Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mohamad Bob Hasan:"Saya Ingin Keluar dari Tahanan"

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konglomerat yang pernah mencicipi jabatan menteri pada akhir masa Orde Baru, Mohamad Hasan, 69 tahun, kini terjerembap di "jurang". Orang kuat bekas tangan kanan Soeharto, mantan presiden RI, itu dijebloskan ke Rumah Tahanan Kejaksaan Agung di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Bob, demikian ia biasa dipanggil, kini berstatus tersangka dengan tuduhan korupsi senilai US$ 87 juta dalam kasus pemetaan hutan oleh PT Mapindo Parama, perusahaan bidang survei dan pemetaan udara. Seratus persen saham perusahaan itu milik Bob.

Air muka Bob sedingin marmer sore itu, ketika pertama kali ia memasuki rumah tahanan. Ia hanya diantar oleh Andi Darussalam Tabussala, anak angkatnya, dan dua petugas kejaksaan ketika kakinya menginjak ruang tahanan. Seolah siap menyongsong kehidupan baru yang getir, Bob masuk ke hotel prodeo dengan membawa sekoper baju, celana, sarung, buku, dan makanan kesukaannya. Ketika Andi membawakan buku golf, olahraga favorit Bob semasa jaya untuk menemani Soeharto, si raja kayu itu menampiknya. Sebagai gantinya, Bob meminta sajadah dan tasbih. "Untuk salat," kata Andi.

Sebagai tersangka tindak pidana korupsi, Bob ditempatkan di ruang bekas Eddy Tansil, terpidana kasus pembobolan Bapindo. Tata letak ruang tahanan itu agak tersembunyi. Jalannya harus melewati lift dan kelokan tangga. Kamar Bob hanya salah satu dari empat ruang tahanan yang ada di situ. Ada sebuah pintu besar terbuat dari jeruji besi terletak di depan pintu masing-masing kamar. Dengan ruang sekecil kos-kosan mahasiswa berukuran 4x3 meter, hawa panas Jakarta otomatis menusuk pori-pori. Apalagi mesin pengatur udara dan kipas angin tak tersedia. Untuk buang hajat dan mandi, blok tahanan itu dilengkapi sebuah kakus berkloset duduk dan wastafel. Tapi ruang itu sepi karena televisi dan radio tidak tersedia.

Selama di tahanan, Bob masih bisa menyantap makanan kesukaannya: nasi putih, sayur asem, tempe, dan kerupuk. Itu dibawa para pembesuk. Tidur? Tak masalah. Kamar itu dilengkapi sebuah ranjang kayu dengan kasur kapas yang dibalut seprai berwarna putih. Juga bila ingin berbaring di atas bantal kecil sembari membaca, sebuah lampu meja berkekuatan 25 watt tinggal klik. Ketika ditemui Setiyardi dari TEMPO untuk wawancara selama 25 menit, Jumat malam pekan lalu, wajah Bob tampak tertekan. Sebuah sajadah berkompas arah kiblat tergelar di kamarnya. Bob, yang waktu itu mengenakan kaus oblong dan bersarung, menolak dipotret. "Keadaan saya seperti ini. Tidak baik untuk difoto," katanya. Berikut kutipan wawancara singkat itu:


Anda ditahan karena kasus proyek pemotretan Mapindo. Bisa diceritakan masalahnya?

Proyek pemotretan itu merupakan proyek penting bagi masa depan kehutanan Indonesia, bahkan masa depan dunia. Kita harus menjaga sebaik-baiknya hutan virgin (perawan) yang ada di Indonesia. Kita bertanggung jawab kepada dunia. Bukan tugas yang ringan. Karena itu, pihak Asosiasi Pengusaha Kayu Indonesia, bekerja sama dengan Mapindo, melaksanakan proyek pemotretan tersebut secara profesional.

Apa tujuan pemotretan?

Pemotretan itu untuk menyusun rencana kerja tahunan Departemen Kehutanan (Dephut), selain untuk mencegah praktek-praktek penebangan hutan secara liar. Bisa Anda bayangkan, proyek ini memiliki nilai strategis dan tidak mungkin diserahkan kepada tiap-tiap pengelola hak pengusahaan hutan (HPH). Selain tidak efisien, tiap pemegang HPH pasti tidak akan menyerahkan hasil pemotretan bila ternyata hutan mereka telah gundul. Siapa sih pengusaha HPH yang mau dituding sebagai orang yang menggunduli hutan?

Anda menekan pihak Dephut untuk memperoleh proyek itu?

Saya tidak tahu cara menekan pihak Dephut dan tidak pernah melakukan praktek-praktek seperti itu. Juga bukan karena saya dekat dengan Soeharto.

Proyek itu bernilai ratusan juta dolar AS. Kok, dengan mudah jatuh ke tangan Anda?

Mungkin karena kami memiliki teknologi dan kemampuan.

Kabarnya Mapindo tidak memiliki alat-alat pemotretan?

Ah, mana mungkin. Kami memiliki peralatan, antara lain komputer dan alat-alat robotik yang bernilai miliaran rupiah.

Berapa nilai investasi Mapindo?

Wah, miliaran rupiah. Tentu saya tidak hafal angkanya.

Menurut Sekjen Dephut Suripto, Mapindo hanya menjadi "makelar", sedangkan yang mengerjakan proyek tersebut orang-orang Bakosurtanal?

Tidak benar. Karena proyek ini sulit, Mapindo mempekerjakan sekitar 100 orang tenaga ahli dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Tanpa bantuan mereka, Mapindo memang tidak bisa membuat interpretasi mosaik, interpretasi kontur, juga interpretasi vegetasi.

Dikerjakan sejak 1992, mengapa proyek itu sekarang belum tuntas?

Proyek itu masih berlangsung. Bukan proyek yang mudah, pemotretan itu harus dilakukan terus-menerus dengan telaten. Proses pemotretan tidak akan berhasil jika cuaca berawan dan saat hujan.

Mengapa molornya begitu lama?

Bila ada hambatan seperti awan atau hujan, pesawat akan menunggu hingga cuaca membaik. Saat menunggu, pilot dan tenaga ahlinya akan menganggur. Mereka baru bisa bekerja lagi setelah awan pergi. Nah, hal seperti ini sangat teknis. Sayangnya, orang-orang yang sekarang bicara di Dephut itu enggak ngerti persoalan teknis seperti ini. Akibatnya, saya yang susah, harus masuk tahanan seperti ini. Anda harus bertanya kepada para ahli sehingga Anda akan mengerti kesulitan kami dalam mengerjakan proyek.

Meski belum selesai, mengapa Anda sudah mendapat kucuran dana proyek pemotretan sebesar US$ 328,2 juta?

Jangan tanya soal itu ke saya. Tanya ke pihak departemen (Dephut). Saya tidak tahu-menahu soal angka yang sangat detail. Kalau soal teknis, tanya saja ke pengacara saya.

Beberapa orang, seperti bekas Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, bekas Menteri Kehutanan, dan bekas Sekretaris Jenderal Dephut Oetomo, diduga terlibat dalam kasus Mapindo. Anda memanfaatkan mereka?

Wah, kok saya seperti sangat berkuasa. Sudahlah, untuk hal-hal seperti itu, silakan tanya ke pengacara saya.

Anda menjadi tersangka pertama yang ditahan dalam berbagai kasus di Dephut. Anda merasa jadi tumbal atau dikorbankan?

Dikorbankan? Ah, saya tidak merasa seperti itu.

Bagaimana kondisi di tahanan? Anda puas dengan fasilitas di sini?

Tentu tidak menyenangkan. Ini bukan hotel. Anda harus ingat, ini hotel prodeo. Bagaimana mungkin saya akan puas. Tapi sudahlah, lebih baik saya jalani saja dengan sabar.

Sudah ada keluarga yang berkunjung?

Belum.

Wah, Anda tampak rajin salat lima waktu?

Di sini, apa lagi yang bisa saya kerjakan selain ibadah? Saat ini saya memiliki banyak waktu untuk banyak-banyak berzikir.

Apa yang Anda harapkan dari doa dan zikir itu?

Saya berharap cobaan ini cepat berakhir. Saya ingin keluar dari tahanan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus