Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Sukarno tampak sedang berpose dengan sejumlah seniman anggota Sanggar Pelukis Rakjat, Yogyakarta, yang dipimpin perupa Hendra Gunawan. Dalam foto tahun 1955 itu terlihat antara lain Hendra Gunawan, Affandi, A. Rachmad, Itji Tarmizi, dan Trubus Sudarsono.
Semua yang ada di foto itu terlihat sumringah. Boleh dibilang hanya Trubus, yang berdiri paling kiri, yang terkesan serius. Ia sama sekali tak tersenyum. Tentu ia tengah tak menerawang nasibnya yang akan berakhir tragis—karena bersinggungan dengan Sukarno.
Tapi, tatkala terjadi pembantaian besar-besaran pascaprahara politik 30 September 1965, saat sebagian anggota Pelukis Rakjat dipenjarakan atau di-Pulau-Buru-kan, Trubus bernasib paling malang. Ia tak pernah kembali. Ia "dihabisi". Tapi tak seorang pun tahu kapan dan di mana eksekusi itu.
"DARYATI, anakku. Jagalah adik-adikmu. Sempatkan menengok ibu dan adikmu di Wates. Katakan Ayah tidak apa-apa. Sembah sujud Ayah untuk embahmu di Wates."
Itulah kata-kata terakhir pria kurus bersurjan lusuh dan bertopi pandan kepada Sri Sudaryati, gadis berusia 13 tahun. Sang gadis memeluk erat sambil menangisi pria yang tak lain adalah ayahnya, Trubus Sudarsono, itu. Trubus mencium pipi dan kepala Sudaryati berkali-kali.
Peristiwa mengharukan itu terjadi di belakang kantor Kapanewon Pakem (kini Kecamatan Pakem), Sleman, Yogyakarta, pada awal Desember 1965. Sudaryati, anak kedua Trubus yang kini berusia 61 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya di Banyumanik, Semarang, ingat hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang ayah.
Dia mengenang saat itu ayahnya baru saja ditangkap tentara setelah dua bulan bersembunyi di lereng Gunung Merapi. Trubus dibawa ke kantor Kecamatan Pakem hanya untuk transit semalam. Selanjutnya tak diketahui akan dibawa ke mana ayahnya.
Setelah pertemuan tersebut, menurut Sudaryati, ayahnya menjadi sosok takhayul bagi dia dan sembilan saudaranya. Sang ayah tak pernah diketahui nasibnya hingga kini. "Bagaimana tidak takhayul, kami selalu merindukannya tapi tak pernah tahu kabarnya," tuturnya.
Menurut Sudaryati, sebelum prahara politik 1965 merenggut Trubus, ayahnya adalah salah seorang pelukis dan pematung kepercayaan Bung Karno, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta, serta dosen di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.
Trubus menjadikan rumah tinggalnya yang besar di Desa Purwodadi, Pakembinangun, Sleman, sebagai sanggar bagi siapa saja yang belajar melukis, karawitan, dan menari. "Semuanya gratis," ujar SudarÂyati. Tiap malam Minggu, warga berkumpul di sanggar untuk mendengarkan hiburan dari siaran radio. Kala itu, radio hanya dimiliki oleh kalangan tertentu.
Sudaryati menuturkan Trubus merupakan sosok ayah yang hangat dengan keluarga. Ia biasa membersihkan rambut anak-anaknya dari kutu sambil bercerita. "Dibandingkan dengan Ibu, kami lebih dekat dengan Ayah," ucapnya.
Cerita kehangatan keluarga Trubus terhenti ketika prahara politik 1965 terjadi. Rumah keluarga Trubus disegel dan diawasi tentara. Di pintu utama tertempel kertas putih bertulisan "Dalam Pengawasan Kodim 0732". Meski dalam pengawasan, kata Sudaryati, hampir seluruh isi rumah, dari perabotan sampai perpustakaan, dijarah. Mulanya masih terdapat puluhan lukisan Trubus tersimpan di gudang. Tapi kemudian lukisan-lukisan itu pun raib.
Awal September lalu, Tempo menyambangi rumah itu. Rumah beratap limas tempat berkarya seniman Trubus masih berdiri kokoh di Dusun Purwodadi, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bangunan bercat putih itu terletak dua kilometer arah utara Rumah Sakit Grhasia. Bangunan menggunakan kerangka kayu jati.
Pohon kelengkeng berdaun rimbun tumbuh di halamannya. Keluarga Trubus tinggal di rumah itu pada 1952-1969. Rumah tersebut sekarang dimiliki oleh Sutarto, pensiunan guru sekolah dasar di Ngaglik, Sleman. Menurut putri Trubus, Sri Yani Murbaningsih, ibunya menjual rumah itu. "Ibu saya harus menghidupi sepuluh anak yang masih kecil," ujarnya di rumahnya di Pogung Lor, Sleman, 2 September lalu.
LAHIR di Wates, sekitar 30 kilometer barat daya Yogyakarta, pada 24 April 1924, Trubus Sudarsono dikenal sebagai pelukis realis dan naturalis kawakan. Dia juga pematung yang andal. Ia meninggalkan jejak karya yang tersebar di banyak tempat di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta.
Trubus banyak terlibat dalam proyek seni pesanan Presiden Sukarno. Ada yang dikerjakan sendirian, seperti patung Si Denok di Istana Bogor, ada pula yang digarap bersama seniman lain. Misalnya, bersama Edhi Sunarso dan Henk Ngantung, ia menggarap patung Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Padahal pria yang berasal dari keluarga petani miskin itu tak tamat sekolah dasar. Trubus belajar melukis dan membuat patung secara otodidaktik. "Trubus banyak berguru kepada para perupa di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM), seperti Affandi dan Sudarso," kata Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang juga pernah menjadi pengurus SIM cabang Yogyakarta.
Seperti diketahui, Daoed pula yang mengajak Trubus masuk SIM, perkumpulan seni lukis yang dipimpin Sudjojono dan berpusat di Solo. Itu dimulai ketika beberapa kali Daoed melihat ada seorang anak muda serius memperhatikan kegiatan melukis di sanggar SIM, yang menempati sebuah rumah di Jalan Pekapalan, Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. "Dia anak desa berkulit hitam dan bekerja menyiapkan makanan kuda penarik andong," tutur Daoed saat ditemui Tempo di rumahnya di kawasan Jalan Bangka, Jakarta.
"Saya saat itu bertanya, 'Mas tertarik melukis?'" ujar Daoed mengenang kejadian pada 1946 tersebut. Trubus pun menjawab, "Jangan panggil mas, panggil Trubus saja. Saya mau melukis tapi saya tidak punya kertas," katanya.
Akhirnya, Trubus belajar melukis di sanggar. Karena sangat berbakat, ia pun kemudian diusulkan menjadi anggota sanggar SIM. Sebagai anggota, dia berhak mendapat uang saku dan perlengkapan melukis. Menurut Daoed, lukisan Trubus berciri realis. Jika melukis figur, anatominya sangat bagus, tidak kaku. Warnanya cenderung gelap seperti lukisan karya Rembrandt, perupa termasyhur Belanda.
Pada 1947, Trubus keluar dari SIM dan kemudian bergabung dengan sanggar Pelukis Rakjat, yang didirikan oleh Hendra Gunawan. Perupa Edhi Sunarso mengenal Trubus pertama kali pada 1950-an. Saat itu, mereka sama-sama tinggal di sanggar Pelukis Rakjat. "Saya dan seniman lain tinggal di loteng, sedangkan Trubus bersama anak serta istrinya tinggal di bawah," kata Edhi, kini 81 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya di Jalan Kaliurang, Yogyakarta, pada 3 September lalu.
Menurut Edhi, Trubus memiliki tinggi badan sekitar 160 sentimeter. Tubuhnya tak gemuk, juga tak kurus. Secara fisik, ia deglok (sedikit pincang ketika berjalan). "Kaki kirinya, meski tak terlalu kentara, lebih pendek dibanding kaki kanannya," ujarnya.
Trubus, tutur Edhi, adalah sosok sederhana dan pendiam. Meski mereka tinggal serumah, tegur sapa dan obrolan berlangsung kaku dan dingin. "Kalau sudah melukis, dia tak mau diganggu, bahkan oleh anak dan istrinya," ujarnya. Saat Akademi Seni Rupa Indonesia berdiri pada 1950-an, Trubus diminta mengajar. "Gaya mengajar Trubus tegas, keras, dan disiplin," kata pelukis Djoko Pekik, 76 tahun, yang sempat menjadi murid Trubus di ASRI.
Trubus pertama kali mengajari Pekik menggambar bentuk, di antaranya kendi, kain, dan botol. "Tangannya cekatan sekali saat mengajarkan gambar bentuk, termasuk cara membuat benda menjadi meling atau mengkilat," ujar Pekik.
Selain di dalam kelas, ia kerap bertemu dan berbincang dengan Trubus di sanggar seni, baik di sanggar Pelukis Rakjat maupun sanggar Bumi Tarung—tempat Pekik berkiprah. Menurut Pekik, sebagai seniman, pembawaan Trubus serius ketika mengobrol. Dia berbicara yang penting-penting saja. "Trubus enggak suka guyon. Dia itu mbecucu kalau sedang ngobrol," katanya.
Menurut Pekik, di sanggar seni itulah Trubus berpolitik. Trubus, yang juga anggota Partai Komunis Indonesia, aktif membahas seni beraliran kiri bersama sejumlah seniman di sanggar. Ia sering berbicara soal lukisan bertema buruh dan petani. "Kami ngobrol bagaimana merasakan jerih payah kehidupan buruh tani. Mereka tertindas atau tidak," ujarnya.
Ketika peristiwa 1965 meletus, Trubus aktif bergerilya karena dikejar-kejar tentara. Dia memantau informasi dan perkembangan politik lewat radio. Ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain ketika tentara bergerak. Trubus mengumpulkan sejumlah tokoh Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani di lereng Merapi. Menurut Pekik, saat berada di lereng Merapi itulah akhir riwayat petualangan gerilya Trubus.
Setelah ditangkap di lereng Merapi, Trubus—sejauh informasi yang diterima Pekik—dibawa ke kantor penguasa perang di depan Pasar Kranggan, barat Tugu Yogyakarta. Kantor itu dulu merupakan kantor perwakilan Amerika Serikat. Orang mengenalnya sebagai gedung Jefferson. Ini merujuk pada nama Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson. Setelah itu, tidak ada yang tahu di mana Trubus dieksekusi dan di mana jasadnya. "Tidak ada yang tahu kuburan Trubus. Waktu itu semua orang takut. Tidak ada jejaknya," kata Pekik.
Dari seorang tentara yang dikenal Pekik saat menjadi tahanan politik pada 1965-1972, ia memperoleh cerita bahwa Trubus dieksekusi Oktober atau November 1965. "Menurut sang tentara, dari kalangan pelukis, Trubus paling dicari karena ia sangat kelihatan sebagai anggota PKI yang kuat pada 1963-1965," ujar Pekik.
Menurut Pekik, sebelum 1963, Trubus memang bukan orang yang aktif di politik. Tapi, pada 1963-1965, Trubus vokal dalam agitasi dan propaganda PKI. Dia membangun jaringan menanamkan ideologi komunisme di kalangan seniman. "Sebagai seniman, ia tidak aktif dalam rapat akbar PKI, tapi di sanggar seni dan komunitas seniman," katanya.
Namun cerita Pekik itu dibantah oleh anak Trubus, Sri Yani Murbaningsih. Menurut Sri Yani, pada 1965, ayahnya memang ditangkap tentara. Tapi dia tidak ditangkap bersama sejumlah tokoh PKI Yogyakarta. "Bapak saya itu orangnya lugu. Bapak tidak pernah mengumpulkan orang," ujar Sri Yani, kini 59 tahun.
Daoed Joesoef juga menampik kabar bahwa Trubus dibunuh karena giat berpolitik. Menurut dia, Trubus lugu, jujur, serta bisa membedakan mana yang benar dan tepat. Dia juga bukan tipe penjilat. Kepada Daoed, Trubus pernah mengatakan bahwa dia tidak tahu Partai Komunis itu apa, tapi lembaga ini bisa menghargainya sebagai seniman. Karena itu, ia tak yakin Trubus aktif berpolitik.
Daoed sendiri pada 1965 berangkat ke Prancis untuk bersekolah. Sembilan tahun kemudian, saat balik ke Indonesia, ia mampir di Yogyakarta. Di sana dia bertemu dengan Nasjah Djamin, seniman seangkatannya yang sama-sama berasal dari Sumatera Utara. Ia menanyakan kabar Trubus kepada Nasjah.
Nasjah, kata Daoed saat itu, meyakini Trubus masih hidup. Nasjah yakin karena dia sangat dekat dan sering tidur di tempat Trubus. Salah satu alasan Nasjah adalah saat itu ia melihat banyak lukisan baru Trubus beredar. "Aku tidak percaya karena aku lihat masih beredar lukisan-lukisan Trubus. Dia klandestin karena ia butuh duit," ucap Daoed menirukan ucapan Nasjah.
Tokoh Lekra Jawa Tengah, Hersri Setiawan, 77 tahun, yang pernah mendekam di Pulau Buru pada 1969-1978, menepis rumor bahwa Trubus masih hidup. Trubus pasti sudah dihabisi, tapi ia heran kenapa mesti Trubus. Hersri menyebutkan Trubus lelaki yang sangat Jawa. "Makanya saya heran kok dibunuh," ujarnya.
Menurut Hersri, Trubus tak ikut menjadi tahanan politik yang dibawa ke Pulau Buru. "Tidak ada di sana. Kalau ada pasti orang-orang di semua unit tahu," katanya.
Kesaksian pematung Edhi Sunarso lain lagi. Ketika prahara politik 1965, Edhi mendengar Trubus tertangkap tentara dan dipenjara di Cebongan, Sleman. Dia tahu Trubus punya penyakit wasir. Melalui keluarga Jatmoko, seorang mahasiswanya yang dikurung di penjara yang sama, Edhi kerap menitipkan obat untuk Trubus. Di titipÂan obat itu, Edhi juga menyertakan tembakau. "Dia perokok berat," ujarnya.
Lima-enam kali Edhi mengirim obat dan tembakau—titipan terakhir dikembalikan. Keluarga Jatmoko mengatakan Trubus sudah tak lagi ditahan di penjara itu. Menurut kabar, Trubus "diambil" dari sel pada malam hari.
Hingga kini keberadaan Trubus memang masih misterius. Menurut Sudaryati, setelah pertemuan di belakang kantor Kecamatan Pakem, 48 tahun silam, ia rajin mencari ayahnya di penjara dan beberapa rumah tahanan di Yogyakarta. Namun pencarian itu tak membuahkan hasil. Beberapa kali terdengar info ada orang yang pernah melihat Trubus di Bantul atau di Kaliurang, tapi setelah dicek ternyata tak ada. Keluarga yakin Trubus ditahan tentara di tempat yang berpindah-pindah. Trubus bahkan pernah ditahan di Jakarta.
Pernah pula datang kabar pada pertengahan 1970-an dari salah seorang penunggu rumah Trubus di Jalan Kaliurang, Yogyakarta (Trubus memiliki rumah lain tepatnya di kawasan Pandega, Jalan Kaliurang Kilometer 5,7). Sang penjaga melihat suatu malam Trubus datang. Namun Trubus kecewa ketika melihat yang tinggal di rumahnya adalah orang lain dan mengetahui istrinya ternyata telah menikah lagi.
Pada 1976, Sudaryati bekerja di Keuskupan Agung Semarang. Dia bekerja memberi pelayanan kepada para anggota keluarga tahanan politik. Suatu ketika dia berspekulasi mengirim surat ucapan selamat kepada ayahnya, yang berulang tahun pada 24 April, ke kamp penahanan di Pulau Buru dengan harapan surat itu akan dibalas jika ternyata Trubus ditahan di sana. Namun surat tersebut tak pernah mendapat jawaban.
Suatu hari salah satu romo di Keuskupan Agung Semarang, Yan Mulder, memanggil Sudaryati. Dia mengabarkan bahwa Romo Gregorius Utomo dari Keuskupan Agung Jakarta menceritakan Trubus seniman dari Yogya masih hidup dan sedang mengerjakan sebuah relief di rumah salah seorang jenderal di Jakarta. Romo Yan berjanji akan membantu mempertemukan Sudaryati dengan ayahnya di Jakarta. "Bahkan Romo Yan telah memintakan izin cuti untuk saya kepada bruder," tutur Sudaryati.
Namun, beberapa hari kemudian, Romo Yan mengatakan bahwa ia salah. Trubus yang ditemukannya adalah Trubus lain. Sudaryati menyimpulkan Romo Yan sengaja menutupi keberadaan Trubus. "Nama Trubus mungkin banyak, tapi jika Trubus seniman Yogya hanya ayah saya," ujarnya.
Lalu saat gelombang terakhir pemulangan tahanan politik dari Pulau Buru, yang dipusatkan di Wisma Pandanaran, Semarang, Sudaryati dan adiknya datang meski tak mendapat undangan. Satu per satu tahanan yang dibebaskan dipanggil. Nama Trubus Sudarsono tak kunjung disebut. Hingga melalui pengeras suara, petugas berseru, "Nama terakhir: Pramoedya Ananta Toer."
Mendengar seruan itu, Sudaryati dan adiknya, Sri Sulistyantuti, menangis meraung-raung sambil berpelukan. "Bapak tidak ada, Bapak tidak ada." Meski tak pernah menemukan titik terang keberadaan sang ayah, Sudaryati yakin Trubus, yang kini berusia sekitar 90 tahun, masih hidup. "Insting saya mengatakan Bapak masih hidup," katanya.
Sudaryati pernah mendengar cerita, saat terjadi tragedi 1965, Sukarno memerintahkan anak buahnya menyelamatkan para seniman. Sukarno beralasan seniman adalah aset bangsa yang susah dicetak, berbeda dengan insinyur yang mudah dicetak.
Yang jelas, jika ternyata Trubus sudah meninggal, kini Sudaryati bersama semua saudaranya serta 25 cucu dan 5 cicit telah merelakannya. Satu hal yang mengganjal, hingga kini tak ada pernyataan resmi dari pemerintah tentang nasib seniman Trubus, yang karyanya masih menghiasi Istana Negara.
Nurdin Kalim, Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono (Jakarta), Sunudyantoro, Shinta Maharani, Anang Zakaria, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo