Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1950-an, Presiden Sukarno mengirim seorang utusan ke rumah Trubus Sudarsono di Pakem, Yogyakarta. Kurir itu membawa sebuah patung kecil perempuan telanjang berukuran kurang dari 50 sentimeter. Bahannya dari logam. Sukarno meminta Trubus membuatkan patung semacam itu. Trubus kemudian memperbesar patung mini tersebut menjadi satu setengah kali ukuran orang dewasa. Perempuan telanjang itu ia panggil: Si Denok.
Denok-perempuan telanjang dari batu Gunung Merapi-sampai kini tergolek di halaman belakang Istana Bogor. Denok menampilkan perempuan yang sedang bersimpuh dengan lutut kaki kiri menyentuh lantai. Sosok patung ini seperti yang diharapkan Sukarno: seorang perawan Indonesia yang percaya akan hari depan yang damai. Trubus menggunakan seorang model bernama Ara untuk menyempurnakan wajah Si Denok.
Sukarno juga memesan patung perempuan telanjang lain dari Trubus. Judulnya Gadis dan Kodok. Patung ini juga menghiasi halaman Istana Bogor. Dua patung perempuan telanjang itu dibikin pada 1957-1958 di rumah Trubus dan diselesaikan di Istana. Ketika anak-anak Trubus, Sri Sudaryati dan Sri Sulistyantuti, dari Yogya menengok bapaknya ke Istana Bogor-seperti diceritakan oleh mereka berdua di buku Trubus Sudarsono terbitan penerbit Buku Baik dan Sekoloh Mbrosot (2013) milik perupa Dodo Hartoko-perlakuan Bung Karno terhadap mereka sangat hangat. Bung Karno sering guyon menirukan suara Gareng, Petruk, dan Bagong di depan mereka.
Menurut Mikke Susanto, konsultan kuratorial benda seni Istana Presiden Republik Indonesia, Gadis dan Kodok dibikin dari batu andesit tua atau batu kali berwarna hijau. Patung setinggi sekitar satu meter ini menggambarkan perempuan dalam posisi merangkak dengan rambut terikat. Di antara kaki perempuan itu ada seekor katak. Unsur sensualitas patung ini kuat. Model untuk patung yang ditempatkan di pinggir kolam Istana itu adalah Alice, menantu Ernst Dezentje, pelukis yang dekat dengan Sukarno. Sebagai imbalan jadi model, Alice diajari melukis oleh Trubus.
Masih menggunakan model Alice, Trubus membuat patung Endang Teratai dan Roro Jonggrang. Keduanya juga ditaruh di Istana Bogor. Dia membuat Roro Jonggrang pada 1961 di sebuah studio sewaan milik pematung Budiani di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Patung itu disadur dari sebuah patung tradisional Bali berukuran kecil. Pada mulanya patung itu diletakkan di halaman Hotel Indonesia, tapi kemudian dipindahkan ke halaman Istana Bogor.
"Hampir semua karya Trubus berupa patung dan lukisan mengangkat tema perempuan," ujar Mikke. Patung Trubus, kata dia, bercorak realis, mirip dengan obyek aslinya. Sering kali tubuh bagian atas patung manusia biasanya dipahat secara detail menyerupai orang, tapi tubuh bagian bawah dibiarkan tidak selesai, dibiarkan layaknya batu yang masih utuh.
Di samping patung perempuan, tentu saja Trubus pernah membuat patung laki-laki. Permadi Lyosta, 83 tahun, mantan anggota pelukis di Sanggar Pelukis Rakjat, mengenang betapa sibuknya teman-temannya para perupa di Sanggar Pelukis Rakjat kala itu membuat pesanan patung. "Di PR (Pelukis Rakjat) ini banyak sekali pekerjaan. Ada tamu negara, kita selalu bikin patung." Patung publik yang dibikin Trubus sendiri menghiasi berbagai daerah, seperti patung Oerip Soemohardjo di Magelang, Jawa Tengah, dan patung dada Jenderal Soedirman di depan Museum Korps Polisi Militer, Kebon Sirih, Jakarta. Trubus juga membantu Edhi Sunarso membuat patung Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia.
Trubus juga bergotong-royong dengan Hendra Gunawan membuat patung Jenderal Soedirman di Jalan Malioboro. Soedirman bermantel panjang dan berblangkon gaya Solo. Patung setinggi tiga meter itu tegak di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta. Menurut pelukis Djoko Pekik, patung Soedirman dibuat di rumah Trubus di Dusun Purwodadi, Desa Pakembinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Tapi, menurut Mikke, patung tersebut digarap di tempat ditemukannya batu kali bahan patung di sekitar Pakem, karena teknologi waktu itu belum memungkinkan untuk memindahkan batu besar ke rumah Trubus. "Mereka memahatnya di tempat teronggoknya batu itu," kata Mikke.
Menurut Mikke, di depan patung itu pada 1951, Pelukis Rakjat menyelenggarakan pameran. "Ini merupakan pameran seni patung kontemporer pertama di Yogyakarta," ujar pengajar seni rupa ISI Yogyakarta itu. Pameran itu memajang enam patung karya anggota Pelukis Rakjat, yang semuanya menghadap patung Soedirman. Trubus waktu itu menampilkan Ibu dan Anak, patung perempuan sedang menyusui anaknya. Perempuan itu memakai kebaya dan rambut panjangnya terurai ke belakang. Patung setinggi 1,25 meter ini terletak di bawah rimbun pohon preh dan beringin raksasa. Menurut Mikke, model patung ini adalah istri Amrus Natalsya, pendiri Sanggar Bumi Tarung.
Trubus mungkin sering menggunakan kenalan atau sanak sahabatnya sebagai model. "Istri Trubus cantik, ramah sekali. Istrinya itu bekas modelnya Dullah," ujar Permadi, yang kala itu sering diajak Trubus berkunjung ke rumahnya di Pakem. Selain piawai membuat patung, Trubus dikenal jago melukis perempuan. Perempuan dalam kanvasnya sering berupa sosok berkebaya anggun yang sorot matanya memancar melankolis atau sendu. Suasana kemelankolisan ini tampak bahkan ketika figur perempuan itu, misalnya, sedang menari legong yang gemebyar dan riang-gembira, seperti lukisan Tari Bali dan Penari Bali.
"Dia kuat sekali dalam melukis potret, tidak kalah kalau dibandingkan dengan Basoeki Abdullah. Basoeki lebih komersial," ucap Permadi. Kemampuan Trubus dibuktikan lewat karyanya yang mereproduksi lukisan Affandi, Ibuku. Pada karya ini, Affandi melukis wajah ibunya sendiri. Trubus kemudian mengulangi lagi lukisan itu. "Saya berpendapat pelukisan ulang Trubus lebih kuat dibanding karya Affandi sendiri," kata Agus Dermawan T., pengamat seni rupa.
Kemampuan Trubus mengimitasi tak sebatas meniru lukisan Affandi. Pada 1960-an, Trubus bekerja di studio Tjio Tek Djien di kawasan Cideng, Jakarta. Tjio salah satu kolektor terkenal dan pedagang karya seni pada masa itu. Trubus hijrah ke Jakarta karena di Yogyakarta susah mencari uang. Di studio itu, tiga pelukis-Trubus, Thoyib, dan Lim Wasim-bertugas membuat lukisan dengan upah Rp 1.000 per hari.
Selama di sana, Trubus menunjukkan kemampuannya dalam mereproduksi (menggambar ulang) lukisan karya perupa-perupa Belanda dan mancanegara, seperti Gerard Pieter Adolfs, Ramualdo Locatelli, dan Carel Dake Jr., secara persis. Tapi karyanya itu tetap dengan tanda tangan Trubus. "Belasan tahun kemudian, saya mendengar reproduksi lukisan karya Trubus beredar sebagai lukisan palsu karena tanda tangannya sudah berganti nama pelukis aslinya," ujar Agus.
Kurniawan, Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti (Jakarta), Shinta Maharani, Sunudyantoro (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo