Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek Mapindo sendiri berawal ketika perusahaan itu, berkat kongkalikong Bob, mendapat proyek pemetaan hutan lindung dan hutan produksi seluas 30,6 juta hektare dan 68,74 juta hektare dari Departemen Kehutanan. Mestinya hasil proyek ini bisa dimanfaatkan untuk mengetahui kerusakan hutan dan wilayah hutan mana yang harus dilindungi dan mana yang bisa diproduksi. Tapi, di tangan Bob, proyek suci itu diduga berubah menjadi ladang uang untuk memperkaya kantong pribadi.
Selain bahwa proyek ini dikucurkan tanpa tendersehingga tidak didapat pembanding hargaBob juga tidak menyerahkan hasil pemetaan sesuai dengan kesepakatan. Pemetaan hutan produksi yang dimulai pada Juli 1992, misalnya, yang mestinya sudah selesai setahun kemudian, ternyata cuma kelar sebagian. Anehnya, Departemen Kehutanan toh tetap mengucurkan proyek baru berupa pemetaan hutan lindung.
Dari dua proyek ini, Bob meraup uang yang tak sedikit. Dari dana reboisasi, Bob mendapat US$ 87,1 juta dan dari pungutan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), ia memperoleh US$ 176,1 juta. Tidak itu saja. Bob juga mengutip pungutan wajib sebesar US$ 2,49 dolar per meter kubik dari setiap ekspor kayu lapis untuk membiayai Mapindo dengan menggunakan tangan Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo)kartel bisnis Bob lainnya. "Dia memerintahkan sendiri pemotongan itu kepada bank pemberi kredit ekspor," kata seorang pengusaha kayu lapis. Di APHI, Bob bisa menolak memperpanjang HPH sebuah perusahaan yang tidak membayar pungutan untuk proyek Mapindo.
Mapindo sesungguhnya hanya sebagian dari kedigdayaan Bob di Departemen Kehutanan. Pertanyaannya, mengapa Bob bisa begitu berkuasa? Ceritanya berawal ketika ia mendirikan PT Kiani Lestari, pada 1984. Mulanya, perusahaan yang memiliki ribuan konsesi hutan di Kalimantan ini adalah perusahaan raksasa Georgia Pacific dari Amerika Serikat. Tapi Bob berhasil meningkatkan sahamnya di perusahaan itu, dari awalnya hanya 10 persen menjadi 100 persen.
Dari Kiani-lah Bob kemudian membuka jaring kekuasaannya di bisnis perkayuan dengan merangkul sejumlah anak Soeharto. PT Santi Murni Plywood, sebuah perusahaan kayu lapis, misalnya, didirikan dengan menyertakan mulai dari Yayasan Trikora milik Soeharto, anak bekas presiden itu (Sigit Harjojudanto, Siti Hardijanti Rukmana, Bambang Trihatmodjo), Yayasan Harapan kita milik Tien Soeharto, sampai ayah Tien (Soemoharmanto). International Timber Corporation of Indonesia (ITCI), perusahaan lainnya, juga merupakan patungan antara Bob dan Bimantara dan PT Nusambadua perusahaan yang sahamnya dikuasai Bambang Trihatmodjo dan tiga yayasan milik Soeharto.
Dengan cantolan politik yang sedemikian kuat, tidak aneh jika Bob memang telah menjadi raja dalam pengertian yang sebenarnya di Departemen Kehutanan. Apalagi, pada 1980, Soeharto sendiri yang mendirikan Apkindo dengan Bob sebagai ketua. Perusahaan yang sejatinya bertugas untuk memompa ekspor kayu lapis ini kemudian berubah menjadi perusahaan oligopolis. Dia melakukan negosiasi bisnis dengan calon pembeli di luar negeri dengan mewakili 108 anggota tanpa setiap anggota punya hak sedikit pun. Apkindo juga mengutip US$ 2 per meter kubik kayu lapis yang diekspor untuk sertifikasi kualitas produk, dan US$ 10 untuk biaya promosi. Tidak cukup, ia juga memonopoli asuransi perusahaan kayu lapis melalui PT Asuransi Tugu Pratama miliknya dan mewajibkan pengapalan kayu dengan menggunakan PT Kencana Freight Lines.
Celakanya, setiap kutipan dan monopoli itu menyimpan patgulipat yang merugikan kinerja ekspor. Usaha pengapalan kayu yang dimonopoli Bob, misalnya, dilakukan dengan menyewa kapal-kapal asing yang tarifnya US$ 28-30. Padahal, harga pasarannya hanya US$ 20. Akibatnya, harga kayu lapis Indonesia menjadi tak kompetitif. Lewat hitung-hitungan kasar, jika dalam setahun Apkindo bisa mengekspor 8 juta meter kubik kayu lapis, Bob berarti telah memerah US$ 80 juta dari para eksportir. Seorang pengusaha menghitung, dengan monopolinya selama bertahun-tahun itu Bob telah mengumpulkan duit US$ 2-3 miliar.
Permainan Bob ini digenapi lagi oleh perilaku buruk anggota Keluarga Cendana. Modusnya dari menyikat dana reboisasi sampai soal tukar guling lahan yang penuh kecurangan. Hutomo Mandala Putra menurut investigasi Departemen Kehutanan, misalnya, menilep uang Rp 23,3 miliar dari penyewaan pesawat perusahaan miliknya, PT Gatari Utama Air Service. Selain karena penggunaan pesawat oleh pihak ketiga yang biayanya dibebankan ke Departemen Kehutanan, ia juga disinyalir "mengantongi" sejumlah pesawat milik departemen itu.
Siti Hardijanti Rukmana, kakak Hutomo, merogoh Departemen Kehutanan dengan cara yang lain. Ia mendongkrak angka realisasi penanaman hutan kembali sehingga bisa mendapat dana reboisasi di muka dalam jumlah besar. Uang yang berhasil dikantongi Siti diperkirakan Rp 346,9 miliar. Modus yang sama digunakan pula oleh klan Cendana lainnya, Probosutedjo (lihat tabel).
Melihat rentetan kasus berbau kolusi dan korupsi ini, tidak aneh jika banyak orang berharap Bob bukanlah satu-satunya orang yang harus meringkuk di sel kejaksaan. Jaksa Agung Marzuki Darusman sendiri telah mengisyaratkan bahwa ini bukan yang terakhir. "Muaranya Soeharto. Kami sedang membangun pohon dan jaring untuk mencapainya," katanya. Betulkah? Kita tunggu saja.
Arif Zulkifli, Setiyardi, Dwi Arjanto, Andari Karina Anom
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo