TUBUH Soeharto sampai akhir pekan lalu masih terbaring di sebuah ruangan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Sang jenderal besar itu tak berdaya. Mukanya pucat. Suhu tubuhnya naik-turun antara 37 dan 39 derajat Celsius. Untuk menyambung hidupnya, bekas presiden RI yang berusia 80 tahun 6 bulan itu harus ditusuk dengan tiga selang sekaligus. Selain selang infus di pergelangan tangannya, sebuah selang untuk mengeluarkan lendir menancap di lehernya. Satu lagi selang oksigen tersambung pada lubang hidungnya.
Memprihatinkan. Demikian Elza Syarief, pengacara Tommy Soeharto, yang mendampingi kliennya menjenguk sang Ayah Selasa pekan lalu, menggambarkan kondisi kesehatan Soeharto. ”Saya trenyuh melihatnya,” katanya.
Lelaki yang pernah memimpin negeri ini selama 32 tahun itu dirawat di rumah sakit sejak Senin malam, 17 Desember lalu. Ia terserang infeksi paru-paru. Gejalanya sudah muncul beberapa hari menjelang Idul Fitri. Diawali dengan batuk-batuk, demam, dan diare, akhirnya pernapasan Soeharto menyesak. Menurut Prof. Ari Haryanto, salah seorang anggota tim dokter Soeharto, infeksi paru-paru yang dideritanya mengakibatkan pasokan oksigen ke seluruh tubuhnya terganggu.
Penyakit baru itu semakin memperburuk kesehatan Soeharto, yang sebelumnya sudah menderita penyakit lain seperti diabetes, ginjal, jantung, stroke, dan gangguan pencernaan. Dan, ”Usianya yang sudah lanjut juga menyebabkan kami sulit memprediksi kapan Pak Harto akan pulih,” ujar Haryanto.
Ini bukan pertama kali Soeharto dalam kondisi lemah. Juni lalu ia juga dibawa ke Rumah Sakit Pusat Pertamina gara-gara penyakit jantungnya kambuh. Saat itu jantungnya yang biasa berdenyut 70-80 kali per menit anjlok menjadi 30-40 kali tiap menit. Sebelumnya, pada November 2000, ia juga harus berbaring cukup lama di rumah sakit karena mendapat serangan stroke untuk kedua kalinya.
Karena stroke pula, pada 28 September 2000, Hakim Lalu Mariyun dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak penuntutan terhadap Soeharto. Ketukan palu Mariyun ini memang belum menghentikan sama sekali proses hukum bagi Soeharto sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana tujuh yayasan itu. Tak lama kemudian, pihak kejaksaan mengajukan banding dan diberi kemenangan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Tapi Soeharto tak mau menyerah. Setahun lalu, kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Akhirnya pada Februari silam, MA menerima kasasi itu dan menolak perlawanan kejaksaan. Keputusan ini dipertegas dengan fatwa Ketua MA Bagir Manan, yang dikeluarkan 11 Desember lalu. Menurut Ketua MA, karena Soeharto tidak dapat disembuhkan, ia tidak bisa diajukan ke persidangan. Tapi wewenang mengenai hal ini tetap di tangan Kejaksaan Agung.
Lalu apa kata kejaksaan? Rupanya, Jaksa Agung MA Rachman seia sekata. Ia pun setuju perkara tersebut ditutup dan Soeharto diberi abolisi alias penghapusan tuntutan pidana. Kata Rachman, ini merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan kasus Soeharto yang terkatung-katung. Ia juga mengakui, dirinya bersama Menteri Kehakiman dan HAM tengah mengusulkan hal ini kepada Presiden Megawati. Sesuai dengan UUD 1945, abolisi memang menjadi hak prerogatif presiden, selain grasi, amnesti, dan rehabilitasi. Prosesnya, harus mendapat persetujuan DPR—sesuai dengan UUD 45 yang sudah diamandemen.
Di mata ahli hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo, pemberian abolisi kepada Soeharto boleh-boleh saja. Hanya, dosen Universitas Indonesia itu mengingatkan bahwa yang terlibat dalam perkara tersebut tidak cuma Soeharto yang memang sakit. Jadi, menurut Harkristuti, perkara penyalahgunaan yayasan tersebut harus tetap dilanjutkan dengan mengejar tersangka yang lain.
Tapi citra Presiden Megawati dalam urusan penegakan hukum akan menjadi taruhan. Menurut Adnan Buyung Nasution kepada Koran Tempo, Jumat pekan lalu, langkah tersebut justru akan merusak supremasi hukum. Proses penegakan hukum dikalahkan oleh kemauan politik. Selain itu, kata pengacara senior itu, kebijakan itu bertabrakan dengan Ketetapan MPR XI/Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Lagi pula, jelas diatur dalam KUHAP, penghentian perkara hanya bisa dilakukan, salah satunya, karena terdakwa sakit ingatan atau meninggal. Di situ tidak disebutkan alasan sakit radang tenggorokan, stroke, atau sakit berat lainnya.
Yang penting adalah rakyat harus tahu: Soeharto ini bersalah atau tidak? Jika abolisi diberikan, itu belum menjawab pertanyaan publik di atas. Jika Soeharto dibuktikan ber-salah—lewat pengadilan biasa atau in absentia, atau ia membuat pengakuan publik, misalnya—setelah itu pemerintah boleh saja memberinya amnesti atau pengampunan yang lain.
Maka, sebaiknya Soeharto diperlakukan secara wajar saja. Kalau Tuhan berkehendak memanggilnya, toh otomatis perkaranya bakal ditutup. Kalau ia diberi umur panjang dan pulih lagi? Juga tidak masalah, persidangan bisa di-teruskan. Jadi, buat apa mendahului Tuhan yang Maha Mengatur.
Gendur Sudarsono, Darmawan Sepriyossa, Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini