Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETAKA Sukhoi mengembalikan kebiasaan Mulya Abdi yang sudah terhenti sembilan tahun lalu: merokok. "Saya pejabat yang menutup masa bakti dengan antiklimaks," kata Pelaksana Harian General Manager Senior Air Traffic Services Bandar Udara Soekarno-Hatta itu. Lelaki 56 tahun itu pensiun pada September nanti.
Bersama Sutrisno Jaya Putra, Vice President Air Traffic Services PT Angkasa Pura II, Kamis pekan lalu, Mulya menjawab pertanyaan Pramono dan Bagja Hidayat dari Tempo tentang dugaan penyebab kecelakaan 9 Mei 2012 itu. Tak semua ia jawab. Alasannya, data kunci dan spesifik sudah diserahkan ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Mengapa pemandu menyetujui Sukhoi turun dari 10 ribu kaki ke 6.000 kaki?
Karena pesawat sudah di area latihan Atang Sendjaja. Itu area bersih halangan dan saat itu tak ada pesawat lain. Mau turun ke 3.000 kaki juga pasti disetujui.
Faktanya, Sukhoi menabrak Gunung Salak, yang tingginya 7.000 kaki….
Gunung Salak di luar training area. Sejak Januari hingga April 2012, ada 263 pesawat berlatih di Atang Sendjaja, tak terjadi apa-apa. Bukan hanya pesawat kecil, tapi juga Boeing yang setara dengan Superjet.
(Sutrisno: Pilot meninggalkan training area tanpa memberi tahu pemandu.)
Bagaimana pilot tahu ia sudah meninggalkan training area?
Sebelum terbang, semua pilot harus baca aeronautical information publication yang berisi peta penerbangan. Dia harus paham betul tempat yang akan dituju.
Tapi training area ini bukan tujuan akhir Sukhoi….
Di tengah jalan, pilot bisa saja mengubah rencana, tapi harus memberi tahu pemandu. Waktu penerbangan pertama, tujuannya juga Pelabuhan Ratu, tapi cuma sampai Atang Sendjaja.
Pesawat terbang dengan instrument flight rules. Bukankah ini artinya penerbangan sepenuhnya dipandu petugas?
ATC memandu semua penerbangan. Tapi kendali tetap ada di pilot. Dengan alat yang canggih di dalam kokpit, pilot tahu apa yang ada di sekeliling pesawat. Dia bisa menginformasikan ke pemandu untuk izin atau minta pertimbangan. Pemandu bisa menyetujui, bisa juga menolak permintaan pilot.
Jadi, pilot Sukhoi yang salah?
Kami tak mau menghakimi. Biar KNKT menjawab. Tak ada pemandu yang mau nabrakin pesawat.
Kami mendengar pemandu lalai karena tak memberitahukan ada Gunung Salak….
Tiap hari ada 1.800 pesawat. Kalau lalai, tiap hari ada tabrakan. Dan, sekali lagi, permintaan turun itu ketika pesawat berada di training area.
Gunung Salak terlihat di monitor radar?
Ada. Tapi Sukhoi ini joy flight dan ada di training area. Ketika itu, pemandu Sukhoi sedang memandu 13 pesawat lain yang takeoff dan landing. Kami sudah melayani Sukhoi sesuai dengan standar, tak sedikit pun menyimpang.
Oke, tapi kenapa pemandu baru sadar Sukhoi hilang 24 menit setelah kontak terakhir?
Begitu pesawat di training area, kami serahkan pilot bermanuver. Jangankan 20 menit, tiga setengah jam pun dia aman karena avturnya cukup untuk empat jam.
Benarkah pemandu tak didampingi asisten ketika kecelakaan Sukhoi terjadi?
No! Pasti ada. Itu standarnya.
Benarkah Angkasa Pura II mengadakan rapat setelah kecelakaan dan menyusun skenario untuk menghadapi KNKT?
(Sutrisno: Itu rapat evaluasi. Kami lihat siapa yang mengontrol, siapa asistennya, kejadiannya bagaimana. Itu bukan rapat untuk merekayasa data. Kalau kami tutupi, pada akhirnya terbuka juga.)
Ada yang menilai pemandu ini kelebihan beban karena penerbangan padat dan alat kurang canggih….
Tak ada standar jumlah traffic yang harus diawasi. Saya pernah mengawasi 35 pesawat. Kualitas ATC kita sama dengan luar negeri. Buku yang dipelajari juga sama. Peralatan kita juga memenuhi standar International Civil Aviation Organization. Kalau tak standar, kami sudah kena peringatan.
(Sutrisno: Alat kami cukup berumur, tapi layak digunakan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo