Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siti Badriyah
Siti Badriyah belakangan ini banyak mengisi harinya dengan bertandang ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta. Pada Selasa pekan lalu, perempuan kelahiran 14 Juli 1976 ini tampak di tengah rapat dengar pendapat antara Migrant Care dan Komisi IX DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. "Kami menyampaikan masukan agar revisi ini lebih memberi perlindungan, bukan terfokus pada soal penempatan," kata Badriyah.
Memonitor kebijakan adalah tanggung jawab Badriyah sejak ia menjadi anggota staf Advokasi Bidang Kebijakan Migrant Care pada 2010. Ia naik pangkat dari anggota staf menjadi koordinator mulai awal 2017. Ia lebih menguasai problem buruh migran bukan hanya karena sudah bergabung dengan Migrant Care 13 tahun lalu, tapi juga karena pengalamannya menjadi TKI di Malaysia pada 2002.
Badriyah, yang lahir di Grobogan, Jawa Tengah, menjadi pekerja migran karena alasan ekonomi. Ia berpisah dari suaminya dan harus mengasuh satu anak balita. Tak menemukan pekerjaan yang cocok di daerahnya, ia menerima tawaran seorang agen untuk bekerja di luar negeri. Selain iming-iming gaji, yang belakangan tak terbukti, juga kemudahan mengurus paspor dan izin kerja. Dalam waktu singkat, ia mendapat paspor dan izin kerja. Meski namanya tetap Badriyah, alamatnya tertulis di Semarang, bukan Grobogan.
Sebelum berangkat, Badriyah diberi tahu bahwa ia hanya akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kenyataan berkata lain. Setiba di Bukit Mertajam, Pulau Penang, Malaysia, pada awal 2002, ia langsung tak berdokumen karena paspornya ditahan agen. Dalam sembilan bulan pertama di negeri jiran itu, ia berganti majikan sampai lima kali. Semuanya di wilayah yang jaraknya sekitar 340 kilometer dari ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur.
Di majikan pertama, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan toko. Sebulan di sana, ia dipindahkan ke majikan berikutnya. Setelah bekerja tiga bulan, ia tak kunjung diberi gaji. Saat Badriyah bertanya, majikannya menjawab gajinya diberikan ke agensi. Ia pun menemui agensinya yang berada di Lorong Mak Mandin, Penang, sekitar 13 kilometer dari tempat kerjanya. Bukannya mendapatkan gaji yang diminta, ia malah diancam. "Kalau kamu macam-macam atau mau melawan, lihat ini teman-teman kamu," kata sang agen sambil menunjuk foto TKI yang dipotret telanjang, ada yang terlihat dipaksa makan bersama anjing, di dinding kantor agensi itu.
Jawaban agensi itu membuat Badriyah tak punya harapan. Meski demikian, ia memutuskan tetap bertahan. Dalam kurun enam bulan berikutnya, ia berganti tiga kali majikan. Ia pernah bekerja di pabrik mie dan minimarket. Yang terakhir ia bekerja di rumah dan toko alat-alat bangunan. Selain tak digaji dan beban kerja yang berat, tak ada kesempatan menelepon keluarga dan tak bisa ke luar rumah. Hal ini tentu membuatnya stres. Pada akhir 2002, ia memutuskan kabur. Pada suatu pagi, saat majikannya belum bangun, ia meninggalkan toko itu dan tak pernah kembali.
Badriyah memilih kabur ke sebuah masjid, bukan ke kantor polisi, yang lokasinya hanya terpaut lima rumah dari toko yang dijaganya. Tanpa punya dokumen, pergi ke polisi sama saja cari masalah. Keberadaannya di masjid sejak subuh sampai tengah hari membuat imam masjid bertanya. Badriyah lantas menceritakan masalahnya. Prihatin terhadap nasib Badriyah, sang imam menawarinya pekerjaan di kantin perusahaan barang elektronik di Penang. Badriyah menerimanya dengan senang hati.
Di kantin itu ia bekerja sejak pukul 5 pagi sampai 5 sore, Senin sampai Jumat, dengan gaji 700 ringgit per bulan. Karena tak berdokumen, ia selalu dijemput naik mobil dari kontrakannya ke kantin, yang ditempuh sekitar 20 menit. Begitu juga saat pulang. Setelah bekerja selama 10 bulan, Badriyah merasa punya cukup uang tabungan. Ia pun memutuskan pulang.
Ada puluhan orang Indonesia di perusahaan barang elektronik itu. Mendengar Badriyah ingin pulang, dia disarankan mengontak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Ia mengikuti nasihat itu. Badriyah meminta bantuan dan minta dijemput karena tak punya dokumen. Petugas di KBRI mensyaratkan dia yang datang sendiri. Jarak Penang-Kuala Lumpur sekitar lima jam. Dengan tak ada selembar dokumen di tangan, ia khawatir nasib buruk yang bakal terjadi. "Jangan-jangan saya tak sampai KBRI, tapi ke penjara," katanya.
Dengan hasrat pulang yang begitu besar, Badriyah mencari alternatif lain. Kenalannya menyarankan dia pulang naik kapal, menggunakan jasa tekong di Johor Bahru. Badriyah tahu itu jalur tikus dari Malaysia menuju Indonesia dan berbahaya. Risiko tertingginya adalah mati kalau kapalnya tenggelam. Tapi ia tak punya banyak pilihan. Setelah menghubungi tekong, ia diberi tahu biayanya 1.300 ringgit.
Sehari sebelum jadwal keberangkatan kapal, Badriyah naik bus sekitar tujuh jam menuju Johor. Tiba sore hari, ia langsung menuju hutan. Ia menginap semalam di hutan yang banyak monyetnya itu, menunggu kapal berangkat pukul 3 pagi. Kapal siap sesuai dengan jadwal. Karena kapal tak bersandar di pantai, Badriyah dan 20 orang Indonesia lainnya harus ke tengah laut. Setelah berjalan dan sedikit berenang selama 15 menit, mereka tiba di kapal. "Kami basah kuyup," katanya.
Pagi itu juga kapal barang kecil tersebut membelah perairan menuju Indonesia. Diisi 20 penumpang, kapal itu terasa sesak. "Melihat ombak besar dari kapal kecil itu, saya berada pada kepasrahan paling tinggi. Kalau sudah ditakdirkan mati, ya sudah," bisiknya dalam hati. Badriyah bernasib baik. Menjelang tengah hari, kapalnya tiba di hutan bakau di Tanjung Pinang. Di sana sudah ada seseorang yang menunggu dengan kendaraan Elf. Dari Tanjung Pinang, mereka menuju Batam. Badriyah naik KM Tambuna menuju Jakarta, yang ditempuh tiga hari empat malam.
Pengalaman buruk di Malaysia tak membuatnya kapok. Tak lama di Jakarta, Badriyah mencoba peruntungan ke Brunei Darussalam. Gajinya sekitar Rp 2 juta. Melalui jasa PJTKI, ia mendapat pekerjaan menjadi pengasuh bayi di sebuah keluarga di Bandar Seri Begawan. Tak seperti di Malaysia, ia mendapatkan majikan yang baik dan kerap mengajaknya bepergian. Sampai suatu hari, ia bertemu dengan seorang pemilik toko, yang menawarinya pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Setelah delapan bulan bekerja di majikan pertamanya itu, Badriyah memilih pulang. Niat awalnya adalah untuk ganti majikan. Setiba di Jakarta, ia juga mengurus gaji dan asuransi saat bekerja di Malaysia, sekitar Rp 15 juta. Untuk mengurus uang itu, ia menumpang di kantor Konsorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi). Badriyah tak pernah mendapatkan uang itu. Masa-masa sulit mengurus haknya bersama sejumlah TKI lain itu membuatnya tergerak untuk menjadi pembela buruh migran. Ia juga melupakan mimpinya untuk kembali ke Brunei.
Kopbumi dideklarasikan pada 2003 dan didedikasikan untuk menangani masalah TKI. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, awalnya Badriyah melamar sebagai relawan Kopbumi. "Waktu itu dia diberi tugas berkampanye tentang hak pembantu rumah tangga," kata Wahyu, yang saat itu Sekretaris Umum Kopbumi. "Dia lebih mudah masuk ke komunitas pembantu rumah tangga yang pernah mengalami nasib sama."
Migrant Care berdiri pada 2004 dan Badriyah diangkat menjadi anggota staf setelah menjadi relawan sekitar lima bulan. Mulanya ia diberi tugas di bidang pengaduan. Bagi Badriyah, tugas itu membuatnya menyadari betapa banyak dan beragamnya masalah TKI. Ada yang dieksploitasi secara seksual sampai memilih bunuh diri. Ada yang disiksa secara keji. Menangani bermacam kasus TKI membuatnya merasa lebih beruntung dan masih bisa bangkit. "Mendampingi TKI yang berkasus itu seperti mencari keadilan bagi saya sendiri."
Setelah Badriyah cukup lama bertugas di bagian penanganan kasus, Migrant Care menugasinya di bidang advokasi kebijakan, yang membuatnya harus memonitor pembuatan regulasi dan undang-undang. Kebijakan berperan penting bagi perlindungan TKI. Ia mendorong pemerintah daerah ikut aktif terlibat, antara lain dengan menyediakan balai pelatihan kerja agar TKI lebih terampil dan sadar akan haknya.
Badriyah juga mendorong desentralisasi agar pengurusan dokumen dan pemberangkatan bisa di daerah sehingga calon buruh migran tak perlu bersiasat, termasuk dengan dokumen palsu. Ia mengingat peristiwa pada 2012, saat ada jenazah TKI yang dikirim ke Jawa Barat dan ditolak. TKI nahas tersebut aslinya dari Jawa Tengah, tapi dikirim ke Jawa Barat karena itulah alamat yang tertera dalam paspornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo