Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Abolisi Soeharto Siapa Untung?

Jaksa Agung mengusulkan agar Presiden memberikan abolisi kepada Soeharto. Ria Latifa mencurigainya sebagai upaya untuk menjatuhkan Mega.

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUA, sakit-sakitan, dan tanpa kekuasaan resmi, tak membuat bekas presiden Soeharto kehilangan segalanya. Sejak dilarikan ke Rumah Sakit Pertamina Pusat, Jakarta, karena kondisinya memburuk Senin pekan silam, bekas Presiden Republik Indonesia ini justru kian mendapatkan angin. Lihat saja penempatan Soeharto di ruang 605 yang berkelas very very important person alias kamar paling mewah. Menurut Tuti Dwi Patmayanti, kepala bagian humas rumah sakit, kamar pasien istimewa ini punya fasilitas lengkap. Ada tempat tidur empuk, saluran telepon, televisi 25 inci, satu set meja makan, lemari es, kamar mandi, lemari pakaian, lemari kecil, satu set sofa tamu, dan sofa untuk ruang tunggu, serta mesin pendingin. Ongkos sewa kamar tersebut Rp 725 ribu per hari. Sampai hari ketiga saja, kata Tuti kepada Tempo News Room, biaya pe-rawatan yang dikeluarkan sudah lebih dari Rp 9 juta, belum ditambah ongkos obat-obatan. Tim dokter yang menangani Soeharto pun (jumlahnya 18) dipilih yang terbaik di negeri ini. Para tamu juga dapat dengan bebas mengunjunginya tanpa perlu izin khusus, selama pihak keluarga menyetujuinya. Tak kurang, Tommy Soeharto, putra bungsunya yang masih ditahan di Polda Metro Jaya dan sedang menjalani pemeriksaan, diizinkan menjenguk ayahnya Selasa pekan lalu. Hak istimewa? Izin buat Tommy diberikan bukan karena ia tahanan istimewa ataupun lantaran anak bekas presiden, kata Kepala Badan Humas Polri, Inspektur Jenderal Saleh Saaf. Sebab, menurut petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang penahanan seorang tersangka yang berada dalam proses pemeriksaan, memang dimungkinkan seorang yang berstatus tersangka dibolehkan keluar tahanan oleh penyidik dengan alasan dan pertimbangan kemanusiaan, misalnya ada anggota keluarga dalam keadaan kritis atau sakit parah. Soeharto memang sedang sakit parah ketika dikunjungi putra bungsunya. Elza Syarief, pengacara Tommy, menggambarkan pertemuan sekitar satu jam antara anak dan bapak itu berlangsung mengharukan. Hampir tak ada percakapan. Dengan tangan yang tak diborgol, Tommy leluasa memeluk Soeharto. Ia berkali-kali meminta agar bapaknya mendoakan dirinya. Air matanya berlinang. ”Soeharto ikut menangis tanpa berkata-kata dan hanya mengangguk-angguk pelan,” kata Elza kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Haru yang berbalut kegembiraan. Kegembiraan tambahan agaknya juga menunggu di istana. Untuk menerobos kebuntuan proses hukum tersangka Soeharto dalam kasus penyalahgunaan dana tujuh yayasan yang dipimpinnya, Presiden Megawati sedang mempertimbangkan pemberian abolisi. Abolisi adalah hak kepala negara menghentikan tuntutan pidana yang telah dimulai atau menggugurkan sama sekali hak tuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Ide pemberian abolisi ini secara resmi muncul dari Jaksa Agung MA Rachman, yang mengusulkan kepada Presiden Megawati Kamis pekan lalu. Pertimbangan Rachman ada tiga. Pertama, persidangan kasus Soeharto tidak bisa dilanjutkan lagi karena menurut hasil pemeriksaan tim dokter kepresidenan penyakit Soeharto tidak bisa disembuhkan. Kedua, posisi perkara masih di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di tingkat ini, yang berwenang menghentikan perkara adalah jaksa penuntut umum dan Kejaksaan Agung, sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 5/1991 tentang Kejaksaan Agung. Namun kewenangan tersebut tidak bisa dilakukan karena masyarakat bisa menganggap bahwa aparat penegak hukum telah menyingkirkan kepentingan hukum. Karena itu, kemudian muncul pertimbangan ketiga bahwa penghentian kasus Soeharto lebih tepat diselesaikan melalui prosedur abolisi, yang merupakan wewenang presiden. Pada saat bersamaan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra memperkuat usul Rachman dengan menyampaikan pertimbangan hukum kepada Presiden Megawati mengenai kemungkinan pemberian abolisi buat Soeharto. Terhadap usul bawahannya itu Megawati belum mengeluarkan kata akhir. Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan bahwa saat ini Presiden sedang mempertimbangkan kelanjutan proses hukum Soeharto. Salah satu bahan pertimbangan Presiden adalah kenyataan bahwa setiap manusia punya kesalahan, termasuk para pemimpin nasional. Bedanya, mereka memiliki pengabdian dan jasa untuk bangsa dan negara. Menurut Yudhoyono, presiden ingin bangsa ini, negara ini, memperlakukan mantan-mantan pemimpinnya dengan tepat. Namun, rencana pemberian abolisi buat Soeharto itu dianggap tidak pantas oleh sejumlah tokoh nasional. Menurut praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution, apa pun kondisi obyektif yang sedang dihadapi Soeharto, pemerintah harus tetap memegang prinsip supremasi hukum secara luwes. Soeharto harus tetap dituntut meskipun sidangnya terpaksa ditunda sampai kesehatannya pulih. Kalau sembuh, berarti dia masih bisa dituntut. Jika takdir menjemput Soeharto, hukum sudah memberikan jawabannya, otomatis perkaranya gugur. ”Tapi tidak ada aturan bahwa orang sakit lalu diberi abolisi,” kata Buyung kepada Tempo News Room. Seandainya pemberian abolisi digunakan sebagai solusi bagi perkara dugaan korupsi yang diduga dilakukan Soeharto, menurut Buyung, kelak akan timbul preseden buruk. Setiap bekas presiden yang sedang disidik atau dituntut bisa memberikan alasan sakit guna mendapat abolisi. Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi, juga menolak keras rencana pemberian abolisi. Menurut dia, Soeharto itu biang korupsi, kolusi, dan nepotisme, pelanggaran hak, pendeknya seluruh kerusakan bangsa ini. Kalau dia dibebaskan begitu saja, kroni-kroninya yang ikut terlibat dalam kejahatan Soeharto itu nantinya akan sulit diadili. Mereka akan dengan gampang berkelit, berlindung, dan merasa tidak bersalah dengan mengatakan semuanya itu atas perintah Soeharto. ”Karena itu, kita patut curiga pada orang-orang yang menyetujui rencana pemberian abolisi itu,” kata Mochtar. Mochtar pun tak sepakat dengan argumen yang menyebut abolisi itu demi memenuhi rasa kemanusiaan. Bila itu alasannya, berarti pemerintah justru mengabaikan aspek kemanusiaan masyarakat yang lebih luas, yang telah dilanggar haknya oleh Soeharto ketika berkuasa. ”Rakyat justru harus tahu apakah Soeharto bersalah atau tidak. Sebaliknya, harkat dan martabat kita sebagai bangsa akan jatuh bila Soeharto diberi abolisi,” ujar Mochtar. Karena itu, dia mengusulkan agar Soeharto tetap diadili, kalau perlu secara in absentia. Bagaimana pertimbangan anggota parlemen? Ini soal penting karena, berdasarkan Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen pada 1999, presiden baru bisa memberikan abolisi setelah mendengar pertimbangan DPR. Sampai pekan kemarin masih belum jelas bagaimana pendapat akhir dari lantai Senayan. Alvin Lie dari Fraksi Reformasi, misalnya, mengaku belum tahu bagaimana keputusan yang bakal diambil oleh para anggota DPR. Wacana abolisi belum diajukan secara formal oleh Presiden Megawati. Fraksi-fraksi juga belum pernah ber-sidang untuk membahas masalah tersebut, karena sidang reses sampai 7 Januari nanti. Yang jelas, menurut Alvin, memang agak berat memutuskan perkara Soeharto. ”Kami harus mempertimbangkan faktor usia, kondisi kesehatannya, dan jasa-jasanya selama ini,” ujar Alvin kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO. Tapi Alvin mengingatkan, apa pun keputusannya nanti, jangan sampai menjadi preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Pengambilan keputusan harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan yang matang. Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung, tampaknya pro-abolisi. Bekas menteri di kabinet Soeharto ini mengatakan, proses hukum terhadap mantan presiden Soeharto tak perlu ditutup. Namun, dengan pertimbangan kemanusiaan, ia memahami jika ada yang mengusulkan supaya pengadilan tidak melanjutkan perkaranya. Pejabat sementara Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Alwi Shihab, segendang sepenarian. Ia mengatakan, sangat wajar apabila kasus hukum yang melibatkan mantan presiden Soeharto dihentikan atas dasar pertimbangan kemanusiaan, karena yang bersangkutan sedang sakit. Anggota Komisi II DPR dari Partai Bulan Bintang, Hamdan Zoelva, mewakili kelompok yang menolak abolisi. Ia berpendapat, pemerintah tidak perlu menghentikan proses hukum terhadap Soeharto, karena itu merupakan langkah yang kontraproduktif. Apalagi perintah penghentian perkara itu akan melanggar Ke-tetapan MPR Nomor XI Tahun 1998, yang berisi mandat kepada presiden untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya mengusut harta kekayaan Soeharto. Begitu pula Dwi Ria Latifa, anggota Komisi II DPR RI yang dikenal dekat dengan Presiden Megawati. Menurut Ria, sekali abolisi diberikan, nanti ujung-ujungnya Soeharto direhabilitasi. Ria justru menengarai ada persoalan politik di balik usul kontroversial itu. ”Ini upaya menyudutkan posisi Mega,” kata Ria kepada Karaniya Dharmasaputra dari TEMPO. Dia curiga, seolah-olah ada pihak tertentu yang melemparkan ”bola panas” ke Megawati. Soalnya, kalau Presiden Megawati memberikan abolisi, bisa-bisa malah dianggap melanggar Ketetapan MPR/XI/1998 tentang pemberantasan KKN. ”Bagaimana ia mempertanggungjawabkannya dalam Sidang Umum MPR nanti?” tanya Ria. Kekhawatiran Ria beralasan. ”Kalau hanya karena sakit permanen, itu akan bertentangan dengan ketetapan MPR mengenai pemberantasan KKN,” ujar pengamat hukum tata negara yang juga guru besar Universitas Airlangga, Surabaya, M. Soewoto Moeljosoedarmo. Alasan demi menghormati mantan kepala negara juga dianggapnya tak tepat karena justru akan jadi preseden buruk. ”Kalau Soeharto diberi, kenapa yang lain tidak? Nanti enak saja setiap presiden bisa melanggar hukum, ber-KKN,” katanya. Alasan kemanusiaan dan kehormatan bangsa pun sulit dipertahankan di era globalisasi saat ini. Soalnya, bila pengadilan nasional tak mengambil keputusan, malah akan membuka peluang pengadilan internasional untuk mendakwa Soeharto dalam urusan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika ini terjadi, nama bangsa justru akan semakin terpuruk. Presiden Megawati tentu tak ingin hal ini terjadi. Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus