Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jeruji Bob Hasan, Jaring Soeharto?

Saham Mapindo ternyata juga dimiliki yayasan Cendana. Akankah penyidikan Bob Hasan menyeret Soeharto dan kroninya?

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKETIKA poros surga dan neraka seperti berputar balik dalam hidup Mohamad Hasan. Selasa pagi pekan kemarin, rumah mewahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, masih menunjukkan siapa dia. Terhampar di lahan dua hektare, istana yang sarat dengan lukisan dan barang antik mahal itu dikitari lapangan golf mini. Dua gerbangnya dijaga ketat empat penjaga galak berpistol. Di situlah mestinya Bob—begitu ia dipanggil—dengan tenang menghabiskan masa tuanya. Tapi pada sore di hari yang sama, hukum menentukan lain. Di usia senjanya kini, 69 tahun, karib Soeharto dan bekas penguasa jutaan hektare hutan itu malah mendekam di sebuah sel pengap 3 x 4 meter, di ruang tahanan Kejaksaan Agung. Siang malam, jeruji besi bergembok yang dikawal tiga sipir mengurungnya. Sebuah sejarah tengah ditorehkan. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama dinanti, seorang lingkaran dalam Cendana akhirnya dapat juga disentuh hukum. Tiga helai surat merah jambu yang diteken Direktur Tindak Pidana Korupsi Chaerul Imam meresmikannya menjadi tersangka kasus korupsi. Melalui PT Mapindo Parama, perusahaan miliknya, Bob diduga telah menyelewengkan uang negara senilai US$ 87 juta—dana reboisasi dan anggaran Departemen Kehutanan—dalam proyek pemetaan hutan dari udara pada kurun 1986-1988. Selasa pagi itu, ditemani Andi Darussalam Tabusala, orang kepercayaannya, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada akhir pemerintahan Soeharto itu kembali menjejakkan kakinya di Gedung Bundar Kejaksaan. Sebelumnya, dalam kasus yayasan Soeharto dan kucuran bantuan likuiditas Bank Indonesia, ia telah bolak-balik diperiksa. Dan selalu lolos. Tapi hari itu berbeda. Sejak berangkat, firasat Bob pun sudah menangkap pertanda tak beres. Di mobil ia mengontak istrinya, Pertiwi Hasan. ''Wi, kelihatannya aku mesti ditahan. Kamu dan anak-anak baik-baik saja, ya," kata Andi menirukan. Suaranya datar, nyaris tanpa ekspresi. Nalurinya memang tajam. Setelah 6,5 jam di ruang pemeriksaan dan menjawab 12 pertanyaan jaksa penyidik, Bob digiring ke sel. Khawatir bisa menghilangkan barang bukti, kejaksaan memutuskan untuk menahannya selama 20 hari. Jelas, mantan salah satu orang terkaya versi majalah Forbes itu tak betah berlama-lama di situ. ''Saya ingin segera keluar," katanya kepada TEMPO (lihat wawancara Bob). Tapi apa mau dikata, jika pengacaranya tak cukup kuat membelanya, menurut ketentuan, penyidik boleh memperpanjang masa penahanan hingga 120 hari. Dan masa-masa penantian Bob niscaya akan lebih panjang jika palu hakim memvonisnya bersalah. Salah-salah, jeruji dingin penjara mesti terus dipandanginya selama 20 tahun. Langkah dramatis kejaksaan ini tak lepas dari andil Soeripto, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan yang beberapa waktu lalu pengangkatannya sempat ditolak. Dia berjibaku membongkar gunungan korupsi di departemennya. Tak tanggung-tanggung, mantan agen Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) ini menjadikan Cendana berikut kroninya sebagai sasaran utama. Begitu duduk di kursinya, ia langsung membentuk sebuah tim penyelidik beranggotakan tujuh orang. Mereka direkrut dari berbagai instansi: Departemen Kehutanan sendiri, Kejaksaan Agung, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta dua intel Bakin. Jaringan sejumlah lembaga swadaya masyarakat pun berdiri di belakangnya. Dan hasilnya membuat jantung banyak ''perambah hutan berdasi" berdebar kencang. Tiba-tiba saja, para saudagar kayu dan pejabat antre minta bertemu dengannya. Upaya penyuapan pun tak henti dilakukan. Belum apa-apa, misalnya, melalui putranya, Soeripto mengaku pernah ditawari seorang bos konglomerat sebuah sedan Mercedes Benz seri terbaru seharga semiliar rupiah. Siapa nama sang penyogok, sayangnya, belum diungkap Soeripto. Yang jelas, para penyuap itu kini gigit jari. Pada akhir Februari lalu, Soeripto menyodorkan setumpuk berkas hasil penyelidikannya ke Jaksa Agung Marzuki Darusman. Kasus Mapindo, yang memiliki bukti awal cukup kuat, berada di urutan teratas. Tujuh orang tim kejaksaan lalu segera menindaklanjutinya. Keterangan penting dari dua saksi kunci—pejabat di Departemen Kehutanan—menjadi faktor penting penjeblosan Bob. Penyidikan lanjutan terus berjalan, saksi kunci terus dicari. Salah satu yang telah menyatakan kesediaannya adalah Letjen Purnawirawan Soedjasmin. ''Dia orang Mapindo," kata Soeripto memastikan. Toh, upaya menyeret si Raja Hutan bukan tanpa halangan. Banyak dokumen penting tiba-tiba raib entah ke mana. Misalnya, setelah dicari-cari, baru dua pekan lalu sebuah bukti penting dapat ditemukan. Dokumen ini adalah surat perintah pembayaran mantan Menteri Kehutanan saat itu, Muslimin Nasution, ke pihak Mapindo senilai US$ 17 juta per Agustus 1998. Padahal, ketika itu mestinya telah diketahui hasil pemetaan Mapindo jauh dari beres. Mulusnya penahanan Bob, menurut pengakuan seorang petinggi kejaksaan, juga tak lepas dari pergeseran sejumlah pos strategis di instansi penuntut umum itu. Salah satunya adalah rencana pencopotan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ramelan. Ketua tim pemeriksa kasus Soeharto ini dituding kerap mengganjal upaya menyeret kroni Cendana dan sejumlah konglomerat ke muka meja hijau. Penghentian penyidikan Soeharto dan lolosnya aktor skandal Bank Bali, Joko Tjandra, adalah contohnya. Maka, kewenangannya kini dipangkas. Perkara korupsi kakap yang masuk ke Gedung Bundar langsung dikomandani Chaerul Imam, yang bertanggung jawab langsung ke Jaksa Agung. Saat dikonfirmasi, Ramelan tegas membantah tuduhan jadi bumper Cendana itu. Toh, upaya menjaring Bob melalui Ma--pindo itu masih dipertanyakan sebagian kalangan. Memang, dibandingkan dengan sepak terjang Bob lainnya, nilai korupsi dalam kasus ini tergolong kecil. Karena itulah, seorang pengusaha kayu mengungkap rasa waswasnya. ''Jangan-jangan, cuma untuk membohongi publik. Tahu-tahu nanti ia divonis bebas," katanya. Di matanya, pa-ling afdol Bob dijerat melalui jalur Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo). Kiprah Bob melalui lembaga ini memang sungguh mencengangkan. Dibekingi Soeharto, Apkindo disulapnya menjadi sebuah kartel dengan berbagai kewenangan oligopolistik, yang kemudian dengan amat licin dibelokkan bagi kepentingan kongsi bisnisnya bersama Cendana. Penentuan kuota, harga jual, izin hak pengusahaan hutan, sampai pasar, semua mesti lewat tangannya. Yang tak mau ikut jangan harap masih bertahan hidup. Dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak didirikan pada 1980, Apkindo memang sukses menggenjot pasar ekspor kayu lapis nasional sampai sepuluh kali lipatnya. Tapi data juga menunjukkan, pada akhirnya imperium bisnis Boblah yang lalu mengeruk 87 persen pangsa pasar internasional dari total produksi kayu lapis nasional. Kekhawatiran itu rupanya telah diantisipasi tim penyidik. Bob bakal dijaring berlapis-lapis melalui sejumlah kasus lain. Indikasi penggelapan pajak sejumlah perusahaannya kini tengah dipelototi. Penyelidikan juga mulai diarahkan ke PT Surya Hutani Jaya. Perusahaan Bob yang lain ini diduga telah menyelewengkan dana reboisasi senilai Rp 200 miliar lebih. Soeripto juga bersumpah mengorek skandal Mapindo hingga ke lingkungan para pejabat Departemen Kehutanan dan raja kayu di lingkaran Cendana. Daftar di tangannya menunjukkan ada 12 pejabat Departemen Kehutanan yang bakal segera menyusul nasib Bob. Di antaranya, mantan Menteri Kehutanan Djamaludin Suryohadikusumo dan Muslimin Nasution, bekas Sekjen Kehutanan Oetomo S., serta Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Sumahadi. Sayang, Djamaludin memilih bungkam. ''Pokoknya, saya akan bertanggung jawab," katanya singkat. Dari skandal ini pula, putra kesayangan Soeharto, Hutomo Mandala Putra, tengah dibidik. Perusahaan penerbangan miliknya, PT Gatari Hutama Air Service, dipergoki telah menyerobot 12 helikopter dan menggelapkan miliaran rupiah anggaran Departemen Kehutanan. ''Tunggu saja, sebentar lagi Tommy juga ditahan," kata Soeripto yakin. Dalam kasus Bob, ramalannya terbukti jitu. ''Lihat saja, besok Bob akan ditahan," katanya kepada TEMPO Senin pekan lalu, sehari sebelum penahanan Bob. Entah yang berikut ini. Yang terpenting, Mapindo diyakini bisa dijadikan pintu masuk kejaksaan untuk menggapai Soeharto. Hal itu ditegaskan Jaksa Agung Marzuki Darusman. ''Kami tengah membangun jaring untuk mencapai Soeharto," katanya kepada TEMPO. Saat ini, pihaknya tengah mendaftar kroni Cendana lain untuk dijerat. Soeripto juga telah menegaskan tekadnya, melalui kasus Mapindo inilah Soeharto bakal dicoba dijaring. Celah ke arah itu cukup terbuka. Soalnya, salah satu yayasan milik Soeharto, Dana Karya Abadi (Dakab), ternyata punya andil saham di Mapindo. Menurut data pihak Mapindo sendiri, perusahaan jasa survei dan pemetaan ini dimiliki Bob sendiri (51 persen) dan PT Baruna Inti Lestari (49 persen)—induk salah satu kelompok usaha Bob, Grup Kalimanis. Di saham atas nama pribadi Bob itulah, Dakab memiliki 30 persen di antaranya. Pelacakan tim Soeripto berhasil menggali lebih dalam. Dari keterangan sejumlah saksi, ditengarai Bob sebenarnya cuma pemegang saham minoritas. Jumlahnya sekitar 2,5 persen saja. Porsi terbesar dimiliki tiga yayasan Soeharto yang selama ini dibidik kejaksaan—Dharmais, Dakab, Supersemar. Pemilik lain adalah Yayasan Kartika Eka Paksi, payung bisnis Angkatan Darat. Hal itu dibenarkan seorang eksekutif puncak di perusahaan Bob. Ia menyebut kepemilikan saham bosnya itu kurang dari 5 persen. Begitu pula dengan pengacara Bob, Agustinus Hutajulu. ''Saham Bob sangat minim," katanya. Cuma, Hutajulu membantah keterlibatan Yayasan Kartika dan yayasan Soeharto selain Dakab itu. Yang dibenarkannya, kantor Mapindo beralamat di Jalan Raya Mabes Hankam, Cilangkap, dekat kompleks Markas Besar TNI. Pembuktian ke arah sana jelas bukan perkara gampang. Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa roda kerajaan bisnis Bob dan Cendana banyak diputar dari duit yayasan Soeharto. Sobat main golf Soeharto ini—berbeda dengan tersangka lain yang sedikit-sedikit menimpakan dosanya ke Soeharto—rupanya telah bertekad pasang badan. Seperti disadari Direktur Tindak Pidana Korupsi Chaerul Imam, Bob bukan tipe orang yang gampang ''bernyanyi" untuk menyeret para konconya. Apalagi, jika itu menyangkut Soeharto, junjungannya. Saat diperiksa, misalnya, meski telah dicecar penyidik, dia bersikukuh bahwa Mapindo seratus persen miliknya. Untuk itulah, kini tim penyidik tengah terus memburu kesaksian dan dokumen yang bisa dijadikan bukti sahih. Apalagi, lampu hijau dari Istana sudah dinyalakan. Kamis pekan kemarin, bersama dengan Marzuki serta Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nurmahmudi Ismail, Soeripto telah melaporkan perkembangan kasus ini ke Presiden Abdurrahman Wahid di Istana, termasuk soal rencana menjaring Soeharto lewat penyidikan kasus ini. Menurut Soeripto, kata setuju sudah dinyatakan RI Satu, yang baru saja menjenguk jenderal berbintang lima itu. ''Tidak apa-apa, yang salah memang mesti ditahan, kok repot-repot," katanya menirukan ucapan Abdurrahman Wahid. Jalan masih panjang. Bob belum lagi dinyatakan bersalah. Pengadilanlah yang akan memastikannya. Tapi, inilah saatnya kejaksaan menegakkan keadilan yang lama telah terkulai. Dan jika itu dapat dilakukan, jempol rakyat banyak akan kembali teracung buat mereka. Karaniya Dharmasaputra, Andari Karina Anom, Setiyardi, Wenseslaus Manggut, I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus