UNTUK perkawinan Sumarti, 21, gadis Desa Sedahbumi, Cilacap, dengan Darkim, 25, pemuda Desa Bentar, Brebes, kedua pihak mengadakan rembukan terakhir di kediaman mempelai perempuan. Mulanya, acara besanan yang dilangsungkan dua hari sebelum hari -- 24 Agustus -- itu mulus saja: basa-basi, lalu penyerahan barang bawaan, sebagaimana lazimnya. Yang tak lazim, keluarga Darkim juga membawa lima ekor ular. Lho -- ular? Ketika ular-ular itu dikeluarkan dari kantung khusus, siap diserahkan, orangtua Sumarti langsung berteriak sambil melompat. Sumarti juga menjerit, "Apa-apaan ini?" Apalagi ular itu bukan sembarang ular. "Yang seekor ular sanca sebesar betis orang dewasa," kata Kusnadi, paman Sumarti. Acara hampir saja jadi gelanggang tinju. Asrori, kakak kandung Sumarti, maju ke depan menantang keluarga Darkim. Kemudian mengusir tamunya itu dengan kata-kata yang tak enak di telinga. Bukan tak ada sambutan dari keluarga Darkim -- dan entahlah apa yang akan terjadi andai tidak ada pamong desa yang segera bertindak menengahi. "Waktu itu keluarga kami tersinggung dan marah," tutur Kusnadi. Keluarga Darkim sendiri langsung meninggalkan tempat tanpa pamit. Kenapa membawa ular? "Pihak mereka yang meminta," ujar Fachrul, orangtua Darkim. Menurut Fachrul, pada rembukan terakhir ia tak sempat hadir -- diwakili salah seorang keluarganya. Nah, wakil ini pulang ke Brebes dengan membawa pesan: pada upacara besanan dan perkawinan nanti, pihak mempelai pria harus membawa ular. "Ular?" tanya Fachrul. Aneh sekali! Tapi walah, itu mudah saja. Di desa mereka banyak ular, dan banyak pula yang bisa menangkapnya. "Lha, sekarang, kok mereka marah?" kata Fachrul lagi. Bagi pamong Desa Sedahbumi, kasus ini tergolong baru -- dan gawat. Karena itu, mereka mengusut. Dan, terbukalah tabir itu. Memang betul, pada perundingan terakhir, keluarga Sumarti menyebut-nyebut ular. Permintaan itu tepatnya begini, "Pada saat besanan dan perkawinan nanti, keluarga kami mengharapkan, pihak pengantin laki-laki bersedia membawakan ular-ular," seperti yang diceritakan Kusnadi. Yang dimaksud adalah sepatah dua kata sambutan. "Walah-walah.... Saya kira ular-ular itu bahasa Indonesia, yang artinya ular banyak! Maklum, di desa saya orang tidak biasa memakai bahasa Jawa halus, tidak mengerti itu ular-ular," kata Fachrul terus terang. Aneh, bukan, padahal Brebes dan Cilacap sama-sama di Jawa Tengah, meski yang satu di pantai utara dan yang lain di pantai selatan ? Yang jadi soal, kedua calon besan itu tidak berunding dengan bahasa Jawa, yang dialeknya begitu berbeda di antara kedua pihak. Toh pemakaian bahasa Indonesia yang kurang sempurna ternyata bisa mengakibatkan semacam bencana. Perkawinan akhirnya berlangsung juga, setelah tertunda dua hari untuk "penyatuan dan pemahaman istilah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini