Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Sentral Itu Harus Membumi
Penulis: Darmin Nasution
Penerbit: Galang Pustaka, Yogyakarta, 2013
Tebal: 264 halamanHarga: Rp 60 ribu
BANK Indonesia kerap disalahartikan sebagai lembaga yang berada di menara gading. Kebijakannya dianggap "menggantung di awan" alias tidak menyentuh langsung ke publik. Praktisi bank sentral juga terkesan elitis. Bank sentral bahkan sering dicurigai memihak pemilik uang yang gemar mengeruk keuntungan di pasar keuangan.
Darmin Nasution masuk ke Bank Indonesia di tengah berkembangnya persepsi itu. Mengawali jabatannya sebagai deputi gubernur senior pada 2009, satu tahun kemudian ia diangkat menjadi gubernur. Selama tiga setengah tahun sebagai Gubernur Bank Indonesia, Darmin memahami bahwa persepsi tadi muncul karena gabungan ketidakpahaman masyarakat dan cara berkomunikasi kalangan bank sentral sendiri.
Dari titik itulah Darmin ingin menjadikan bank sentral sebagai lembaga inklusif, yang orang-orangnya tak boleh dipersepsikan elitis. Buku ini mengisahkan upaya Darmin melakukan repositioning Bank Indonesia dalam tataran institusi dan kebijakan. Buku yang ditulis di pengujung masa jabatannya sebagai gubernur ini disampaikan dengan gaya bertutur yang ringan. Bank Sentral Itu Harus Membumi memuat bukan hanya pemikiran, melainkan juga kisah dan konflik yang dilalui Darmin di lembaga itu.
Darmin menjabat Gubernur BI saat kondisi perekonomian nasional berada pada situasi yang kondusif. Sejak 2009 hingga akhir 2012, ekonomi Indonesia tumbuh rata rata di atas enam persen. Ekspor yang tinggi, impor yang terkendali, dan inflasi yang stabil menjadi kebanggaan banyak pejabat publik saat itu. Perekonomian global juga mendukung. Kondisi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa yang belum optimal, tapi diimbangi oleh tingginya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, mampu mendorong sisi eksternal ekonomi Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, Darmin memiliki kesempatan menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung laju ekonomi. Pada bab awal, ia menuangkan gagasannya yang ingin menjadikan bank sentral sebagai lembaga yang lebih bermanfaat bagi rakyat kebanyakan. Di bab ini, ia mengibaratkan kebijakan moneter bagai satu titik dari sebuah lukisan besar bernama Indonesia (halaman 19).
Darmin ingin membawa bank sentral bukan sebagai "menara gading" yang indah tapi hanya sedap dipandang. Ia ingin menjadikan bank sentral sebagai "menara air" yang bermanfaat bagi masyarakat. Ia mengatakan, selain dua kebijakan makroekonomi, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, ada ruang bagi kebijakan ketiga. Darmin menyebut kebijakan ketiga sebagai kebijakan struktural. Ia juga menyayangkan pandangan yang mempersempit makna kebijakan fiskal hanya sebagai kebijakan stimulus untuk meningkatkan permintaan dan kemudian pertumbuhan ekonomi. Sedangkan kebijakan moneter hanya diarahkan pada upaya pengendalian inflasi (halaman 58).
Pada prakteknya, Darmin bukan gubernur bank sentral yang populis. Meski terlihat mendorong laju ekonomi dengan kebijakan yang akomodatif, ia tetap memegang pakem bank sentral: menjaga stabilitas dan keseimbangan makroekonomi. Saat melihat fenomena defisit transaksi berjalan pada 2011, ia mulai membaca tanda-tanda akan terjadinya tekanan pada ekonomi Indonesia. Berulang kali ia mengatakan perekonomian Indonesia yang tumbuh pesat belum diimbangi oleh kapasitas dan kekuatan sektor industri. Meningkatnya pertumbuhan dan daya beli telah meningkatkan pula permintaan masyarakat, tapi tak dapat dipenuhi oleh kemampuan produksi domestik. Akibatnya, kita dengan mudah mengimpor segalanya, termasuk barang-barang konsumsi yang tak memberi manfaat pada sisi ekspor.
Beberapa kebijakan Bank Indonesia saat itu diarahkan pada upaya mengerem laju pertumbuhan sektor-sektor tertentu, seperti otomotif dan properti, agar keseimbangan makroekonomi terjaga. Darmin juga ingin memastikan terjadinya kecukupan valuta asing di dalam negeri. Ia pun menerapkan kebijakan memulangkan devisa hasil ekspor (DHE).
Langkahnya tak mudah. Tekanan ia terima dari banyak pihak karena dianggap tidak pro pada geliat ekonomi saat itu. Ihwal DHE, ia bahkan menerima "surat sakti" yang memintanya memberi pengecualian kepada satu perusahaan asing. Hal itu ditulisnya dalam artikel "Langkah Berat Memulangkan Valas".
Tekanan terhadap ekonomi Indonesia akhirnya terjadi pada pertengahan 2013 ini. Saat bank sentral Amerika, The Fed, mengumumkan rencana menghentikan kebijakan akomodatifnya (tappering), dolar Amerika serta-merta "pulang kampung". Hal itu menyebabkan nilai tukar mata uang regional, termasuk rupiah, melemah signifikan. Defisit transaksi berjalan pun memberi sentimen negatif di pasar keuangan.
Bank sentral memang kerap berada di persimpangan jalan. Alice Rivin, mantan anggota komite The Fed, mengatakan tugas bank sentral adalah untuk khawatir, baik ketika ekonomi tumbuh maupun turun. Bank sentral perlu terus-menerus khawatir karena fungsi utamanya menjaga stabilitas ekonomi.
Perjuangan Darmin tentu belum terwujud sepenuhnya. Masa tugasnya sudah berakhir padai awal 2013. Tapi semangatnya menjadikan bank sentral membumi, dengan tetap menjaga stabilitas, perlu dilanjutkan para penerusnya.
Junanto Herdiawan, Ekonom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo