ASYIK juga mendengar pengusaha muda itu menguraikan gagasan yang begitu menakjubkan. Bagaimana mengelola Indonesia selugas menjalankan usaha swasta. Bayangkan, Indonesia dikelola sebagai satu badan usaha. Maka, katanya, asas efisiensi mudah ditegakkan. Keuntungan komparatif posisi ekonomi Indonesia pun dapat dibikin bersaing sepenuhnya. Tinggal merancang, apa target badan usaha Indonesia itu. Mau pertumbuhan nilai tambah riil 5 sampai 10%? Mau ekspor nonmigas mencapai nilai US$ 36 milyar? Mau mempekerjakan sekian juta tenaga kerja? Tinggal pencet program. Tetapkan beberapa skenario investasi. Bila perlu, jual obligasi. Bahkan saham Indonesia yang swasta. Pasti laku. Bikin simulasi. Pilih yang paling yahud. Laksanakan dengan memilih yang jempolan. Beres. Tanpa harus memikul beban sekian banyak "demikian rupa sehingga", bahasa pelik yang menurut Menteri Emil Salim mencerminkan perkosaan terhadap logika ekonomi. Jadi, soal tetek bengek birokrasi, peraturan ini dan itu, kebijaksanaan yang tidak bijak dan pembinaan yang sering membinasakan tidak usah terjadi. Semua mesti diatur oleh ahlinya. Semua diputus oleh manajernya. Semua dilaksanakan oleh tukangnya. Debirokratisasi dan deetatisme tidak berhenti di mulut manis belaka. Apa boleh buat. Di benak cara berpikir swasta, segala yang berbau pemerintah telanjur begitu mesum hingga pantas diejek, dinistakan, dan digasak habis-habisan. Birokrasi mesti dilumpuhkan, karena the best government is the one which governs least. Di mata pengusaha itu, pemerintah ialah manifestasi segala kemacetan, pemborosan, dan demoralisasi. Sebaliknya, swasta ialah manifestasi kelancaran, efisiensi, kelugasan, keuntungan, dan kehormatan. Karena ada insentif dan persaingan sehat. Indonesia dikelola sebagai sebuah badan usaha? Sebutlah dengan keren dan bangga: PT Indonesia Incorporated. Alangkah eloknya. Lalu, apa pula gunanya itu lembaga-lembaga tinggi negara. Ah, tentu saja ada tempatnya dalam akta usaha PT Indonesia. DPR dan MPR itulah forum pemegang saham. BPK, itulah akuntan dan auditor perusahaan. DPA, itu 'kan forum pemegang saham prioritas, ibaratnya. Lalu partai politik, golongan karya, dan pemilu? Alihkan fungsinya. Umpamanya, sebagai costumerservice dan divisi pemasaran. Departemen? Ada juga, cuma nama dan fungsinya mesti berubah. Ia disebut divisi, dan berfungsi sebagai unit usaha. Ada divisi transpor dan komunikasi. Ada divisi agro industri. Ada divisi industri dirgantara dan ruang angkasa. Ada divisi lembaga keuangan dan perbankan. Divisi prasarana, permukiman, dan pengembangan lahan. Etsetera, etsetera. Maka, Anda pun bisa manasuka membayangkan. Departemen mana bakal menjadi divisi usaha apa. Inilah kerangka pikir privatisasi total. Tanpa tedeng aling-aling. Inilah kerangka besarnya arus gagasan swastanisasi. Inilah konseptualisasi tuntas dari ideologi privatisasi yang tidak hendak diselubungi. Memang, seyogyanya meramu gagasan tidaklah tanggung-tanggung. Kenapa mesti main setengah-setengah? Toh dunia sudah berubah. Ini zamannya globalisme. Karena itu, swastanisasi perusahaan negara saja tidaklah cukup. Karena, secuil usaha negara itu perannya toh tidak berarti dalam pembentukan nilai tambah. Privatisasi pengawasan lalu lintas barang dan pembayaran bea, pendaftaran penduduk, pembuatan KTP, bahkan menyusun peraturan ekonomi dan merumuskan kebijaksanaan, itu pun hakikatnya baru menggarap bagian pinggir semata-mata. Bila mau privatisasi, kita perlu berpikir besar. Kita mesti mulai dengan kerangka global. Kita harus merombak cara berpikir dan sistem secara struktural. Karena itu, kita harus berani menatap jajaran Kepulauan Nusantara beserta segenap kekayaan dan isinya sebagai assets dan liabilities. Kita mesti membuang jauh-jauh rayuan gombal pulau kelapa atau slogan kosong wawasan apa saja, selain yang relevan dengan konsep produksi barang, jasa, dan niaga. Sebab, faktor-faktor ekonomi Indonesia itu, bila dikelola dengan bijak, disingkirkan restriksi, dibuang birokrasi, niscaya dapat dikelola dengan sebaik-baiknya oleh sebuah usaha swasta itu. Kemakmuran dilipatgandakan dan dengan tegak Indonesia menatap masa depannya. Karena itu, PT Indonesia Incorporated mesti dikelola secara swasta murni. Itulah gagasan patriot masa kini. Demokrasi yang paling tulen, lugas, serta masuk akal ialah aturan main hitungan suara model swasta: rapat pemegang saham. Suara berbanding lurus dengan besarnya saham. Itulah yang bakal sesuai dengan realitas. Kalau tidak, hanya akan membuka peluang manipulasi, rebutan kursi, dan kecurangan jual beli suara belaka. Sahamnya lalu apa? Pemilikan dan penguasaan faktor-faktor produksi: tanah, tenaga, modal, teknologi, entrepreneur, dan lain sebagainya. Itulah sangunya ikut bersuara. Pemimpin perusahaan dipilih oleh pemegang saham. Ia berkewajiban, berdasarkan kontrak, memproyeksikan citra perusahaan dan mewujudkan sasaran usaha. Ia digaji sesuai dengan kontrak. Tetapi juga secara sah menerima bagian keuntungan, berdasarkan kelaziman dalam dunia usaha. Begitu juga para manajer divisi. Bahkan sebuah fungsionaris dan karyawan PT Indonesia Incorporated. Mereka tidak perlu memikul beban moral dan etika untuk bisa hidup layak dan terhormat, asal kerja keras, berprestasi, dan lugas. Hanya asas pengelolaan secara swastalah yang dapat memberi dasar sahih bagi seorang manajer dan karyawan untuk menerima imbalan sepadan dengan prestasinya. "Nuwun sewu, peran rakyat seperti saya ini lalu apa?" Saya terperanjat mendengar pertanyaan bodoh Kang Paijo itu. Bukankah Kang Paijo dan Yu Painem serta seluruh jajaran kawan-kawannya yang 165 juta boleh nonton dan bersorak sorai sambil bertepuk tangan ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini