polda Metro Jaya sejak 29 November 2001. Ia menjalani masa tahanan tanpa terputus dan dipindahkan ke Cipinang pada 29 November 2002. Artinya, Tommy bisa menerima korting penjara karena sudah menjalani masa tahanan lebih dari enam bulan. ”Ini telah sesuai dengan aturan yang ada, bukan merupakan perlakuan istimewa,” kata Yusril.
Belum lagi soal perlakuan terhadap Tommy di penjara, yang jelas berbeda dibandingkan dengan napi lainnya. Lihat saja, ruangannya terlihat kinclong. Kamar mandi dan ubinnya dilapisi keramik yang licin. Sedangkan kamar napi lainnya yang terletak di dalam kompleks itu dibatasi jeruji besi. Singkatnya, penjara Tommy ini mirip dengan tempat indekos mewah milik mahasiswa (lihat Hari-Hari Pertama di Kamar 17A).
Pengamanannya juga hebat. Di Wisma Sari—jaraknya 200 meter dari LP Batu—disiagakan 20 anggota Brimob jago tembak dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Mereka secara bergantian berjaga di LP Batu tempat Tommy menginap. Sedangkan untuk keamanan di dalam, Tommy membawa serta seorang terpidana mantan aparat dari Cipinang untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil. Jadi, di mana pun Tommy ditempatkan, ”istana” pun kerap membuntutinya.
Irfan Budiman, Edy Budiyarso, Ecep S. Yasa (Nusakambangan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini