Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mas Imot, Sugeng Libur

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusakambangan pulau penjara, Alcatraznya Indonesia, apa betul begitu? Mungkin benar, tapi itu dulu, dulu sekali, ketika pulau lonjong di selatan Jawa ini masih seperti perawan pingitan yang tertutup, mencil-menyendiri dipagari Segara Anakan dan Lautan Hindia yang ganas, serta dikitari rawa-rawa nyamuk dan hutan tropis suci murni. Tapi kini, jangankan mirip Alcatraz, pulau gamping itu malah lebih mirip tempat liburan ketimbang penjara yang terisolasi. Sepi? Memang masih. Hingga hari ini baru ada dua bus yang melayani angkutan umum di dalam Pulau Nusakambangan. Tapi terisolasi? Tidak lagi lah yauw. Tiap hari, feri yang menghubungan Nusakambangan dengan Cilacap lima kali bolak-balik hampir selalu penuh penumpang. Belum terhitung belasan perahu yang hilir-mudik disewa mereka yang tak kebagian tempat di feri. Meskipun belum bisa dibilang kebanjiran turis, sejak ditetapkan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman sebagai daerah wisata terbatas tahun 1995, Nusakambangan termasuk salah satu tempat liburan paling top di Jawa Tengah. Saban akhir pekan, Pantai Permisan dengan pasir putihnya yang elok, dan Pantai Cimiring dengan mercu suar kunonya, tak pernah sepi dari pengunjung. Seperti magnet, puluhan gua dan benteng bersejarah yang bertaburan di seputar pulau juga terus memikat kedatangan pelancong. Saking besarnya minat wisatawan, pemerintah sampai terpaksa mambatasi jumlah pengunjung hingga hanya 250 orang per hari. Bukan mustahil, besarnya animo ini akan mengubah pulau penjara yang namanya seram itu menjadi kawasan liburan nomor satu. Pelbagai situs wisata di internet telah mencoba menjualnya dengan seribu kata manis. Asosiasi Travel Asia Pasifik, PATA, misalnya, menyanjung Nusakambangan sebagai daerah yang amat kaya pemandangan indah dan satu-satunya tempat di Jawa yang masih menyisakan hutan tropis. Seperti memahami keinginan pasar, sejak Juni lalu pemerintah Cilacap membentuk tim mega proyek Nusakambangan. Rencananya, tim ini akan membangun semacam taman safari dan wisata pantai mirip Ancol di sana. Bukan itu saja, mereka bahkan merencanakan pembangunan kereta gantung yang melintasi Segara Anakan, menghubungkan Nusakambangan dengan Jawa. Tak ketinggalan akan dibuat pula, ”Rumah-rumah di atas pohon seperti milik suku terasing di Papua, tapi pakai AC,” kata Bupati Cilacap, Harry Tabri Karta, seperti sedang bermimpi, kepada harian Pikiran Rakyat. Pertanyaannya, apakah Mas Imot (nama sandi Tommy ketika buron) akan menikmati pelbagai kesibukan dan keindahan itu. Sulit dijawab dengan pasti. Namun mudah dibayangkan, dengan pelbagai keistimewaan yang sudah dinikmatinya selama ini, ia akan mendapatkan (lagi) keinginan-keinginannya, juga di Nusakambangan. Tampaknya, kini semuanya bergantung pada Imot, bagaimana ia ingin menghabiskan waktunya di sana. Kalau ingin coba-coba jadi penulis, misalnya (sekadar pendapat, biografi Tommy, barangkali judulnya Dari Istana ke Penjara, pasti bakal laku keras), ia bisa menyepi ke hutan wisata di pantai barat, atau menyendiri ke cagar alam di sebelah timur. Atau anak emas penguasa Orde Baru ini mau mengasah lagi kepiawaian berbisnis? Tak sulit. Barangkali ide megaproyek wisata tadi bisa dikembangkan menjadi semacam Nusakambangan Tourism Development Center (NTDC), seperti dulu pernah direncanakan Tommy untuk kawasan Belitung dan Nusa Tenggara. Tentu saja gagasan ini bakal disambut baik Pemda Jawa Tengah, yang, atas nama otonomi daerah, lagi ngiler dengan kemilau dolar. Kalau memang mau bisnis lagi, Mas Imot bisa minta nasihat Om Bob, tetangga kamar yang dulu jadi partner di Sempati Air. Atau ingin meneruskan hobi lama membalap? Jangan ragu-ragu. September tahun lalu, pengurus IMI Jawa Tengah menggelar lomba off-road di pulau penjara ini, tiga hari penuh. Jadi, kalau sekarang Tommy mau menggelar lomba semacam itu lagi, tentu tak ada yang merasa aneh. Ia tinggal mengontak teman-teman lama IMI, anak buahnya dulu, mungkin masih banyak yang mau membantu. Lagi bosan dan kesepian? Ini juga bukan masalah. Tommy bisa mengontak Ricardo Gelael, sahabat lama yang kini diserahi tanggung jawab mengelola Gatari. Tinggal pencet handphone, tat-tit-tut, tat-tit-tut, berani tanggung, sebuah helikopter akan segera datang menjemput, ke mana pun Mas Imot ingin pergi. Memang akan sedikit makan ongkos, tapi bagi Tommy ini tak akan jadi masalah. Yang lebih penting: aman, nyaman, dan itu lo, sulit diintip kamera wartawan. Jadi, mau apa lagi? Happy holiday sajalah, sugeng libur. Fajar W.H.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus