Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Lebaran Para Imigran di Puncak

Meski berbeda tradisi, para imigran di kawasan Puncak sangat menikmati suasana Lebaran di Indonesia.

9 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Imigran pencari suaka di kawasan Puncak, 20 April 2022. TEMPO/M. Sidik Permana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Imigran sudah terbiasa dengan tradisi Lebaran di Indonesia.

  • Jumlah imigran di kawasan Puncak terus bertambah.

  • Pemerintah diminta lebih serius menangani para imigran di kawasan Puncak.

SUDAH sembilan tahun Akhsan Nurrudin tidak berlebaran bersama keluarga. Ia meninggalkan tanah kelahirannya di Provinsi Sindh, Pakistan, sebagai imigran. Tujuannya adalah menghindari peperangan di negaranya dan mencari suaka ke negara lain. Namun pria berusia 39 tahun itu tidak pernah mencapai negara tujuan. Perjalanannya terhenti di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.

Akhsan tidak tahu sampai berapa lama akan tinggal di Indonesia. Sebab, untuk penempatan di negara pemberi suaka, ia sangat bergantung pada keputusan dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). “Sampai sekarang belum ada kejelasan bagaimana nasib saya di sini,” katanya, kemarin. Akhsan sebenarnya rindu merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Namun saat ini ia tidak punya pilihan. "Saya bersyukur masih bisa merayakan Idul Fitri.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Akhsan, suasana Lebaran di kampungnya sangat berbeda dengan di Indonesia. Perbedaan ini sudah terasa pada malam takbiran. “Di negara saya, malam takbiran ditandai dengan letusan meriam tiga kali, lalu disusul suara gema takbir,” katanya. “Kalau di sini, orang menunggu pengumuman di televisi, baru takbiran.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitu juga dengan tradisi bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Di Pakistan, kebiasaan itu dilakukan pada malam takbiran. Sementara itu, kaum muslim Indonesia menjalani tradisi tersebut setelah salat Id. “Tapi saya tetap lebih senang Lebaran di sini,” katanya. “Apalagi makanannya enak-enak.”

Khudad Ibrohimi, imigran asal Afganistan, juga sangat menikmati suasana Lebaran di Indonesia. Meski statusnya imigran, dia merasa diterima dengan baik oleh penduduk setempat. “Kalau di kampung saya, belum tentu bisa merasakan Lebaran dengan hati bahagia,” katanya.

Para pencari suaka asal negara konflik di timur tengah tinggal di tengah perkampungan warga Punca. Tempo/M Sidik Permana

Menurut Khudad, di Afganistan, hampir setiap hari terjadi perang antarsuku. Tidak peduli itu bulan puasa atau Lebaran. Ketika pihak-pihak yang berseteru saling berhadapan, pasti terjadi konflik. “Idul Fitri di sini aman,” ujarnya. “Di negara asal, ada kemungkinan saya tidak bisa merayakan Lebaran semeriah ini."

Khudad tinggal di Desa Cikopo, Megamendung, Kabupaten Bogor, selama lebih dari sepuluh tahun. Ia sudah merasa menjadi bagian dari masyarakat setempat, ikut salat berjemaah di masjid dan berkeliling ke rumah-rumah warga untuk bersilaturahmi. “Saya pun sudah merasa ini menjadi kampung halaman saya sendiri," kata dia.

Tahir Asad, imigiran asal Afganistan yang tinggal di kawasan puncak selama 10 tahun. Tempo/M Sidik

Tahir Asad, imigiran asal Afganistan yang tinggal di kawasan puncak selama 10 tahun. Tempo/M Sidik

Berdasarkan catatan Pemerintah Kabupaten Bogor, jumlah imigran yang tinggal di kawasan Puncak mencapai 1.690 orang. Mereka, antara lain, berasal dari Irak, Iran, Afganistan, Pakistan, Bangladesh Somalia, dan Yaman.

Para pencari suaka ini mendapat bantuan dana dari UNHCR dan lembaga donatur dari Australia, yakni International Organization for Migration (IOM). Namun belakangan, bantuan yang mereka terima tersendat. Bahkan ada yang tidak menerima bantuan sama sekali. Untuk bertahan hidup, sejumlah imigran mengandalkan kiriman uang dari keluarga mereka di luar negeri. “Setiap bulan, saya dikirim uang oleh keluarga di Afganistan Rp 2-3 juta,” kata Tahir Asad, 36 tahun, asal Afganistan. “Kiriman itu untuk kebutuhan sehari-hari.”

Jika kiriman terlambat atau tidak datang sama sekali, kata Tahir, ia terpaksa meminjam uang kepada sesama imigran. “Kalau sekadar makan, mereka masih mau bantu,” katanya. “Sudah banyak di antara kami meninggal karena sakit. Ada juga yang memilih bunuh diri karena depresi. “

Pemerintah Kabupaten Bogor khawatir jumlah imigran di kawasan Puncak akan terus bertambah dan semakin sulit diawasi. Karena itu, pemerintah pusat bersama badan penanganan pengungsi diharapkan agar membuat tempat penampungan khusus bagi para imigran tersebut.

Khaidir Rusli, aktivis masyarakat adat Puncak, mengatakan pemerintah harus lebih serius menangani para imigran di kawasan Puncak. Ia khawatir akan terjadi gesekan sosial jika jumlah imigran terus bertambah. “Sebenarnya mereka ingin segera mendapatkan suaka,” katanya. “Terlalu lama mereka singgah di Indonesia, padahal bisa tinggal di Australia atau Kanada yang menjadi tujuan utama mereka.”

M.A. MURTADHO | M. SIDIK PERMANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Nasional Koran Tempo. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus