Menjelang tengah hari bolong, sebuah nampan menyelonong masuk ke sel nomor 17A itu. Sekejap, sepiring nasi putih, sekerat ampal daging sapi, sayur lodeh, dan air putih berpindah tangan ke penghuni baru sel itu. Inilah menu pertama yang harus disantap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, 40 tahun, sang penghuni sel. Suka tak suka, sejak Kamis pekan lalu itu begitulah menu yang harus dilahap Pangeran Cendana tiap harinya.
Kalaupun mau beda, ia harus menunggu di hari lain. Tak jauh beda, meski dengan sedikit variasi: sayur sup, tempe, dan gorengan ikan asin. Sang Pangeran, yang terbiasa hidup enak, mau juga menyantap. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, H. Soemantri, sempat menyaksikan air liur Tommy yang hampir jatuh. ”Kelihatannya dia memang lapar dan mau makan menu yang kita berikan,” katanya. Apakah dilahap habis, cuma Tommy yang tahu. Sebab, setiap penghuni diwajibkan mencuci piringnya sendiri di kamar mandi di dalam sel.
Tommy menghuni sebuah ruangan sel yang terbilang tak biasa. Ruang itu berukuran 5 x 6 meter yang terletak di barisan sisi kanan, setelah pintu masuk Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, sejak Kamis pekan lalu. Ia dipidana 15 tahun penjara untuk empat kasus: pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, kepemilikan bahan peledak dan senjata, serta buron. Ia menolak banding dan memilih masuk bui, sampai akhirnya Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra memindahkannya dari Penjara Cipinang.
Ruangan yang dihuni Tommy memang beda dengan kamar napi lainnya. Semua sisi ruangan itu bertembok dan berpintu, tidak berjeruji seperti sel pada umumnya—Tommy bernomor 17A atau Administrasi Orientasi IV (Adm Or IV). Kamar itu dilengkapi kamar mandi dan jamban sendiri. Tetangga Tommy, penghuni kamar 17B, adalah Mohamad Bob Hasan, terpidana delapan tahun kasus korupsi pemetaan hutan. Bob merupakan karib ayahanda Tommy, Soeharto, yang biasa ia sapa Om Bob dan pernah join bisnis dengan Tommy.
Masih ada dua kamar kosong dengan model sama yang letaknya sederet dengan kamar Tommy dan Bob. Sedangkan kondisi jajaran sel yang berada di seberang tempat Tommy jauh berbeda. Sel-sel berjeruji itu dihuni lebih dari seratus napi (total penghuni LP Batu 188 orang, termasuk Tommy). Kamar mandi, jamban, dan tempat cuci pakaian mereka gunakan beramai-ramai. Tentu saja, fasilitas mereka tidak senyaman yang diperoleh dua orang lingkaran dalam Cendana itu. Tapi, kondisinya sudah lumayan karena beberapa waktu lalu Bob telah memperbaiki kamar mandi dan tempat cuci massal para napi.
Kamar mandi Tommy juga tampak baru. Para sipir yang enggan disebutkan namanya mengatakan, perbaikan sarana kamar 17A sudah dilakukan sejak dua pekan sebelum kedatangan sang Pangeran. Tapi Kepala LP Batu, Soemantri, membantah. Ia mengaku baru tahu sehari sebelumnya dan langsung melakukan bersih-bersih, pengecatan, dan perbaikan. Keramik kamar mandi yang biru cemerlang itu diakuinya sebagai keramik lama. Bak mandi dan jamban jongkok juga barang lama, peninggalan Belanda. ”Ya, cuma semalam kami kebut, dan jadi,” katanya.
Tommy menjalani prosedur yang lazim. Belum habis capainya, begitu memasuki gerbang LP Batu, ia masuk ruang kesehatan. Laki-laki berkumis yang suka balap mobil itu langsung diperiksa seorang perawat LP. Tensinya diukur. Hasilnya normal: 120/80, berat badan 85 kg, dan tinggi badan 174 sentimenter. ”Tidak ada yang mengkhawatirkan dari kondisi badan Tommy,” kata Budi Hardono, Kepala Keamanan LP Batu. ”Hanya, Mas Tommy kelebihan berat 5 kilogram karena berat idealnya adalah 80 kilogram,” katanya.
Seusai pemeriksaan medis, Tommy langsung digiring menuju kamarnya. Barang bawaan mantan bos Humpuss ini simpel saja. Dia hanya menjinjing dua tas bepergian. Yang satu warna kuning dengan tulisan Sparco, dan satunya hitam bermerek Adidas. Kedua tas itu berisi delapan setel pakaian—rata-rata pakaian yang dibawanya berupa kaus berkerah— empat potong celana selutut, dan puluhan celana dalam.
Di dalam selnya tidak terlihat perabot tambahan yang dibawa Tommy. Hanya ada selembar kasur busa setebal 25 sentimeter yang ditutup seprai putih, dua bantal—dengan sarung berbeda: batik dan putih—serta satu guling bersarung putih. Satu-satunya barang mewah adalah sebuh mini-compo yang diletakkan di atas meja kecil. Uang, cincin, dan jam tangan sama sekali tidak ada di dalam sel. ”Memang tidak boleh bawa apa-apa kecuali tape dan radio kecil. Aturan ini berlaku untuk siapa pun, tidak bisa dilanggar,” Budi menandaskan. ”Kalau ingin nonton TV, harus bersama dengan tahanan lain dan sesuai dengan jadwal.”
Furniturnya biasa. Ada satu meja baca, dua kursi dari bahan metal dengan jok plastik merah, serta lantai yang ditutup plastik warna biru. Tampak juga handuk warna putih yang disampirkan di kursi dan selembar sajadah warna biru yang terhampar menghadap kiblat.
Tepat di samping kasur busa, ada meja kecil setinggi satu meter. Di situ tergeletak sebungkus kopi Kapal Api, susu Milo, tisu, bolpoin, dua map warna hijau, dan satu tasbih kecil. Tepat di bawah meja ada dua dus air mineral dalam gelas—jika dilihat dari capnya, agaknya dibeli di sebuah minimarket di Cilacap. Tersedia sepasang sandal jepit putih.
Petak itu juga dilengkapi sebuah kamar mandi ”pribadi”. Pintunya hanya sebatas dada. Juga ada jamban jongkok, bak mandi, dan dinding keramik warna biru. Di dekat jamban, ada dua sikat pembersih warna biru dan hitam serta lima biji kamper sebesar bola tenis meja warna putih dan merah. Di pinggiran bak mandi, tertata rapi peralatan mandi. Tampak sisir hitam dengan batang warna merah, cotton bud yang tinggal 14 batang, Rexona Roll-On for Men warna hitam, alat cukur kumis dan jenggot, sampo merek Tommy Refresher Course, dua botol krim pemutih wajah, sabun muka Biore Men Scrub, jeli rambut Gatsby, sikat gigi Formula, pasta gigi Pepsodent, serta tiga botol pelembab tangan dan badan.
Siap menyesuaikan diri di rumah baru? ”Ya, beginilah,” katanya lirih. Makan siang pertamanya, ya sayur lodeh itu, betul-betul dinikmati. Sore harinya—seusai istirahat siang—Tommy langsung berkenalan dengan para napi. Bob-lah yang menjemput dan memperkenalkannya ke penghuni lainnya. Orang kepercayaan Soeharto ini mengajak Tommy membaur di bengkel batu akik—yang diperbaiki Bob. Ia bertanya tentang cara mengkilapkan batu akik. ”Anak-anak di sini semuanya disalami,” tutur Suryadi, terpidana seumur hidup yang divonis karena membunuh.
Hari pertama membuatnya kecapaian. Menurut seorang sipir, Tommy langsung lelap sekitar pukul delapan malam. Keesokan harinya, bangun paginya diawali dengan salat subuh dan olahraga kecil bersama Bob di depan sel. Menjelang salat Jumat, sesekali Tommy melongok ke ruang besuk, berkenalan dengan para petugas jaga berseragam cokelat. Ia menyempatkan mengobrol dengan beberapa anggota Brimob bersenjata lengkap yang secara bergantian berjaga-jaga di pintu lapis kedua.
Usai salat Jumat, Tommy kembali dikerumuni para napi, diajak berkenalan. Saat berjabat tangan dan berbicara dengan napi lain, senyumnya tak pernah pudar. Ia bak selebriti baru di Penjara Batu. Ketika main pingpong di sore hari, para napi pria yang kebanyakan bertato ikut menonton sembari bersorak. ”Tapi Mas Tommy tetap terlihat tenang,” kata Suryadi. So, apa rencana selanjutnya? ”Seperti yang Anda lihat, dan kita tunggu saja,” katanya sambil tersenyum.
Bina Bektiati, Ecep Suwardi Yasa (Nusakambangan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini