Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siti Mariyam Ghozali
API yang melalap empat jongkonya di Pasar Wonosobo, Jawa Tengah, pada akhir 1995 membalikkan hidup Siti Mariyam Ghozali.
Kebakaran itu menghanguskan kios kelontong dan burung kicau sehingga utang Rp 35 juta tak bisa ia tebus. Rumah tangga Mariyam pun berantakan. Ia bercerai dan harus menghidupi enam anak sendirian. "Saya terimpit sehingga memutuskan berangkat ke Hong Kong untuk kerja apa saja," katanya pada Kamis pekan lalu.
Sebelum meninggalkan kampung halamannya di Desa Lipursari pada 1996, Mariyam mendapat pelatihan selama empat bulan di perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia. Ijazah sekolah menengah atas miliknya tak begitu berarti.
Di Hong Kong, nasib belum juga berpihak. Pekerjaannya tak sesuai dengan kontrak pada awal kerja. Mariyam bertugas memasak dan membersihkan rumah dua keluarga dengan gaji setara dengan Rp 8,4 juta. Saban hari, majikan memakinya karena ia dianggap tak becus bekerja. Lebih celaka lagi, ia hanya mendapat makan semangkuk kecil nasi tiap hari.
Selama dua tahun, Mariyam menabah-nabahkan diri. Ia tak berani berulah karena butuh uang untuk melunasi utang di kampung sekaligus mengirimi bekal hidup anak-anaknya. Ketika masa kontraknya habis pada 1998, utang tersebut akhirnya impas.
Mariyam tak memperpanjang kontraknya di Hong Kong. Ia pindah ke Taiwan. Di sana, ia bekerja merawat orang jompo. Dua tahun di Taiwan atau selama satu masa kontrak kerja, Mariyam kembali ke Hong Kong dan bekerja lagi sebagai pekerja rumah tangga.
Pada periode keduanya di Hong Kong ini ada dua kejadian yang membuat Mariyam memutuskan belajar taekwondo. Peristiwa pertama, ketika ia hendak diperkosa di kios telepon. Waktu itu ia sedang menangis sendirian dalam boks telepon setelah menelepon keluarganya di Wonosobo yang mengabari ibunya meninggal. Laki-laki itu tiba-tiba saja ada di sana dan memepetnya. "Saya tendang orang itu sekuatnya, lalu saya lari," ujar Mariyam.
Kejadian kedua saat ia pulang sebentar ke Indonesia. Di sekitar Bandar Udara Soekarno-Hatta, ia dipalak sejumlah orang yang kerap memeras tenaga kerja Indonesia yang baru pulang dari rantau. Mariyam tak berdaya. Uang yang ia selipkan di dompet melayang.
Sekembali ke Hong Kong, Mariyam berlatih taekwondo di dojo Cheng Do Kawan. Dua tahun berguru bela diri asal Korea itu, ia menyandang ban biru. Taekwondo ampuh menumbuhkan keberanian dan kepercayaan diri.
Di Hong Kong pula Mariyam memanfaatkan waktu libur dengan mengambil kursus bahasa Mandarin di Abraham College. Tak puas dengan satu bahasa, ia menajamkan kemampuan bahasa Inggrisnya.
Di Victoria Park, taman di tengah Hong Kong tempat buruh migran asal Indonesia kerap menghabiskan waktu pada akhir pekan, Mariyam bertemu dengan kawan-kawan senasib. Dari mereka, ia mendengar kisah-kisah memilukan sebagaimana yang pernah menimpanya. Diinspirasi kejadian tersebut, Mariyam mulai menulis fiksi.
Menjelang 2005, ia bergabung dengan grup percakapan surat elektronik yang beranggotakan sejumlah buruh migran di Hong Kong yang punya hobi menulis. Mailing list tersebut diberi nama Cafe De Kossta.
Mulanya Mariyam mengunggah tulisan berisi curahan hati selama merantau. Ia mempublikasikan cerita-ceritanya dalam majalah bahasa Indonesia yang terbit di Hong Kong, seperti Intermezo, Berita Indonesia, dan Rose Mawar. Melihat Mariyam produktif menulis, anggota milis mendorongnya menghimpun tulisan-tulisan itu dalam bentuk buku.
Salah satunya Stevi Yean Marie, penyair amatir asal Sulawesi Utara lulusan Universitas Gadjah Mada yang aktif di milis. Saat pulang ke Wonosobo pada 2005 dan berniat tak kembali ke Hong Kong, Mariyam berkeliling ke sejumlah penerbit di Yogyakarta, menawarkan draf kumpulan cerita pendek yang diberi judul Geliat Sang Kun Yang. Waktu itu tak ada penerbit yang melirik buku berisi 22 cerita tersebut.
Perempuan kelahiran 1 Januari 1966 ini tak patah semangat. Mariyam malah menulis novel Ranting Sakura. Begitu ditawarkan ke penerbit Pilar Media di Yogyakarta pada 2006, novel itu langsung naik cetak. Belakangan, Geliat Sang Kun Yang terbit juga.
Kedua buku itu terbit bukan atas nama Mariyam, melainkan Maria Bo Niok. Maria berasal dari Mariyam, namanya sendiri. Majikannya di Hong Kong memanggilnya dengan nama itu. Sedangkan Bo Niok dipilihkan Stevi Yean Marie, yang dinikahinya pada 2007, yang berasal dari "boniok" atau eboni (Diospyros pilosanthera Blanco) dalam bahasa Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Kini dari tangan Mariyam atau Maria Bo Niok telah lahir sembilan buku fiksi. Selain kedua buku tadi, ada Cinta Perempuan Gila. Novelnya yang berbahasa Inggris, Sumirioso: Bakul Areng Child, pernah diikutkan dalam Man Asian Literary Prize, ajang penghargaan bagi novel yang ditulis penulis Asia.
Bersama Stevi, Mariyam mendirikan rumah baca yang dinamai Istana Rumbia di rumahnya di Wonosobo. Buka 24 jam, Istana Rumbia menyediakan ratusan buku untuk dipinjam secara gratis. Di sana, ia juga membagikan ilmu menulis kepada mereka yang mau datang. Kini Mariyam kerap diundang memberi pelatihan menulis fiksi di sekolah-sekolah.
Tak hanya aktif di dunia tulis-menulis, Mariyam mendorong mantan buruh migran agar berdaya dan punya keterampilan. Ia mendatangi desa-desa kantong buruh migran di kabupaten tersebut dan mengajak mereka mendirikan komunitas. Ia pun menghubungkan mereka dengan Dinas Tenaga Kerja di Wonosobo serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Semarang, yang berniat memberikan keterampilan. Dari situ, mantan buruh migran belajar menjahit, membatik, berwirausaha kuliner, dan merias.
Salah seorang buruh migran "murid" Mariyam yang sukses adalah Kodiyah, bekas buruh di Malaysia. Mengikuti pelatihan membatik di tempat Mariyam tahun lalu, kini Kodiyah menularkan keterampilannya kepada lima perempuan di desanya, Lipursari. "Mbak Maria menjadikan mantan TKI berdaya dan mandiri," kata Kodiyah.
Mariyam juga membuka usaha UD Mari di Wonosobo, yang menjual tiwul instan, penganan berbahan baku singkong. Makanan itu dipasarkan secara online ke sejumlah daerah, di antaranya Yogyakarta, Batam, Riau, dan Papua. Usaha yang dimulai pada 2008 itu kini beromzet Rp 5 juta per bulan.
Sebelum menjual tiwul, Mariyam berjualan gorengan dan pakaian hingga membuka warung telepon. Semuanya terpuruk. Dengan modal Rp 1 juta, ia membuka usaha tiwul instan. Karena jualan tiwul lumayan, ia menambah modal dengan mengajukan kredit ke bank sebesar Rp 90 juta. Tiwul buatannya digemari hingga Hong Kong dan Taiwan. "Saya kirim lewat bantuan buruh migran yang kerja di sana," ujarnya.
Sukses menulis dan berwirausaha tak membuat Mariyam melupakan asal-usulnya. Ia ringan tangan kepada buruh migran yang didera masalah. Ia paham betul bagaimana nasib para buruh migran yang harus bertahan dalam kesulitan, seperti tergambar dalam satu kuplet sajaknya:
Satu per satu kuhitung tetes air di depan mataku
Itu bukan air hujan
Itu bukan air mata
Itu tetes keringat kehidupan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo