Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Longsornya Bisnis Tanah

Bisnis tanah dan properti di Bali mandek setelah tragedi bom 12 Oktober.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhir pekan, tepat setahun lalu. I Made Puryatma mesem-mesem terus. Notaris itu sedang bungah hatinya. Seorang pemilik tanah asal Bali yang tinggal di Jakarta memintanya membereskan sejumlah surat-surat. Dokumen itu diperlukan si pemilik tanah untuk berbisnis dengan seorang investor Hong Kong yang hendak membangun bungalow di Bali. Maka, duit cipratan dari proyek senilai US$ 5 juta—sekitar Rp 40 miliar lebih—sudah terbayang saja di benak Puryatma. Keesokan harinya, dengan bersigap dia mengantar si investor melihat lokasi yang akan dibeli. Surat-surat perjanjian akan diteken dua hari kemudian. Hampir berbarengan dengan itu, sekelompok anak muda juga punya satu rencana di hari Sabtu itu. Menjelang malam, mereka mengirim sebuah mobil tipe L-300 bermuatan bom masuk ke kawasan Kuta, Bali. Demikian rapinya rencana itu, tak ada satu pihak pun yang berhasil mendeteksi rencana mereka. Menjelang tengah malam, bom itu meledak. Serpihan mobil beterbangan. Gedung kawasan itu berloncatan. Puryatma tersentak. Hatinya hancur bukan main mendengar ledakan itu menewaskan ratusan orang. Lain lagi halnya pengusaha Hong Kong itu. Dia langsung angkat koper dan pulang kampung keesokan harinya setelah membatalkan semua rencana bisnisnya. "Itulah transaksi terakhir saya dengan orang asing," ujar Puryatma dengan masygul. Terakhir? Begitulah kira-kira. Hingga setahun setelah peristiwa berdarah di Kuta, notaris asal Bali itu tak pernah lagi berurusan jual-beli tanah dengan orang asing maupun lokal. Bisnis jual-beli properti mandek. "Orang asing terhalang isu keamanan, sementara orang lokal pendapatannya drastis berkurang," tutur Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bali, I Putu Parwarta. Kalaupun ada transaksi, pasarnya sudah hancur. Pasar ekspatriat yang tersisa tinggal sekitar 30 persen—70 persen lainnya dikuasai lokal, terutama masyarakat menengah ke bawah. "Pangsa asing anjlok. Kami mengarah ke pasar lokal," kata seorang tenaga sales di bidang properti. Sejak 12 Oktober 2002, dia mengaku cuma bisa menjual beberapa biji rumah saja. Keadaan ini berbeda betul dengan sebelum peristiwa bom ngejegur itu. Saat itu boleh dibilang bisnis properti di Bali lagi enak-enaknya. Investasi meluncur deras. Sejumlah kawasan sempat menjadi tambang emas usaha properti. Di antaranya kawasan Kuta, Nusa Dua, dan Kota Denpasar. Lahan yang terbatas menjadi rebutan sehingga harga tanah di kawasan tersebut melambung tinggi: sekitar Rp 350 ribu per meter di daerah pedesaan, hingga Rp 1 juta. Sedangkan untuk properti, dalam sebulan lima unit rumah yang harganya bervariasi dari Rp 150 juta hingga Rp 500 juta bisa laku terjual. Pasarnya imbang di kalangan orang asing yang berduit ataupun orang lokal. Kini? Ya, itu tadi. Pasar sudah terkoyak. Sebabnya, tentu tak sulit dicari: setelah bom meledak, kegiatan pelesir di sana drop. Menurut data REI, kunjungan pelancong melorot drastis dari 7.000 orang menjadi 784 orang per hari. Pemasukan yang minim membuat masyarakat otomatis lebih mementingkan perut ketimbang jorjoran membeli tanah atau rumah. Satu hal yang melegakan bagi pengusaha properti: karena barangnya tak busuk, mereka cuma mengalami penurunan omzet. Toh mereka harus mengetatkan ikat pinggang. Mereka tak bisa lagi memperluas usahanya karena para calon rekanan investor memilih menunda atau bahkan membatalkan kerja sama. "Padahal nilai investasinya mencapai ratusan miliar rupiah," ujar Parwarta. Kebanyakan dari investor itu orang asing. Bali memang pulau surga. Termasuk dalam soal penguasaan tanah bagi kalangan berduit dari luar negeri. Banyak akal-akalan yang dilakukan kaum ekspat untuk mendapatkan tanah di sana. Padahal, di pulau itu tak sejengkal tanah pun boleh dimiliki orang asing. "Di sini berbeda dengan tempat lain, di mana orang asing dapat memiliki rumah dan tanah dengan mudah. Seperti di Singapura, ada yang disebut Free Gold," ujar I Putu Parwarta. Namun, orang asing, menurut dia, bisa saja memiliki atau menyewa tanah di sana melalui cara penanaman modal asing (PMA)—kendati melalui proses panjang dan berbelit. Misalnya, mereka harus mengantongi izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal di Jakarta untuk membangun usaha di Bali. Lalu, ada akta notaris perusahaan lokal yang isinya bisa terdiri dari orang asing saja atau joint venture dengan orang lokal. Surat pembebasan tanah yang diteken Menteri Kehakiman juga wajib dikantongi. Dengan menyewa, orang asing mendapat hak pakai hingga 75 tahun—paling lama. Ruwet, memang. Toh banyak yang memilih jalan ini. Kebanyakan dari mereka umumnya orang-orang yang ingin berbisnis dan tak ingin dipusingkan oleh masalah hukum di kemudian hari. Nah, mereka yang ogah pusing dengan deretan aturan itu punya cara main sendiri. Dan peminatnya banyak. Menikahi penduduk setempat? Ah, kuno itu mah. Lagi pula cara itu lebih banyak mendatangkan buntung ketimbang untung. "Mungkin hal itu terjadi pada tahun 1980-an. Tapi sekarang makin sedikit," ujar pengusaha yang kita sebut saja namanya Agung Wira, 30 tahun. Menurut dia, banyak orang asing yang berpikir, perkawinan akan mempermudah berbagai prosedur bisnis. Faktanya, perkawinan semacam itu biasanya cepat berakhir. Sebab, orang asing itu akan segera mengetahui bahwa dirinya tetap berada dalam posisi yang sulit. Kepemilikan aset tetap atas nama sang istri dan, bila dia bercerai, aset itu akan lepas dari tangannya. "Kalau masuk pengadilan, biasanya istri orang asing yang menang," kata Zaenal Thayeb, seorang pengusaha di Kuta. Belum lagi adanya risiko memiliki anak yang menjadi tanggungan mereka nantinya. Nah, kini ada cara baru yang "ilegal" untuk mendapatkan tanah, yakni, "melalui semacam perjanjian bawah tangan di mana orang lokal memberi hak kuasa pada orang asing untuk tinggal dan memiliki," ujar I Putu Parwarta. Surat perjanjian bawah tangan itu hanya terjadi antara mereka, sementara surat kepemilikan tanah di notaris dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetap mencatatkan orang lokal sebagai pemiliknya. "Ini sudah biasa di Bali dan secara yuridis dianggap sah. Notaris dan pemerintah tutup mata," tutur Parwarta. Dalam perjanjian seperti itu, orang lokal akan mendapat uang kuasa yang jumlahnya bergerak dari sekitar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Biaya semua proses administrasi dan harga tanah menjadi tanggungan orang asing. Hal ini diakui oleh notaris, I Made Puryatma. "Ada yang begitu. Saya sendiri tidak mau tahu, pokoknya asal persyaratannya lengkap," ujarnya. Persyaratan yang dimaksud adalah sertifikat asli, pajak bumi dan bangunan terakhir, KTP suami atau istri dari penjual dan pembeli, plus kartu keluarga. Puryatma bisa mendeteksi jual-beli itu melibatkan orang asing bila transaksinya bernilai hingga di atas 1 miliar. "Tapi, kalau syaratnya lengkap, ya, saya tidak memasalahkan," ujarnya. Belakangan, ada lagi tren baru yang bergulir. Dibandingkan dengan memakai cara yang diungkap Parwarta dan Puryatma, orang asing yang ingin memiliki bisnis atau aset di Bali biasanya lebih banyak bermain di balik layar. Mereka memberi kepercayaan kepada pebisnis lokal untuk memegang bisnisnya. Si lokal juga mendapat mandat untuk meneken aneka surat berharga. "Biasanya yang dipilih adalah pebisnis lokal yang sudah punya kredibilitas, usahanya cukup bagus, dan kalau bisa dari kalangan bangsawan. Orang-orang asing pun ternyata masih percaya dengan posisi seperti itu," kata Agung Wira. Dengan kriteria itu, mereka yakin si pengusaha akan menjaga nama baiknya dan tak mungkin melarikan diri, karena punya usaha dan punya ikatan keluarga di Bali. Profil pebisnis lokal semacam itu biasanya diperoleh melalui kontak pribadi. Agung sendiri mengaku memiliki klien dari beberapa orang bule dengan jumlah bayaran yang lumayan. Sekitar US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per tahun. Apa boleh buat. Bom Bali telah merenggut semua ceritera indah ini dari Agung, Puryatma, ataupun Parwarta. Setahun sudah lewat sejak kobaran api membakar Kuta pada 12 Oktober 2002. Bisnis tanah dan properti, yang tadinya menjadi sumber uang mereka, masih mandek sampai sekarang. Mereka hanya bisa berharap, minimal kegiatan pelesir di pulau itu cepat hidup kembali. Bila hal itu terlaksana, bidang lain pun akan berderak—termasuk bisnis yang mereka geluti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus