Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baiq Nurhasanah
DIA belum tua benar. Namun perempuan yang lahir di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 14 Juni 1973, ini mengenang kejadian demi kejadian yang menggariskan jalan hidupnya seperti rangkaian pelabuhan transit: dari dua kali kepergiannya ke Arab Saudi, rasa rindu yang mendesaknya kembali ke kampung halaman, hingga akhirnya seorang pengurus partai setempat mengunjunginya pada suatu hari.
"Saya malu, cuma lulusan sekolah menengah pertama," kata Baiq Nurhasanah, perempuan tersebut, lirih, saat teringat pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Lombok Timur "meminang" dia untuk maju sebagai calon anggota legislatif tingkat kabupaten. Terus terang ia minder. Nurhasanah akhirnya setuju setelah pengurus partai itu menjelaskan tujuan pencalonannya untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan.
Empat tahun (1995-1999) Nurhasanah bersama suaminya, Lalu Purnama, bekerja di Arab Saudi, tapi hasilnya belum cukup buat membangun usaha di kampung. Pada 2003, Purnama sekali lagi mencoba peruntungan di Arab Saudi, dan kali ini ia bertemu dengan nasib baik. Ia menjadi sopir pribadi. Purnama tak menyia-nyiakan momentum tatkala majikannya yang baik hati menyuruh dia mencari seseorang yang dapat menjadi asisten urusan rumah tangga. Nurhasanah pun kembali ke negeri yang pernah dikunjunginya itu. Tiga tahun pasangan ini bekerja di keluarga yang sama sampai akhirnya mereka memutuskan pulang kampung.
Sebagai buah dari hasil jerih payah di Arab Saudi, pada 2005 mereka membeli sebidang tanah, yang kemudian dipakai buat bercocok tanam. Tapi apa yang dilakukan Nurhasanah di kampungnya ternyata lebih dari sekadar membudidayakan tanah itu. Dia menjadi kader pos pelayanan terpadu dan kader kesehatan desa. Warga desa kerap meminta bantuannya mengurus surat keterangan miskin untuk keperluan rumah sakit. Bahkan masyarakat sekitar meminta pertolongan suami-istri itu untuk mengantar ke rumah sakit.
"Tengah malam dia dibangunkan untuk mengantar orang sakit, dia jalani," ujar Hendri, tukang ojek di Desa Suralaga. Menurut dia, pintu rumah Nurhasanah selalu terbuka bagi setiap warga desa.
Atas pengalamannya sebagai tenaga kerja wanita dan kemurahan hatinya membantu warga itu, Nurhasanah digandeng lembaga swadaya pemerhati buruh migran. Dia diangkat sebagai kader pendamping tenaga kerja wanita. Nurhasanah lalu mendapat pelatihan mengelola uang hasil bekerja di luar negeri.
Hasil pembelajaran itu tak dia simpan sendiri. Nurhasanah juga berbagi ilmu kepada para mantan tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja wanita di kampungnya. Tujuannya agar mereka mandiri dan tak balik lagi menjadi buruh migran. "TKI kita tak bisa mengelola hasil uang mereka," ucap Nurhasanah. Menurut dia, puluhan juta rupiah yang dibawa pulang para pekerja migran itu sering kali ludes dipakai buat belanja ke mal. "Sebentar uang itu habis, mereka berangkat lagi."
NURHASANAH, yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif daerah setempat, cepat terbentur masalah. Dia tak punya modal untuk kampanye. Jangankan biaya kampanye, untuk mencukupi kehidupan sehari-hari saja ia bergantung pada hasil pertanian.
Namun para tetangga dan keluarga besarnya yang pernah mengecap kebaikan dan ketulusan hatinya tak dapat membiarkan dia berjuang seorang diri. "Keluarga berinisiatif membantu sosialisasi dengan biaya mereka sendiri," ujar ibu tiga anak ini. Nurhasanah tak mengeluarkan uang sedikit pun untuk aktivitas politiknya ini. "Saya memang tak mau dipilih karena uang."
Hasilnya luar biasa. Nurhasanah mendulang 1.494 suara pada pemilihan umum tiga tahun lalu itu. Ia lolos dari Daerah Pemilihan Lombok Timur I, yang meliputi Kecamatan Selong, Labuhan Haji, Sukamulia, dan Suralaga. Dari 50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lombok Timur periode 2014-2019, Nurhasanah satu dari dua anggota Dewan perempuan.
Perempuan yang kini anggota Dewan itu ternyata masih "Nurhasanah yang dulu". Ia masih suka mengantarkan warga desa yang hendak berobat ke rumah sakit. Karena posisinya sebagai anggota legislatif kabupaten, Nurhasanah sering meminta bantuan kendaraan dinas Dewan untuk keperluan sosial tersebut. "Itu kan juga mobil rakyat. Kalau dulu kami mengantar pakai sepeda motor," tutur Nurhasanah.
Satu lagi pekerjaan yang tak ia tanggalkan: sebagai "relawan rekening". Sebagian orang menyebutnya "ojek rekening". Rekening bank Nurhasanah dan suaminya kerap dijadikan alamat pengiriman dana dari para tenaga kerja Indonesia yang masih berada di luar negeri. Pasangan ini tak pernah memungut biaya untuk jasa titipan itu. "Kadang memang ada saja yang melebihkan, Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu," kata Purnama.
Uang titipan para TKI itu biasanya sebagian akan diberikan untuk keluarga. Sebagian lagi disimpan dan diserahkan saat sang pemilik pulang dari perantauan. Dana yang dikumpulkan itulah yang diharapkan bisa diolah menjadi modal usaha agar mereka tidak perlu lagi kembali mengais rezeki di luar negeri. "Ada juga yang mengirimkan uang untuk modal usaha keluarganya di sini, seperti untuk menyewa sawah," ujar Nurhasanah.
Atas keuletan Nurhasanah beserta suami berbagi ilmu dan pengalaman, para pekerja migran di desa setempat sadar dalam penggunaan uang hasil bekerja di luar negeri. Di Desa Suralaga, kini hampir semua rumah warga berdinding tembok. Kepala Desa Suralaga, Haji Jalaludin, mengatakan rumah-rumah itu merupakan hasil dari warganya yang merantau ke negeri seberang. Biasanya kelompok masyarakat usia produktif di Suralaga akan berangkat menjadi TKI dengan niat ingin memiliki rumah.
Setelah uang didapat dan rumah bisa dibangun, mereka akan pergi lagi untuk memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Jalaludin mengatakan, dari 8.900 penduduk di desanya, hampir semua kepala keluarga menjadi tenaga kerja Indonesia. Warga Desa Suralaga biasanya merantau ke Malaysia, Brunei Darussalam, Hong Kong, dan negara-negara Timur Tengah.
Jalaludin mengatakan lahan pekerjaan, termasuk tanah pertanian yang menyempit, menjadi alasan utama warganya memilih bekerja ke luar negeri. "Di luar negeri mereka bisa mendapat lima juta sebulan, di sini pekerjaan apa yang bisa bergaji sebanyak itu?" kata Jalaludin.
Nurhasanah tak berhenti di situ. Sebagai anggota Dewan, dia mengupayakan agar dana yang menjadi hak rakyat dapat disalurkan dengan tepat. Ia juga bertekad mengawal dana bantuan sosial dan anggaran lain yang dapat mendukung usaha memandirikan para mantan tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja wanita. Nurhasanah bukan kacang yang lupa akan kulitnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo