Perjalanan dari kamar periksa ke ruang tahanan Kejaksaan Agung makan waktu beberapa menit. Cuma beberapa menit. Namun, masa sesingkat itu melahirkan sebuah perenungan panjang bagi pengusaha konglomerat Mohamad "Bob" Hasan. Raja kayu itu tiba-tiba dipaksa menghayati bahwa ada ruang-ruang kehidupan lain di luar istana seluas dua hektare dengan gerbang otomatis di kawasan Jalan Senjaya, Jakarta Selatan—tempat kediamannya.
Renungan lain: betapapun pernah kaya dan berkuasa, dia tak selalu mampu mengendalikan sendiri hidupnya: mobil mewah yang mengantar dia ke Kejaksaan Agung tidak bisa menjemputnya saban kali ia perintahkan, tak ada lagi ruang olahraga, kamar berlantai marmer, atau para pelayan.
Namun, yang paling mencengangkan boleh jadi ini: kekayaan yang dia kumpulkan dari hutan-hutan tropis Indonesia selama Soeharto berjaya ternyata tak cukup bertenaga untuk membengkokkan gembok hitam besar yang mengunci ruang tahahannya. Peristiwa pada Selasa pekan silam itu, secara radikal, mengajarkan Bob bahwa uang, kekuasaan, dan kemewahan bisa menjadi sedemikian fana dan kehilangan digdaya. Ini rahasia hidup lama—tapi bisa jadi tak mudah dipahami anak angkat Jenderal Gatot Subroto itu. Mengapa?
Kedigdayaan adalah ciri Bob Hasan yang tumbuh bersama dengan tahun-tahun keemasan Orde Baru. Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia ini dikenal sebagai perpanjangan tangan bisnis Cendana. Namun, sumber TEMPO, seorang pengusaha HPH, melukiskan: "Saya tidak melihat tekanan Cendana, melainkan tekanan Bob yang mengatasnamakan Keluarga Cendana."
Ia mencontohkan dalam rapat-rapat Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo), ajudan Bob biasa menginterupsi, mengabarkan telepon Presiden Soeharto. Setelah bertelepon, Bob mudah berkata, "Ya, sudah. Pokoknya diselesaikan. Saya mau main golf dengan Bapak Presiden." Dan semua orang terhenyak dalam rasa hormat. Kedekatan Bob dan sang Presiden terjalin dari lapangan golf hingga perairan Teluk Jakarta. Saban Pak Harto berkenan memancing, dapat dipastikan, Bob berada di antara deretan penggembira. Hubungan ini melahirkan rasa takut dan kagum di kalangan kawan dan lawan Bob.
Namun, rasa kagum bukan satu-satunya laba yang dipetik Bob dari hubungannya dengan Cendana. Juga kekuasaan. Para Menteri Kehutanan bisa dibuat gemetar bila Bob sedang dilanda hajat bisnis. Lalu soal uang? Sumber TEMPO menyebutkan Apkindo adalah salah satu ladang tempat ia memetik fulus. Pungutan yang ditariknya dari setiap ekspor lapis kayu mengalirkan dana sekitar US$ 80 juta per tahun. Ditotal-total, menurut sang sumber, selama 22 tahun terakhir, Bob meraup US$ 2—3 miliar dari sektor perkayuan Indonesia.
Uang dan kekuasaan mengantar Bob ke sejumlah kemasyhuran. Bos Grup Kalimanis ini menjabat Presiden Asosiasi Atletik Amatir, anggota Komite Olimpiade Internasional. Ia pernah mendapat Plaque of Merit dari Federasi Atletik Amatir Internasional karena memajukan atletik di kawasan Asia. Dan belum lama ini, bekas Menteri Perdagangan dan Perindustrian ini (kabinet Soeharto yang terakhir) terpilih sebagai Ketua Umum PB Persani (Persatuan Senam Indonesia). Bob Hasan juga mengoleksi gelar profesor dari Universitas Negara Bagian North Carolina.
Siapa sesungguhnya Bob Hasan? Ia lahir pada 24 Februari 1931 dari keluarga juragan tembakau di Ngadirejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Soetedjo, pria Jawa yang memperistri wanita Tionghoa. Menurut kerabat dekatnya, Bob tidak pernah punya nama Cina. Nama The Kian Seng, yang beredar selama ini, ternyata cuma rekaan—entah siapa yang memulai. Yang jelas, sejak bayi, Jenderal Gatot Subroto, sahabat karib ayahnya, membesarkan Bob.
Garis nasib lantas membawa Bob ke seorang jenderal lain yang maha berkuasa: Soeharto. Di bawah restu dan perlindungan Soeharto, bintang Bob terus bersinar. Ketika sang Presiden rontok dari panggung kekuasaan pada Mei 1998, Bob masih saja tak tersentuh, hingga kasus Mapindo menyeret juragan besar kayu lapis ini ke balik jeruji tahanan, pekan lalu.
Sejak pekan lalu pula, Bob Hasan seolah terlempar ke masa yang tak pernah dikenalnya. Di ruang berukuran 3 x 4 meter, pria terkaya di Asia itu melalukan waktu dalam hawa gerah dan bernyamuk. Ia menyantap makanan rantang bermenu sederhana, mencuci perabot makannya sendiri, dan menyimpannya di meja kecil di samping dipan kayu. Saban pagi, ia merapikan tempat tidurnya, sebelum berturas di kamar mandi yang dipakai bersama dengan tahanan lain. Sisa hari ia gunakan untuk membaca, salat, berzikir, dan merenung di balik tembok tak berjendela. Sebuah tembok yang mengajarkan lagi rahasia hidup lain kepada Bob Hasan: seperti bumerang, kekuasaan selalu bisa berbalik menyerang.
Hermien Y. Kleden, I G.G. Maha Adi, Dwi Arjanto, Wens Manggut, Karaniya Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini