KETIKA cahaya masuk, Susi Mariyah, penari yang mengilhami nomor tunggal itu, mematung da-lam bentuk yang begitu rumit: kepala lekat pada lantai panggung, tubuh terlipat, sementara tangannya—menyelinap entah di mana—muncul dari tempat yang tidak semestinya, menggapai ke atas. Seperti sebuah monumen, sosok Susi tetap memperlihatkan bentuk manusia, tapi tidak lagi dalam keadaan yang semestinya: manusia yang kehilangan kemanusiaannya.
Dalam Three Solo Sketches for Susi, yang digelar di Teater Utan Kayu pekan lalu itu, si penari kemudian bergerak perlahan, mengalir, mencoba menemukan kembali fitrahnya sebagai manusia. Sesekali, gerak berubah menyentak, cepat, lalu kembali pada intensitas semula. Penari itu, dengan wajahnya yang dingin, seperti mengikuti kehendak seluruh bagian tubuhnya untuk menjelajah ke setiap kemungkinan gerak. Melompat, melejit, berguling, menggelepar, merambah bentuk-bentuk yang muskil, sebelum kemudian kembali surut pada kedudukannya semula.
Menarik untuk dicermati bagaimana sang penari bergerak. Ia seperti menciptakan sebuah bangunan yang dalam prosesnya beberapa kali ia hancurkan kembali melalui perubahan yang tiba-tiba dengan gerakan spontan dan naif—seperti seorang anak kecil merajuk, menuntut sesuatu, atau kesal pada sesuatu. Lalu, prosesi dimulai kembali.
Dalam waktu yang sesingkat itu, karya Joyce Suan Li Lim berhasil mengajak penontonnya mengalami pengembaraan gerak: jauh, melelahkan, tapi sekaligus menyegarkan. Sebuah tamasya singkat dengan sejumlah petualangan.
Mengaku berangkat dari gerak tai chi chuan yang diramu dengan elemen-elemen tari modern, koreografer muda berkebangsaan Malaysia ini sebenarnya hanya meminjam prinsip kesetimbangan jurus kungfu yang tersohor itu: bobot dan nilai gerak pada bagian tubuh sebelah kanan sama dengan bagian tubuh sebelah kiri. Selebihnya adalah pencarian yang didasarkan pada karakter Susi, sang penari.
Three Solo Sketches for Susi merupakan salah satu dari tiga nomor tunggal Joyce Lim yang dipentaskan di Teater Utan Kayu malam itu. Nomor-nomor ini menunjukkan kualitas penari dan koreografer lulusan Jurusan Koreografi Smith College, Amerika Serikat, ini sebagai seniman yang peka terhadap situasi dan zamannya. Karya-karyanya merupakan respons dan keprihatinannya terhadap perkembangan peradaban dewasa ini. Pada nomor terakhir, Lingkaran, yang diakui sebagai pengembangan dari Three Solo Sketches for Susi, Joyce sempat menyatakan secara verbal betapa pembunuhan, kekejaman, dan perang yang tak berkesudahan telah menciptakan situasi yang depresif.
Ketika peradaban manusia sampai ke jalan buntu, yang tercipta kemudian adalah rasa frustrasi di tengah ketiadaan pilihan. Respons yang dilakukan Joyce Lim adalah menjelajah ke wilayah yang paling tidak mungkin. Mengatasi ketertekanan dan kebuntuan dengan pilihan yang berani: meninggalkan konvensi yang telah menjadi klise dan rutin.
Kecenderungan tersebut juga tampak pada nomor pertama, Improv, yang dimainkan oleh Joyce Lim sendiri. Pada nomor yang mengandalkan improvisasi ini, ia meminta kontribusi penonton dengan menyetel alarm telepon genggam mereka untuk sepuluh menit ke depan—termasuk boleh menerima telepon dan bercakap-cakap jika ada telepon masuk. Ia akan bertumpu pada segala kemungkinan yang bisa terjadi ketika sebuah pertunjukan berlangsung—juga kekecewaan ketika yang diharapkan terjadi ternyata tidak ada.
Dalam pertunjukan tersebut, Susi Mariyah—gadis yang konon diasuh oleh Farida Oetoyo sejak usia empat tahun—perlu diberi catatan tersendiri. Membawakan karya yang sama pada Pentas Tari Kreativitas Dance Indonesia di Teater Utan Kayu, Mei 2002 yang lalu, ia menunjukkan bakat dan kematangan yang patut dipuji. Keberangkatannya dari dunia balet tidak membuatnya gagap dan canggung dalam menerjemahkan garapan kontemporer ini.
Pertunjukan Joyce Lim memberi kesan yang lama, dan meninggalkan—mungkin—beban untuk terus direnungkan. Langkah yang dipilihnya, tentu saja, tidak dengan sendirinya menyelesaikan seluruh persoalan peradaban. Three Solo Sketches for Susi pun akhirnya kembali ke bentuknya semula. Tapi perjalanan jauh yang dihayati dengan intensitas yang tinggi dapat membawa seseorang ke dalam semacam pencerahan: suatu pengalaman yang memperkaya jiwa. Khazanah batin yang boleh jadi memberi ketahanan dalam menghadapi tekanan peradaban. Barangkali saja.
Ags. Arya Dipayana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini