Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari kejauhan kampung kecil di Karangasem, Bali, Ibu Gedong Bagoes Okaberkata, "Hiduplah dengan karuna, kasih sayang, dan rasa saling percaya, lalu semuanyaakan mengalir dengan damai." Di Ashram Candi Dasa, pesantren Hindu yang didirikanIbu Gedong pada 1976, para santri sedang berlatih yoga. Ibu Gedong menangkupkankedua tangannya: telunjuk bertemu telunjuk, kelingking bertemu kelingking. Lalu,kidung doa itu lamat-lamat terdengar. Om dyayaouh shantih. Antarikshan shantih.Prithin shantih. (Damai di surga. Damai di langit. Damai di bumi.)
Hanya sebulan setelah bom melumatkan kawasan Legian di Bali, Ibu Gedongwafat dalam usia 81 tahun. Lalu, orang tiba-tiba ingat perempuan kecil yangmenjadikan Mahatma Gandhi sebagai panutan hidupnya itu. Perempuan tua itu menerapkanahimsa (gerakan menentang kekerasan), satya (bertindak dan berkata benar), danbrahmacharya (kesederhanaan) dengan saksama.
Adakah karuna hilang setelah bom Bali meletus? Mungkin tidak. "Tapi bomitu menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat Bali. Mereka terus diajakbermimpi tentang pariwisata yang akan pulih. Kenyataannya, mimpi itu makin pudar,"kata L.K. Suryani, psikiater dan pakar meditasi di Bali.
Para tokoh lalu bicara. Ada yang pesimistis, ada pula yang memandang tragediitu sebagai awal kembalinya adat-istiadat Bali yang selama ini tergadai olehkepentingan pasar. Yang lain: mungkin mengeluh atau sekadar bergumam.
Tapi Ibu Gedong tahu apa yang bisa menenteramkan batin yang gundah,setelah Bali didera nestapa. "Ada saatnya makhluk di bumi yang bernama manusialebih menemukan kedamaian pada desir angin dan percik ombak. Lalu, aksesoriduniawi pun jadi benda-benda yang boleh tak usah ada," kata Ibu Gedong.
Bali pasca-bom adalah Bali yang merindukan sejuta Ibu Gedong.
Agus Bambang Prianto,
kepala sentral parkir Kuta,orang pertama yang mengkoordinasi evakuasi mayat bom Bali
Bom Bali meluluhlantakkan dan hampir saja menjadikan Bali seperti abon. Tapi saya bersyukur keharmonisan di Bali tak rusak. Pada Hari Raya Idul Fitri, tak lama setelah tragedi itu, lapangan tempat salat Ied justru dijaga ratusan pecalang. Seusai salat, kami salam-salaman, berjabat tangan erat.
Made Wianta,
54 tahun, pelukis
Bom Bali menjadi ujian, khususnya bagi pelukis-pelukis muda, apakahmereka akan tetap bertahan di tengah sepinya turis. Apalagi, setelah satutahun, nyaris tak ada kemajuan apa-apa.
Jean Couteau,
58 tahun, pengamat budaya
Bali tetap menarik dengan adat-istiadat dantradisinya. Tapi, adanya pandangan yang sempit dan tertutupdari orang luar akan membuat Bali kehilangan eksotikanya.
Made Wijaya,
50 tahun, seniman
Bali diobral, Bali jadi korban pelacuran budaya. Bali yang mahapengampundikenai musibah yang paling dahsyat. Seluruh dunia menangisi tragedi Bali. Di antarakorban adalah mereka yang tak berdosa.
Prof. Dr. Ngurah Bagus,
70 tahun, budayawan danguru besar Universitas Udayana
Hampir seluruh aspek kehidupan di Bali telanjur bergantung pada industri pariwisata. Maka, ketikabom terjadi, banyak orang kehilangan pekerjaan danlahirlah rasa frustrasi. Jika tak dicari jalan keluarnya,dampaknya akan buruk terhadap kehidupan sosial dan budaya di Bali.
Tapi ada hikmat dari tragedi ini. Kita bisaberintrospeksi bahwa Bali tidak bisa terus-menerusdisandera kepentingan pariwisata yang berorientasi dolar semata.
Abubakar,
59 tahun, seniman
Merenungkan setahun bom Bali, hati saya amat kecut dan semakin kecut.Upaya perbaikan—yang semula tidak saya sangka dampaknya akan begituluas—semakin jauh dari kenyataan. Tidak adatanda-tanda dampak tragedi Bali yang bakal diselesaikan secara serius.Pemerintah hanya bisa ngomong. Pembicaraantentang tragedi Bali kini dibelokkan untuk kepentingan politik menjelang pemilu.
Putu Suasta,
43 tahun, aktivis dan politikus
Bom Bali membuat Bali berubah secara radikal terutama dalam halkemakmuran masyarakatnya. Kita harus mengurangi gaya hidup yang glamor, termasukdalam pelaksanaan tradisi dan upacara adat.
Ngurah Karyadi,
38 tahun, aktivis LSM,mahasiswa pasca-sarjana Universitas Udayana, Denpasar
Bom Bali adalah kekerasan untuk menghancurkan budaya persaudaraandalam perbedaan (tatwam asi) milik orangBali. Masyarakat Bali toleran pada yang lain—pada yanglian, luar, the other. Budaya inilah yang kemudian terusik,misalnya dengan wacana publik tentang perlunya kartu izin penduduk pendatang.
Peter dan Made,
pemilik Warung Made
Terorisme bukanlah hal baru di dunia ini. Di Inggris ada gerilyawan IRA, diSpanyol ada pemberontakan Bask, di Amerika ada tragedi 11 September. Tapi tak pernahada larangan berkunjung (travel ban) disana—sesuatu yang kini terjadi di Bali. Baliadalah tempat yang khusus. Teroris yang pengecut itu tak akan berhasil di Bali.Kebudayaan Bali, keindahan orang-orangnya, jugawisdom agama dan filsafat, tak akan pernah hilang di Bali.
Anak Agung Rai,
50 tahun, seniman, pemilikARMA Museum and Gallery
Bom Bali memberikan guncangan besar pada ekonomi dan budaya Bali. Tapitidak menggoyahkan semangat kebersamaan dan toleransi masyarakat Bali.
Popo Danes,
40 tahun, arsitek
Bom Bali adalah pelajaran sangat mahal. Bahwa pariwisata terkait eratdengan banyak masalah, seperti keamanan, stabilitas nasional, keamanan dunia, jugawabah penyakit. Kita tidak boleh lengah.
Pande Suteja Neka,
64 tahun, pemilik Neka Museum
Bali porak-poranda. Tapi ini kesempatan bagus untuk kita kembalimenemukan spirit seni dan keindahan di Bali yang selama ini seperti hanya dikejar pasar.
Prof. Dr. dr. L.K. Suryani,
psikiater dan pakar meditasi
Bom Bali menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat Bali. Mereka terus diajak bermimpi tentang pariwisata yang akan pulih. Kenyataannya terjadi Perang Irak, wabah SARS, dan ketidakpastian politik. Semuanya membuat mimpi itu semakin pudar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo