Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Buron Bergamis di Terminal 1C

Neneng Sri Wahyuni ditangkap saat berusaha pulang diam-diam. Keterlibatan kerabat Kerajaan Malaysia ditelusuri.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN itu berjalan tenang melewati pintu masuk keberangkatan Bandar Udara Hang Nadim, Batam, Rabu pagi pekan lalu. Memakai baju gamis berwarna gelap, kerudung cokelat, dan masker putih penutup wajah, dia beriringan dengan seorang wanita. Seorang lelaki separuh baya berjalan tepat di depan mereka.

Pergerakan tiga orang ini terekam jelas di kamera CCTV bandara. Sekilas tidak ada yang mengira perempuan bergamis itu buron Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia adalah Neneng Sri Wahyuni, istri bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Kabar tersangka korupsi pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu akan terbang sudah diterima penyidik KPK pada Senin siang pekan lalu. Menyambut "tamu istimewa" itu, enam penyidik bersiaga di terminal kedatangan 2F sejak Rabu pagi. "Menurut informasi yang kami peroleh, Neneng terbang menggunakan pesawat Garuda," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjo­janto.

Ketika diumumkan pesawat Garuda dari Batam telah mendarat pada pukul 11.25 WIB, para penyidik langsung bergerak. Mereka berpencar ke berbagai penjuru menyongsong penumpang satu per satu. Namun, ketika semua penumpang sudah keluar, perempuan yang ditunggu tak muncul.

Menurut sumber Tempo, penyidik waswas Neneng lolos dari pengamatan mereka. Apalagi kabar dari tim yang menguntit sejak di Batam memastikan ibu tiga anak itu telah terbang ke Jakarta. Kecemasan itu mendadak lenyap ketika ada kabar posisi Neneng sudah terlacak dari telepon selulernya. Dia diketahui sudah keluar dari kompleks bandara.

Menurut sumber tadi, Neneng lolos karena perkiraan penyidik KPK meleset. Semula diperkirakan ia menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Ternyata Neneng terbang dengan Citilink. "Jadinya dia leluasa melenggang keluar dari Terminal 1C," ujarnya.

Dari dokumen penerbangan, Neneng diketahui memesan tiket Citilink untuk empat penumpang dengan kode LYNV5P sehari sebelum terbang. Neneng menggunakan nama Nadia. Penumpang lain adalah Chamila serta dua warga negara Malaysia, R. Azmi bin Mohammad Yusof dan Mohamad Hasan bin Khusi.

Dari bandara, Neneng bersama Chamila, yang belakangan diketahui sebagai pembantunya, naik taksi Blue Bird menuju Jakarta. Dua "pengawal" warga Malaysia menumpang taksi lain. Ketika mengetahui Neneng telah meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, tim KPK langsung bergerak. Mereka berusaha mengejar taksi yang ditumpangi Neneng. Namun sia-sia: taksi sudah meluncur jauh menuju Jakarta.

l l l

MESKI lolos dari pengejaran, keberadaan Neneng masih terpantau penyidik KPK. Lepas dari jalan tol bandara, taksi meluncur ke kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Menurut seorang penyidik, di Kemang, Neneng singgah di sebuah restoran Padang. "Dia makan di sana," katanya.

Dari Kemang, taksi itu melanjutkan perjalanan ke kediaman Neneng di Jalan Pejaten Barat Raya Nomor 17, Jakarta Selatan. Posisinya dipastikan terkunci ketika taksi Blue Bird tadi masuk melewati pagar rumah mewah tersebut. Lalu dua penumpang turun dan masuk ke rumah.

Sumber Tempo mengatakan, meski beberapa kali posisi buron terlacak, penyidik tak langsung menangkapnya. Sebab, masih ada keraguan apakah orang itu Neneng atau bukan. Selain sering berganti nama, penampilan perempuan kelahiran Pekanbaru, 15 Februari 1982, itu juga sangat berubah. "Dia kerap mengenakan cadar," katanya. "Wajahnya juga sudah dipermak."

Ketika penyidik bersiaga, tiba-tiba satu mobil Kijang kapsul masuk ke halaman rumah. Berhenti tepat di pintu masuk, pengemudi mobil memasukkan beberapa koper ke rumah. Saat sopir itu keluar melewati­ pagar, seorang penyidik mencokoknya. "Dari keterangannya baru dapat dipastikan perempuan di dalam rumah itu Neneng," ujar sumber Tempo.

Tepat pada pukul 15.30 WIB, beberapa penyidik menerobos masuk. Menurut sumber tadi, Neneng, yang berada di dalam kamar di lantai dua, sempat mengunci pintu. Namun, setelah tahu terkepung, dia menyerah. "Ketika pintu dibuka, Neneng minta izin salat asar dulu sebelum digiring ke kantor KPK," katanya. Dua jam kemudian, dua orang Malaysia yang ikut bersama Neneng ditangkap di Hotel Aston, Senen, Jakarta Pusat.

l l l

NAZARUDDIN membantah istrinya ditangkap. Menurut dia, Neneng pulang ke Tanah Air untuk menyerahkan diri ke KPK. "Istri saya ingin salat terakhir kali di rumah, sebelum datang ke kantor KPK," katanya. Namun Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas berkukuh Neneng bukan menyerahkan diri. "Dia kami tangkap."

Neneng meninggalkan Indonesia bersama suaminya pada 23 Mei 2011, sehari sebelum Imigrasi mengeluarkan surat pencegahan Nazaruddin keluar dari Tanah Air. Mereka sempat melanglang buana ke sejumlah negara.

Pasangan ini terbang ke Singapura, menginap di Royal Plaza on Scotts Hotel, di kawa­san ramai Orchard Road. Beberapa hari di sana, Neneng dan Nazaruddin pindah ke Marina Bay Hotel. Tak lama, mereka pindah ke apartemen dengan tiga kamar di Distrik Sin Ming Lane.

Pasangan itu tak lama tinggal di apartemen. Tim dari Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia dan KPK datang untuk menangkap mereka. Menyewa pesawat jet, mereka terbang ke Vietnam, dan tinggal di sana beberapa hari. Terbang lagi ke Dubai, Uni Emirat Arab, mereka singgah beberapa jam di Phnom Penh, Kamboja.

Dari Dubai, masih menggunakan jet sewaan, Nazaruddin dan istrinya terbang ke Republik Dominika. Di sana, mereka tinggal di sebuah vila terbesar di pinggir pantai. Keduanya lalu menuju Cartagena, daerah tujuan wisata di Kolombia. Polisi setempat menangkap Nazaruddin, yang terdaftar sebagai buron Interpol, ketika pesawat jetnya hendak meninggalkan negara itu.

Ketika kemudian tim KPK tiba di Bogota untuk menjemput Nazaruddin, Neneng telah raib. Jejaknya tak terlacak. Seseorang yang mengikuti perkara ini menyebutkan keberadaan sang buron terlacak pada akhir 2011, ketika berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Di sana, dia membeli satu unit apartemen di pusat kota.

Neneng dikabarkan sempat mengajukan permohonan izin tinggal tetap (permanent resident) pada Januari lalu. Permohonan itu ditolak pemerintah Malaysia.

Berada jauh di negeri orang tanpa suami tak membuat Neneng mudah disentuh petugas Kepolisian Republik Indonesia dan KPK. Sumber Tempo mengatakan, selama di Malaysia, Neneng selalu dikawal R. Azmi bin Mohammad Yusof dan Mohamad Hasan bin Khusi. Dengan bantuan mereka, Neneng bisa leluasa berpindah dari satu negara bagian ke negara bagian lain. "Termasuk beberapa kali ke Batam."

Bambang Widjojanto menyatakan salah satu warga Malaysia itu penasihat kerajaan. Duta Besar Malaysia Dato Syed Munshe Afdzaruddin bin Syed Hassan membantahnya. "Mereka bukan siapa-siapa," ujarnya.

Seorang penyidik memastikan Azmi bukan orang sembarangan. Dia kerabat dekat petinggi Kesultanan Selangor. Saat ini lelaki kelahiran Perak, 13 Desember 1951, itu menjabat Managing Director Meram Holding­ Sdn Bhd, perusahaan konstruksi papan atas di Malaysia. "Azmi menjadi mitra bisnis Neneng dalam investasi properti," katanya.

Dalam upaya membawa Neneng pulang ke Indonesia, Azmi menggunakan kapal berbendera Kerajaan Selangor dari Kuala Lumpur ke Johor Bahru. Dari Johor, mereka menggunakan perahu kelotok, melanjutkan perjalanan ke Batam. "Mereka masuk melalui pelabuhan nelayan," ujar si penyidik.

Menurut penyidik itu, Azmi dan Mohamad Hasan juga kenal dekat dengan Nazaruddin. Pada Sabtu dua pekan lalu, mereka berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, menemui Nazaruddin. "Dalam pertemuan itu, Azmi mendapat tugas membantu membawa Neneng pulang ke Jakarta," katanya.

Azmi dan Mohamad Hasan, yang telah dijadikan tersangka, menolak berkomentar tentang tuduhan ikut membantu pelarian Neneng. Adapun Nazaruddin mengaku tak pernah mengenal dua warga negara Malaysia itu. Dia mengatakan Neneng sudah memiliki rumah dan usaha di Malaysia sejak 2001. "Enggak perlu bantuan siapa-siapa di sana," ujarnya.

Soal Neneng yang berhari-hari bersama Azmi dan Mohamad Hasan, menurut Nazaruddin, itu hanya kebetulan. "Mereka berkenalan di pelabuhan Malaysia, lalu sama-sama ke Jakarta."

Setri Yasra, Rusman Paraqbueq, Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus