Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRAGEDI Sukhoi Superjet 100 pada 9 Mei lalu mengingatkan kembali pada rencana pemerintah membentuk lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia. Inilah lembaga baru yang akan menyatukan lima penyedia layanan udara yang saat ini mengatur lalu lintas pesawat di langit Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mewajibkan pemerintah membentuknya paling lambat tiga tahun setelah disahkan. "Harusnya awal tahun ini sudah ada," kata I Gusti Ketut Susila, Presiden Indonesia Air Traffic Controllers Association, pekan lalu. "Tapi sampai sekarang belum ada peraturan pemerintah yang menaunginya."
Lima penyedia jasa navigasi saat ini adalah PT Angkasa Pura I, yang mengatur udara wilayah timur, PT Angkasa Pura II untuk wilayah barat, Unit Pelaksana Teknis milik Kementerian Perhubungan, Tentara Nasional Indonesia, dan Otorita Batam. Menurut Susila, unit navigasi udara di setiap penyedia jasa tersebut akan bergabung menjadi satu dalam lembaga baru itu.
Adanya lima lembaga berbeda ini, kata Susila, membuat pengembangan navigasi udara jadi terabaikan. "Karena penyedia jasa terpecah konsentrasinya mengurus bandara juga," ujarnya. "Biaya untuk navigasi itu jadi nothing." Akibat paling nyata dari pengabaian itu adalah kerapnya pesawat komersial telat mengudara atau banyak kejadian hampir tabrakannya pesawat.
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim menyebutkan tak adanya perusahaan tunggal itu membuat kondisi udara Indonesia menyimpan bom waktu. Menurut Susila, lembaga baru itu akan lebih berfokus mengurusi soal yang dicemaskan Chappy. Sebab, kewenangan lembaga ini nantinya bisa mengelola keuangan secara mandiri.
Dananya berasal dari iuran maskapai sebagai ongkos navigasi yang akan dipakai untuk investasi peralatan dan pendidikan serta pelatihan para pemandu udara. Untuk saat ini, tiap-tiap penyedia itu bergerilya sendiri mencari pemandu berkualitas. Angkasa Pura II, misalnya, berburu pemandu dari sekolah penerbangan di seluruh Indonesia serta memberikan pelatihan dan sertifikasi pemandu udara sendiri. "Tahun ini sekitar 300 orang sudah kami rekrut dan sedang menjalani pelatihan," kata Sutrisno Jaya Putra, Vice President Air Traffic Services.
Namun kewenangan yang diatur dalam bentuk perusahaan ini baru final Februari lalu. "Jenisnya perusahaan umum, bukan lagi badan layanan umum," kata Susila. Awalnya, status yang mengemuka adalah badan layanan karena jasa penerbangan mesti di bawah pemerintah, yang tak mencari keuntungan.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan juga optimistis perusahaan jasa navigasi itu bisa terbentuk bulan ini. Tapi agaknya status ini terganjal di Istana Negara. Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi membalas surat Menteri Keuangan Agus Martowardojo, meminta "status itu dibahas kembali bersama Menteri Koordinator Perekonomian sebelum disahkan oleh Presiden".
Sudi menilai bentuk perusahaan umum justru akan memposisikan lembaga baru itu sebagai perusahaan negara pencari laba sesuai dengan Undang-Undang BUMN. "Ada keinginan lembaga ini di bawah Kementerian Perhubungan, tapi teman-teman ATC tidak mau kalau bentuknya badan layanan umum," ujar Dahlan.
Dengan penolakan Sudi, pembentukan lembaga ini bakal tertunda lagi. Seorang petugas pemandu udara menyebutkan lembaga baru itu seperti anak tiri yang dilupakan induknya, yakni pemerintah. "Padahal perusahaan ini mendesak dibentuk saat ini," kata Susila.
Kartika Candra, Pramono Teguh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo