Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

"Lugur Aku," Kata Rachman

"Apabila di kemudian hari ternyata ada kekayaan saya dan keluarga saya yang dengan sengaja tidak saya laporkan, maka demi tanggung jawab moral sebagai penyelenggara negara dengan ini saya menyatakan rela dan ikhlas untuk diberhentikan"

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

"Lugur Aku," Kata Rachman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MUHAMMAD Abdul Rachman seperti tersambar petir. Ia tersentak kaget melihat foto sebuah rumah mewah diacungkan ke mukanya. Sedetik kemudian, di kantornya di lantai dua Gedung Kejaksaan Agung, duduknya langsung terenyak. Sambil memijit dahinya yang berkerut-kerut, sang Jaksa Agung berkata lirih, "Lugur aku." Lugur, dalam bahasa Jawa Timur, berarti jatuh, ambruk. Padahal, pada 11 September lalu itu, ketika ia diperiksa pertama kali oleh sebuah tim Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, yang terdiri dari Rudjuan Hartono, Lili Asdjudiredja, dan Soekotjo Soeparto, pejabat kelahiran Sumenep, Madura, ini sempat tampil gagah berani. Ketika ditanya Soekotjo apakah masih ada harta lain yang belum dilaporkan, Rachman tegas menggeleng. Tiga kali Soekotjo bertanya, tiga kali itu pula Rachman bilang tidak. Bahkan, setengah berteriak, ia menantang tim untuk mencatat sanggahannya. Baru ia mengaku setelah berbagai dokumen autentik yang membuktikan kepemilikannya atas sebuah rumah mewah di Graha Cinere, Depok, dikeluarkan tim pemeriksa. Salah satunya adalah akta pengikatan jual-beli tanggal 29 Oktober 1999 antara PT Megapolitan Development Corporation, pengembang perumahan Cinere, dan Kito Irkhamni, jaksa bekas tangan kanannya semasa Rachman masih menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Jelas-jelas dinyatakan di berkas itu, Kito bertindak atas kuasa Rachman. Tanah seluas 825 meter persegi itu tercatat dibeli Rachman seharga Rp 320 juta—ini setelah didiskon Rp 224,5 juta dari harga aslinya. Komisi juga menunjukkan bukti pembayaran dari Rachman, antara lain selembar kuitansi yang mencatat pembayaran lewat cek BCA senilai Rp 145 juta (lihat gambar). Rachman lemas tak berdaya. Setelah itu, kata Soekotjo menirukan, setengah mengiba sang Jaksa Agung bahkan sempat meminta supaya rumah mewah yang tak dilaporkannya itu diselipkan dalam lis laporannya terdahulu. Malang, permintaan ini ditolak mentah-mentah. Dan Rachman pun lugur sudah. Menurut sejumlah sumber TEMPO di kalangan Istana, riwayat Rachman sebagai Jaksa Agung praktis telah tamat. "Pengunduran dirinya hanya masalah waktu," kata Panda Nababan, anggota parlemen dari PDI Perjuangan, sebagaimana dikutip Koran Tempo. Kepada Panda yang akhir pekan lalu datang menemuinya, Rachman telah menyatakan kesiapannya untuk mundur. Rachman memang tak punya pilihan lain. Ketika melaporkan kekayaannya 10 Juli tahun lalu, ia sendiri yang meneken sebuah pernyataan di atas meterai yang berbunyi seperti kalimat di awal tulisan ini: jika terbukti laporannya tak benar, ia bersedia diberhentikan. Segala daya upayanya untuk menutupi aib ini pun terbukti sia-sia. Rabu pekan lalu, saat kembali diklarifikasi di kantor Komisi Pemeriksa, di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, Rachman masih berupaya menyusun dalih. Sadar posisinya di tubir jurang, berbeda dengan pemeriksaan pertama, kali ini ia mati-matian membantah memiliki rumah Cinere. Di hadapan pemeriksa, kata Soekotjo, Rachman mengatakan rumah telah diserahkan kepada putrinya, Chairunnisa, lalu dijual ke seseorang bernama Husen Tanoto pada tahun 2000. Harganya, anehnya, jauh di bawah nilai pasar. Cuma Rp 950 juta. Jadi, begitu kilah Rachman, ketika mencatatkan hartanya, ia bukan lagi pemilik bangunan itu. Adapun dana untuk membeli rumah diakuinya berasal dari uang pemberian tamu undangan yang menghadiri pernikahan salah satu anaknya pada 1999. Sialnya, Rachman kedodoran menyusun skenario. Lubang bertaburan di mana-mana. Kepada tim pemeriksa, dua penjaga rumah Cinere, misalnya, belum kompak mengatur kalimat. Ketika ditanya, yang satu menyatakan itu bukan kediaman Rachman. Tapi yang lain mengiyakannya. Banyak saksi lainnya juga jelas-jelas menunjuk rumah itu milik Rachman. Salah satunya adalah Kito Irkhamni sendiri. Kepada TEMPO ia tegas-tegas menyatakan gedung di Cinere itu sejatinya memang kepunyaan Rachman. Ia bersedia meneken pengalihan ke Chairunnisa karena dijanjikan bakal ditarik kembali ke Jakarta setelah lama "dibuang" ke Bangka (lihat Saya Menagih Utang Malah Dimutasi). Lagi pula, buat Komisi Pemeriksa, atas nama siapa pemilik rumah itu tak begitu penting. Ketua Komisi, Yusuf Syakir, pernah menyatakan, yang wajib dilaporkan bukan cuma harta yang secara de jure tercatat atas nama si pejabat, tapi juga yang secara de facto dimilikinya. "Tak peduli apa itu atas nama istri, anak, tetangga, atau sopirnya," kata Yusuf. Selain rumah, asal-muasal deposito Rachman sebesar Rp 545,6 juta plus US$ 26.600 juga dipersoalkan Komisi. Seperti dikutip Winarno Zain, salah satu tim pemeriksa, Rachman menjawab duit seabrek-abrek itu diperolehnya sebagai "uang terima kasih" dari sejumlah pengusaha Jawa Timur yang pernah ditolongnya. Tapi ia menyangkal itu ada kaitannya dengan perkara. Dan siapa nama sang sinterklas juga tak dibeberkannya. Untuk membuktikan adanya unsur suap atau tidak di balik fulus ini, Komisi masih melakukan penyelidikan. Lebih penting dari itu adalah soal satu ini: di hadapan pemeriksa, M.A. Rachman, Jaksa Agung Republik yang amat terhormat, mengakui hubungan khususnya dengan Suryo Tan, seorang pengusaha komputer asal Medan yang oleh banyak sumber TEMPO disebut-sebut sebagai makelar perkara kelas kakap di Gedung Bundar Kejaksaan. Husen Tanoto, yang disebut Rachman telah membeli rumahnya, tak lain adalah ayah kandung Suryo yang kini dikabarkan tinggal di Taiwan. Jejak Suryo di rumah Cinere bukan begitu saja diakui Rachman. Nama itu, kata Sukotjo, muncul dari hasil penyelidikan lapangan tim pemeriksa. Ketika menelisik hal-ihwal bangunan, mereka mendapat informasi bahwa pembangunan rumah itu siang malam diawasi oleh seseorang bernama Sudjana. Usut punya usut, Sudjana ini pulalah yang mengepalai proyek renovasi kediaman Rachman yang lain di Bekasi. Dan ternyata, ketika dikontak lewat telepon genggamnya, Sudjana mengaku berkantor di Jalan Tanah Abang II No. 56, Jakarta. Tim tersentak. Alamat itulah yang pernah ditulis majalah ini sebagai kantor Suryo Tan sekaligus tempat praktek Dokter Gigi Chairunnisa, putri kesayangan Rachman. Sontak Sudjana dipanggil untuk dimintai keterangan. Semula, mantan pegawai Sekretariat Negara ini mencoba berkelit dari berbagai pertanyaan yang menghubungkannya dengan Suryo. Bolak-balik ia cuma mengaku diperintah Husen Tanoto. Baru belakangan, setelah disudutkan berbagai fakta dan kesaksian lain, Sudjana mengaku bekerja untuk Suryo Tan. Karena itulah, kata seorang anggota tim, "Kami yakin, rumah Rachman itu dibangun dari duit Suryo." Sampai tulisan ini diturunkan, Sudjana tak dapat dihubungi. Mendadak ia pergi umrah. Menurut Winarno, saat diklarifikasi, Rachman mengaku mengenal baik Suryo. Tapi ia membantah telah berdagang perkara dengan Suryo. "Semua perkara disalurkan secara profesional ke instansi yang berwenang," katanya ditirukan Winarno. Sayang, Jaksa Agung Rachman mengunci mulutnya rapat-rapat. Usai diperiksa Komisi, ia sama sekali menolak berkomentar. "Nanti saya dibilang membela diri," katanya. Pada saat-saat terakhir ia pun membatalkan janji wawancara dengan majalah ini. "Bapak tidak mau komentar dulu," kata Anang, ajudannya. Penjelasan hanya didapat dari Suryo Tan. Kepada TEMPO ia membenarkan Sudjana adalah staf yang bekerja di kantornya. Suryo juga lantang mengaku bahwa ayahnyalah, Husen Tanoto, yang telah membeli rumah Cinere dari Chairunnisa, putri Rachman. "Dia jual rumah sebagai modal untuk buka klinik sendiri," kata Suryo lewat telepon genggamnya. Namun ia membantah pengakuan Sudjana di depan tim pemeriksa bahwa dia pulalah yang mendanai renovasi rumah Rachman yang lain di Bekasi. Pun, keras ia menyanggah segala tudingan yang menyebutnya sebagai makelar perkara di Kejaksaan Agung. "Itu semua bohong," katanya. Bohong? Memang itulah pangkal soalnya. Setahun silam, 15 Agustus lalu, ketika dilantik di Istana Negara, suara Muhammad Abdul Rachman tiba-tiba tercekat. Suaranya tak kunjung keluar justru ketika ia mesti mengucapkan bagian terpenting dari sumpah jabatannya sebagai Jaksa Agung. Ia hanya terdiam saat Presiden Megawati memintanya melafalkan ikrar, "Saya akan bertindak jujur." KD, Edy Budiyarso, Nezar Patria, Romy Fibri -------------------------------------------------------------------------------- Jejak Rachman di Graha Cinere 1999 28 Oktober 1999 M.A. Rachman memberi surat kuasa khusus kepada Kito Irkhamni untuk membeli rumah Cinere. 29 Oktober 1999 Perjanjian pengikatan jual-beli rumah antara Kito dan PT Megapolitan Development Corporation. 1 November 1999 Kuitansi pembayaran rumah dari Rachman ke PT Megapolitan. Pembayaran dilakukan melalui cek BCA senilai Rp 145 juta pada tanggal yang sama. 2000 17 Juni 2000 Akta pengalihan pemberian kuasa ke Kito, dari semula oleh M.A. Rachman diubah menjadi Chairunnisa, putri Rachman. 2001 10 Juli 2001 Rachman menyerahkan laporan kekayaan. 19 Desember 2001 Akta Notaris Retno Rini P. Dewanto, S.H., tentang penyerahan rumah dan tanah Cinere dari Kito ke Chairunnisa. 2002 14 Januari 2002 Akta Notaris Hidayat Asih tentang jual-beli rumah dan tanah Cinere antara Chairunnisa dan Husen Tanoto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus