Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Wartawan Jangan Ditahan karena Tulisan"

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski berkacamata baca, wajahnya tetap tampak garang dengan kumis tebal melintang. Sofyan Djalil, pria kelahiran Aceh itu, sigap menyendok semangkuk kolak pisang sebagai pembuka puasa.

Persis di atas meja di depannya, terhidang ayam presto, udang sambal balado, sambal goreng ayam, rendang, juga serenceng anggur hijau. Menu komplet ini mengisi ruang makan kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) nan luas. Tentu saja ini menjadi menu mewah bila dibandingkan dengan ketika Sofyan Djalil masih menjadi pengelana di Jakarta pada 1976. Saban hari ia menumpang hidup di lingkungan Masjid Menteng Raya, Jakarta Pusat, tak jauh dari kantor sekretariat Pelajar Islam Indonesia (PII).

Setahun menganggur sebagai "James" alias penjaga mesjid, aktivis PII itu memperoleh pekerjaan di Kejaksaan Agung RI. Tugasnya tak jauh beda: membantu mengurus masjid di Pusat Pendidikan dan Latihan Kejaksaan Agung. Setahun kemudian, ia bertekad mengambil kuliah sore di Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk bidang studi hukum bisnis hingga berhasil memperoleh gelar kesarjanaan pada 1983.

Setamat kuliah, ia menjadi peneliti pada Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), Departemen Keuangan. Ketika CPIS berencana menyekolahkan beberapa orang penelitinya ke luar negeri pada 1985, namanya ikut terpilih dari sekian banyak peminat. Sejak itulah, pengalaman hidup ke Amerika Serikat dijalaninya hingga gelar doktor diraihnya dari Tufts University, Massachusetts, pada 1993.

Latar belakang pendidikan dan aktivitas pria yang kini berusia 51 tahun ini memang tak berdekatan dengan dunia pers, tapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempercayakan jabatan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, disingkat Kominfo, kepadanya. Pengalamannya nampang di layar kaca dan halaman media cetak hanyalah ketika menjadi Asisten Kepala Badan Pembinaan BUMN/Staf Ahli Menteri Negara BUMN dari 1998-2000. Kemudian waktunya banyak dihabiskan dengan mengabdi sebagai dosen di sejumlah universitas terkemuka di Indonesia, direktur perusahaan konsultan, komisaris, hingga menjadi sukarelawan tim kampanye nasional pasangan SBY-Kalla.

"Saya mendukung kebebasan pers," katanya, menjawab pertanyaan mengapa ia menerima jabatan yang ditawarkan Presiden. Meski kini menjadi birokrat, ayah tiga anak ini tetap memiliki pandangan yang menyejukkan tentang kebebasan pers dan media penyiaran di Indonesia. Untuk lebih mengetahui pelbagai pandangan dan gagasannya perihal dunia pers, wartawan Tempo Nurdin Kalim, Rommy Fibri, dan fotografer Hendra Suhara melakukan perbincangan di kantornya, dua pekan silam. Berikut petikannya:


Apa beda fungsi kementerian Anda di era Presiden Yudhoyono dibandingkan kabinet sebelumnya?

Presiden Yudhoyono menilai, selama kepresidenan yang lalu, kementerian ini kurang dioptimalkan, sehingga program-program pemerintah yang bagus tidak tersosialisasi ke masyarakat. Nah, ke depan, saya bisa berperan sebagai juru bicara pemerintah, komunikator antara pemerintah dan masyarakat, juga kebijakan kehumasan pemerintah. Intinya, kami memiliki tugas penting membuat citra Indonesia bagus di mata internasional.

Saya akan menerapkan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, antikorupsi, dan antinepotisme dalam mengelola kementerian ini. Kami menyadari hukum harus tegak di Indonesia. Masyarakat harus menerima transformasi nilai-nilai yang baik. Hasilnya, kita akan mencapai masyarakat yang lebih religius, modern, tapi lebih toleran.

Bagaimana Anda menilai kebebasan pers saat ini?

Prinsipnya, kebebasan pers adalah satu hal yang tak perlu dipersoalkan. Banyak segi positif dari kebebasan pers. Dia menjadi teman bagi terciptanya pemerintahan yang bersih. Tapi, kebebasan pers juga bisa kebablasan. Ada idiom, kalau pers memiliki kebebasan, dia juga harus bertanggung jawab.

Maksudnya, pers Indonesia layak dihukum?

Ini yang harus kita lihat dengan jernih. Saya sepakat ada hukuman buat pers yang melanggar aturan, tapi dendanya harus mempertimbangkan asas kehidupan perusahaan. Jangan sampai vonisnya justru membangkrutkan perusahaan pers yang bersangkutan.

Berapa plafon hukuman denda yang menurut Anda masuk akal?

Ini harus didiskusikan banyak pihak. Sebenarnya gugatan denda semacam ini tidak kita perlukan kalau pers sudah baik. Ini kan satu bentuk ancaman. Yang lebih penting, tingkatkan kredibilitas dan kemampuan jurnalistik. Hukum diperlukan jika orang sudah tidak bisa lagi diimbau.

Anda melihat pers Indonesia belum peduli pada profesionalisme?

Pers seolah tak ambil pusing dengan peningkatan profesionalisme. Tak jarang mereka yang bukan dididik menjadi wartawan, atau tidak pernah punya latar belakang pengetahuan jurnalisme, bekerja menjadi jurnalis. Mereka bekerja tanpa memperhatikan langkah-langkah profesional. Pers masih sering melakukan kesalahan dalam pemberitaan. Ada pula yang hanya mengumbar pornografi sehingga merusak jiwa masyarakat.

Kita harus cari keseimbangan antara melindungi publik dan melindungi pers. Jadi, pers harus melakukan kontrol ketat. Saya pernah punya pengalaman menjadi ombudsman di sebuah media nasional ternama. Selalu saya beri kritik, tapi selalu saja kesalahan terjadi.

Anda menyarankan setiap pers meningkatkan profesionalisme dengan membentuk ombudsman?

Ombudsman bisa dipakai sebagai salah satu cara. Tapi dia hanya memberikan pertimbangan saja. Kalau bisa, pers jangan sampai membuat kesalahan penulisan. Apalagi jika berita itu berisi fitnah dan informasi tidak benar.

Pers seharusnya bukan sekadar bikin duit, melainkan fungsi nubuwah (kenabian). Kalau hanya mikir duit, pers tak lebih dari sekadar pelacur. Kita harus menghargai masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai kebajikan. Pers harus bisa melakukan pencegahan kerusakan nilai-nilai masyarakat daripada menjadi penyebabnya.

Bukankah UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 sudah memberi jaminan ancaman denda bagi pers? Ini membuktikan pers ingin serius bekerja secara profesional.

Pers yang baik dan profesional akan sedikit melakukan kesalahan. Bentuknya ada dua: hanya kelalaian biasa atau dengan kesengajaan. Dalam hukum, kelalaian dan kurang hati-hati pun tidak diperbolehkan. Inilah gunanya UU Pers. Orang lalai pun patut dihukum supaya dia tidak berbuat kesalahan atau lalai lagi. Ini merupakan bentuk pencegahan.

UU Pers, termasuk UU lain yang keluar pada 1999, bersemangat antikemapanan. DPR kita termasuk paling pro-duktif dalam kurun tersebut. Akibatnya, banyak lubang yang bisa kita temukan di UU Pers.

Bukankah sudah ada puluhan pasal di KUHP dan UU Pers yang menyediakan hukuman bagi jurnalis yang lalai?

Kita harus jujur, ketentuan-ketentuan pidana kita sudah kedaluwarsa. Dulu, KUHP dipakai penjajah untuk menghantam pejuang kemerdekaan Indonesia. Nah, kalau semangatnya begini, saya sa-ngat tidak setuju. Sebaiknya pasal-pasalnya dihapus dan tidak usah dipakai. Bahkan Presiden Yudhoyono sudah menyatakan agar pasal-pasal itu tidak dipakai. Yang perlu dipikirkan adalah apa alternatifnya.

Nah, sebaiknya perlu revisi atas berbagai ketentuan yang termaktub dalam UU Pers. Ada hukuman bagi pers yang lalai, tapi dendanya tidak sampai mematikan industri pers itu sendiri.

Apakah denda Rp 500 juta seperti yang termaktub dalam UU Pers dirasa belum cukup?

Kalau seseorang ingin menghancurkan musuhnya melalui pers, dia tinggal mengumpulkan duit sebesar itu. Berikutnya, orang itu bangkrut, rusak, bak mati suri. Nah, orang yang melakukan konspirasi tersebut segera beroleh keuntungan. Kemungkinan seperti ini harus dipikirkan.

Jadi, angka dendanya tidak usah dicantumkan?

Terserah. Tapi ada efek buruknya juga. Jika seorang jurnalis melakukan kelalaian, kemudian medianya divonis pailit, apakah ini tidak lebih mengerikan bagi buruh yang bekerja di situ?

Bagaimana dengan kriminalisasi wartawan?

Wartawan jangan ditahan karena tulisannya. Tapi UU Pers mesti mengakomodasi dan mampu menghambat orang-orang yang lalai tadi. Jika UU terlalu lembek dengan menetapkan denda yang sangat rendah, pers bisa digunakan oknum-oknum tertentu untuk menghancurkan musuh bisnis maupun musuh politik. Jurnalis juga bukan malaikat.

Anda mempercayai pers sebagai mesin pembunuh bagi orang lain?

Ini memang masih wacana. Tapi, amat masuk akal jika ada orang yang mempergunakan pers untuk menghantam orang lain. Ada jurnalis yang punya itikad tidak baik. Jika hukumannya terlalu ringan, ini berarti ketidakadilan. Sedangkan jika hukumannya terlalu berat, perusahaannya bangkrut dan membuat pekerja lain menjadi pengangguran. Ini juga tidak adil.

Apakah Kementerian Kominfo akan mengajak semua pihak untuk melakukan revisi UU Pers?

Tidak harus begitu. Kami selaku pemerintah ikut saja pada masyarakat luas. Kami hanya berperan sebagai moderator. Peran serta masyarakat lebih diperlukan.

Soal UU Penyiaran, masyarakat masih kurang percaya pada Kementerian Kominfo mengingat di kabinet sebelumnya terjadi tarik ulur pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Media Penyiaran.…

Soal UU Penyiaran, ini lain lagi. Saya sudah bertemu dengan para pemimpin redaksi media penyiaran. Kami sedang melakukan penjajakan untuk membenahi dialog yang kemarin agak tersendat.

Di luar itu, UU Penyiaran ini memang masih banyak kekurangan. Temanya banyak, tapi ingin diakomodasi dalam satu UU. Soal persentase kepemilikan saham, isi materi, komponen lokal, dan seterusnya. Kami menyadari harus ada diskusi lagi dengan semua pihak. Masih banyak pasal yang bolong.

Kira-kira kapan peraturan pemerintah itu akan siap?

Saya siap bertemu masyarakat penyiaran untuk membicarakan hal ini. Hingga akhir Desember, saya harapkan PP sudah selesai.

Masyarakat penyiaran menolak ke-kuasaan perpanjangan izin dipegang pemerintah, sebab dikhawatirkan masalah perizinan bisa menjadi alat politik kekuasaan?

Saya juga tidak setuju kalau pemerintah menyalahgunakan kekuasaan. Makanya, untuk mencabut izin diperlukan syarat-syarat yang sangat ketat. Bahkan secara prinsip saya menolak adanya pencabutan izin.

Kenapa harus pemerintah yang melakukan verifikasi, dan bukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)?

Tugas pemerintah untuk melindungi publik. Sementara KPI, dia sudah mengajukan diri sebagai badan regulator melalui Mahkamah Konstitusi (MK), tapi ditolak oleh MK.

Bukankah pemerintah juga berpotensi menyalahgunakan kekuasaan?

Betul. Makanya, kita berbagi kekuasaan dengan mencantumkan persyaratan yang ketat jika akan mencabut izin frekuensi. Di Amerika, hal semacam ini tidak menjadi masalah.

Kalau dibandingkan dengan Amerika, kita masih jauh tertinggal.…

Itu karena kita terbelenggu oleh tradisi politik yang lama. Kalau pemerintahan yang bersih segera tercipta, kita tidak perlu takut lagi kepada pemerintah. Masyarakat pers tidak perlu trauma.

Masyarakat menduga Presiden Yudhoyono masih tipis telinga saat mendengar kritik. Lantas, ketika marah maka Presiden akan menggunakan tangan menteri untuk mengekang kebebasan pers?

Soal marah, setiap orang punya hak marah. Tapi apa kemudian akan menggunakan tangan kekuasaan untuk mengekang pers? Itu karena kita berpikir pemerintah masih pegang kendali kekuasaan seperti dulu. Sekarang situasinya sudah berbeda. Masing-masing kita punya peran penting.

Penyebab UU Pers tidak direvisi pada parlemen lalu, karena masyarakat pers kurang percaya pada anggota parlemen. Mereka diduga punya agenda politik membungkam pers.

Makanya, jika bola salju pemerintahan bersih yang dicanangkan SBY berhasil, itu akan menjadi garansi bagi kita semua. Semoga parlemen yang sekarang akan berbeda. Kenapa UU Penyiaran juga tidak direvisi pada masa kemarin, banyak yang beralasan karena "biayanya" terlalu mahal.


Sofyan Abdul Djalil

Lahir:

  • Peureulak, Aceh Timur, 23 September 1953

Pendidikan:

  • S1, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (1983)
  • Master Bidang Studi Public Policy, Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika (1989)
  • Master Bidang Studi International Economic Relation, Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika (1991)
  • Doktor Bidang Studi International Financial and Capital Market Law and Policy, Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika (1993)

Karier:

  • Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung (2001-sekarang)
  • Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (2000-sekarang)
  • Dosen Fakultas Ekonomi dan Program Magister Manajemen, Universitas Indonesia (1993-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus