Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGINJAKKAN kaki pertama kali di kantor PT Anugrah Nusantara, pada September 2008, Yulianis langsung diserahi setumpuk pekerjaan: membereskan laporan keuangan perusahaan yang "primitif". Keluar-masuk duit perusahaan Muhammad Nazaruddin itu tak tercatat akurat. "Pengelolaannya jorok," kata Yulianis kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Di gedung empat lantai di Tebet, Jakarta, itu tak cuma berkantor PT Anugrah. Sejumlah perusahaan di bawah kendali keluarga Nazaruddin juga bermarkas di sana—belakangan disebut Grup Anugrah, lalu setelah pindah ke Menara Permai di Mampang menjadi Grup Permai. Melamar sebagai anggota staf bagian keuangan PT Anugrah, ujung-ujungnya Yulianis ditugasi membereskan laporan keuangan seluruh perusahaan.
Dalam laporan keuangan 2006 dan 2007, Yulianis banyak menemukan pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga. "Ada pembelian cabai, tomat, hingga pembayaran laundry," tuturnya. Karena belanja di pasar tradisional, bukti pembelian pun cuma sobekan kertas, bukan struk atau kuitansi. Dibetulkan oleh Yulianis di laporan keuangan yang baru, transaksi demikian ia tulis "pengeluaran owner".
Sebelum Yulianis bergabung, yang bertugas mencatat hilir-mudik duit adalah Neneng Sri Wahyuni. Sebagai Direktur Keuangan PT Anugrah dan istri Nazaruddin, Neneng tak cuma mengeluarkan uang perusahaan untuk membeli kebutuhan dapur. Berulang kali perempuan kelahiran 1982 itu mentransfer duit dari rekening perusahaan ke rekening pribadi atau sebaliknya menggunakan sistem real time gross settlement—transfer duit jumbo seketika.
Salah satu perusahaan yang rekeningnya sering dikuras adalah PT Alfindo Nuratama Perkasa. Perseroan milik Arifin Ahmad ini dipinjam dua anak buah Nazaruddin, Marisi Martondang dan Mindo Rosalina Manulang, dalam proyek pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada 2008. Sebagai pemilik, Arifin hanya kebagian satu persen nilai proyek. Kendali perusahaan, termasuk rekening, dipegang Grup Anugrah.
Ketika Yulianis masuk Grup Anugrah, uang bolak-balik di rekening PT Alfindo-Neneng mencapai Rp 1 miliar. Yulianis meminta Neneng menghentikan kebiasaan itu. "Soalnya bahaya," ujarnya. Betul saja, ketika kasus pembangkit listrik masuk Komisi Pemberantasan Korupsi, nama Neneng langsung tercium dari transaksi rekening. "Akhirnya kejadian, deh."
Di persidangan kasus tersebut, dengan terdakwa Timas Ginting, terungkaplah bagaimana PT Alfindo memenangi lelang. Angka pengujian teknis produk modul panel surya yang ditawarkan Alfindo diubah agar memenuhi persyaratan. Timas, pejabat pembuat komitmen, juga memerintahkan panitia lelang memenangkan Alfindo.
Imbalannya, Timas disebutkan menerima Rp 77 juta dan US$ 2.000. Dalam catatan keuangan Grup Anugrah, duit diterima pada 2 Januari 2009 sebesar Rp 10 juta, 16 Februari 2009 (Rp 10 juta), 23 Februari 2009 (Rp 15 juta), 2 Mei 2009 (US$ 2.000), dan 17 Juni 2009 (Rp 25 juta).
Setelah Alfindo memenangi lelang senilai Rp 8,8 miliar, proyek itu disubkontrakkan ke PT Sundaya Indonesia dengan nilai kontrak Rp 5,29 miliar. Nazaruddin dan Neneng disebutkan menangguk untung Rp 2,7 miliar. Nah, sebagian uang itu masuk ke rekening Neneng melalui Alfindo.
Nazaruddin menyatakan istrinya tak seharusnya jadi tersangka. Menurut dia, Neneng tak tercatat sebagai pengurus perusahaan Alfindo dan tak ikut mengatur proyek. Neneng tersandung gara-gara uang Rp 750 juta dari Alfindo. Duit berupa cek itu lantas dicairkan dan dimasukkan ke rekening Neneng. "Itu pembayaran utang Marisi Martondang kepada Neneng," kata Nazaruddin. Menurut dia, Neneng tak ikut mengurus duit perusahaan.
Kesaksian Yulianis menyatakan sebaliknya. Menurut dia, Neneng mengontrol penuh keuangan. "Kalau dia belum ACC, mana berani mengeluarkan uang," ujar Yulianis. Dalam kasus Wisma Atlet, misalnya, Grup Anugrah, yang saat itu sudah berganti nama menjadi Grup Permai, berulang kali mengguyurkan duit ke Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Mindo Rosalina, yang bertugas melobi Senayan dan petinggi Kementerian, mengajukan permintaan duit kepada bagian keuangan. Yulianis, yang belakangan dipromosikan menjadi wakil direktur keuangan, meneruskan permintaan itu kepada Nazaruddin.
Tak cukup disetujui Nazaruddin, permohonan juga perlu disetujui Neneng—yang disebut oleh orang-orang Grup Permai dengan nama sandi "Mr C" dan "Lala". Bila suami-istri itu memberi lampu hijau, Yulianis mengeluarkan uang dari brankas sesuai dengan yang diajukan Rosa. Selanjutnya, sebagaimana terungkap di persidangan, duit diantar ke Senayan dan Kementerian oleh kurir.
Demikian pula ketika ada uang tunai masuk ke perusahaan. Nenenglah yang menentukan gepokan duit ditaruh di brankas mana. Ada empat brankas berbentuk kubus setinggi satu meter di kantor Grup Permai di Mampang. Tiga brankas tercogok di ruangan Neneng. Satu lagi di ruangan Yulianis.
Dua dari tiga brankas yang berjejer di ruangan Neneng khusus digunakan untuk menyimpan duit setoran proyek dari berbagai perusahaan di luar Grup Permai yang dibantu Nazaruddin. Duit itu dihimpun di brankas paling kiri dan paling kanan. Brankas tengah benar-benar hanya untuk menyimpan harta pribadi suami-istri itu. Adapun brankas di ruangan Yulianis hanya untuk menyimpan dana operasional perusahaan.
Ketika Grup Permai menerima fee proyek senilai Rp 4,3 miliar dari PT Duta Graha Indah, duit dijejalkan ke brankas paling kiri atas perintah Neneng. Duit segera berbaur dengan fulus dari proyek lain. Menurut Yulianis, pembukuan brankas khusus fee ini terpisah dari Grup Permai. Isi brankas dikelola Nazaruddin dan Neneng dan digunakan untuk kepentingan mereka sendiri.
Oktarina Furi, anggota staf bagian keuangan Permai, mengatakan dibujuk Neneng untuk ikut ke Singapura di awal pelarian keluarga itu pada Mei 2011. Di Negeri Singa, ia semula disuruh bosnya membuka rekening, tapi menolak. Neneng sebenarnya sudah punya dua rekening di sana, di OCBC Bank dan Standard Chartered. Setahu Oktarina, Nazaruddin malah tak membuka rekening di Singapura.
SEBELUM menikah dengan Nazaruddin, pada 2005, Neneng tinggal bersama orang tuanya di Sukajadi, Pekanbaru. Ia bungsu dari sebelas bersaudara. Menurut abang kandungnya, Mulyadi, hanya Neneng dari keluarganya yang sarjana. Setelah lulus diploma tiga di Fakultas Ekonomi Universitas Riau, Neneng melanjutkan kuliah di Universitas Persada Bunda, Pekanbaru. "Dia membiayai kuliahnya sendiri," kata Mulyadi.
Di Sukajadi, orang-orang mengenalnya sebagai gadis supel. "Dia juga pandai mengaji," ujar seorang guru mengajinya, yang tinggal sekitar 30 meter dari rumah keluarga Neneng. Setelah Nazaruddin memboÂyong Neneng, warga Sukajadi sangat jarang melihatnya pulang kampung. Menurut MulÂyadi, kalaupun Neneng pulang ke Pekanbaru, itu karena urusan keluarga dari pihak Nazaruddin. "Lebaran pun mereka tak salat Id di sini," katanya.
Keluarga sempat waswas ketika Neneng jadi buron. Kini, setelah Neneng ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, mereka merasa plong. "Paling tidak, saya tahu adik saya masih hidup," ujar Mulyadi. Malah sang ibunda, Nurmani, mendesak anak-anaknya membawanya ke Jakarta, membesuk Neneng di tahanan. "Tapi nanti sajalah," kata Mulyadi. "Sekarang masalahnya masih ramai, pasti sulit bertemu Neneng."
Anton Septian (Jakarta), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo